Menjadi biasa-biasa saja dan tidak terlalu mencolok di antara kerumunan atau masyarakat sekitar. Dasha selalu melakukan hal-hal itu, ia terlalu jengah dengan banyak perhatian. Juga, itu sangat tidak nyaman dan sedikit mengesalkan.
Karena hal itu, Dasha sering memakai topi. Tetapi teman-temannya sering mengatakan jika topi itu menarik perhatian orang-orang. Apanya yang menarik perhatian, topi baginya sebagai alat untuk menyembunyikan wajahnya. Ia bingung, bukankah seharusnya itu kebalikannya?
Sibuk mengayuh sepeda, perhatian Dasha terhenti ketika melewati sebuah festival. Mata gadis itu mengerjap penuh kagum. Ia melirik berbagai stan yang berdiri dengan bermacam-macam jenis. Itu begitu menarik!
Dasha melepas topi yang bersarang di kepala, ia menghentikan laju sepedanya dengan wajah takjub. Tatapan gadis itu terpaku pada stan minuman dingin yang tampak menyegarkan. Ia haus, tapi Dasha ingat jika dirinya sudah diburu waktu. Mau tak mau Dasha menghapus keinginannya itu. Dasha kembali mengayuh sepedanya. Menelan ludah berusaha menahan rasa dahaga, ia sedikit kecewa. Jika antrean stan minuman itu tidak terlalu ramai, Dasha sudah melegakan hasratnya saat ini.
Mengesalkan!
Dasha menggerutu, bibirnya kemudian tertekuk ke dalam. Membuang rasa dahaga dan fokus dengan kayuhan sepeda yang makin cepat. Angin berhembus kencang, menyejukkan sekitar tengkuk yang basah oleh keringat. Berapa lama lagi Dasha harus mengayuh sepedanya.
Ia haus.
Dasha juga lapar.
Disepanjang perjalanan Dasha merasa tersiksa dengan tekanan rasa lapar dan haus. Melirik jam di pergelangan tangan, Dasha buru-buru menaikkan kecepatan kayuhan.
Jika ia melewati jam ketentuan, pasti ibunya sudah berdiri di depan pintu dengan wajah suram. Membayangkan saja Dasha langsung bergidik. Itu salah satu hal mengerikan jika ibunya mulai marah. Dasha sebisa mungkin harus tepat waktu sebelum beliau menyambut dengan wajah kesal dan muram.
Suara decitan ban sepeda terdengar nyaring. Ketika sepeda telah terstandar, Dasha buru-buru mengambil kantung kresek di keranjang sepeda dan berlari ke dalam rumah. Ia tidak terlambat kan? Harusnya tidak!
Begitu memasuki rumah, Dasha mendapati ibunya tengah memasang ekspresi tenang. Seketika ia dapat melegakan napas yang sempat sesak. Ini sebuah keberuntungan besar! Berjalan dengan loyo, Dasha meletakkan kantung kresek di meja berserta embusan napas yang kian membaik.
Lelah, sangat lelah! Peluhnya meluncur deras di sekitar leher, pagi ini ia seperti melakukan olahraga yang biasanya saja Dasha malas melakukan.
Dasha selalu jengkel menjadi berkeringat!
Jadi, olahraga adalah salah satu hal yang ia hindari.
"Tumben cepet." Ibu Arni datang setelah membereskan sisa sampah di ruang tengah. Tatapannya beralih pada Dasha duduk di sofa dengan wajah lelah dan napas yang tidak teratur.
"Katanya jam 8 udah sampai. Bunda gimana sih, nanti pas telat aku dimarahin." Dasha menarik napas keras. "Udah bagus aku pulangnya cepet."
"Iya, bagus kamu pulangnya cepet. Biar orangnya nggak terlalu nunggu sini bantu masak sekalian."
Dasha melotot syok, ia melirik Ibu Arni yang menenteng kantung kresek dan melangkah ke dapur. Sebelum ibunya kembali menyuruh agar ia membantunya memasak. Dasha buru-buru berlari ke dalam kamar, ia tidak mau membantu. Setidaknya untuk saat ini! Dasha akan berisitirahat lebih dahulu, ia lelah. Pintu menggebrak keras. Sesudahnya, badan Dasha langsung ia jatuhkan di karpet lantai. Tidur terlentang dengan napas yang memburu.
Akhirnya, ia tidak melakukan pekerjaan lainnya. Setelah ini ia akan mandi dan menonton film yang baru diunduh semalam. Bertapa menyenangkan!
Tetapi sebuah ketukan membuat Dasha mengerang pelan. Ia menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskan dengan kasar seolah kekesalannya bisa terbuang setelah melakukan hal itu.
"Sha, kamu langsung mandi dulu aja ya! Jangan lama-lama, kalo udah langsung ikut bantu-bantu."
Itu suara ibunya.
Baiklah! Dasha akan melakukan ritual mandi dengan lama. Berbanding terbalik dengan suruhan ibunya. Ia mengepalkan tangan, menyemangati dirinya sendiri dan berguling-guling dengan perasaan carut-marut. Wajah Dasha makin kusut, pipinya bertumpu pada boneka kecil. Menutup wajah gemas dan segera beranjak bangun untuk mandi.
***
"Banyak banget makanannya," gumam Dasha, matanya jelalatan mendapati piring-piring terisi lauk macam-macam. Sontak, hal itu membuat Dasha berbinar cerah, ia seperti diberi cahaya penyemangat mengetahui banyaknya makanan yang tersedia.
Dasha menarik kursi, duduk dengan wajah ngiler dan mata terfokus pada makanan-makanan itu. "Bun, emang ini nggak kebanyakan ya?"
Ibu Arni yang kembali datang ke meja dengan piring berisi ikan menggeleng menyakini. "Nggak, kebetulan mau bunda kasih sama tetangga sebelah."
"Sebelah mana sih. Bukannya yang sebelah lagi pergi liburan." Dasha mengerutkan dahi bingung. "Bunda mau ngasih makan ke hantu?"
"Bukan tetangga situ. Rumah sebelah yang lama kosong. Tadi pagi baru pulang, bunda kasian. Pasti belum makan, mana dia tinggal sendiri. Kasian kalo kelaparan gimana."
Dasha menggerutu. "Ah biasa aja. Bisa pesen makanan online juga."
Ibu Arni menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir dengan pola pikir putri satu-satunya itu. "Kamu nih gimana. Kan biar akrab sekalian."
Dasha menanggapi ucapan Ibu Arni hanya mengangguk-angguk pura-pura mengiyakan. Ada hal yang terpenting dibandingkan topik yang baru dibahas.
Dasha lapar!
Ia baru akan beranjak menggambil piring tetapi kalimat Ibu Arni mengehentikan langkah Dasha. "Kamu anterin makannya dulu. Mumpung masih hangat."
Bibir Dasha terbuka setengah, ia melongo beberapa saat dan menatap jengkel pada rantang yang sudah tersusun baik di meja.
"Kok aku?"
"Anak bunda kan cuma kamu."
Yah, itu tidak salah. Dasha mengangguk paham dan meraih rantang. Berpikir sesaat untuk menyerahkan makanan ini nantinya akan bagaimana. Apa, ia tinggalkan saja di depan rumah. Itu baik, jika orangnya tidak di rumah atau masih tidur. Dasha akan melakukan hal itu! Yah walaupun orangnya bangun pun akan tetap ia lakukan.
"Jangan lupa buat kenalan."
Kata-kata Ibu Arni langsung menghancurkan rencana Dasha. Ia menggerutu dengan wajah kusut. "Emang harus ya?"
Ibu Arni menatap Dasha dengan raut lelah. "Kan biar akrab, Sha. Sama tetangga harus ramah, harus kenalan biar kalo ada apa-apa tau orangnya."
"Iya iya, tapi nanti kalo sempet."
Dasha langsung berjalan cepat sebelum ibunya menjawab kata-katanya. Pasti beliau akan kembali memaksa Dasha untuk mengakrabkan diri dengan tetangga barunya. Jelas, itu tidak akan Dasha lakukan. Melihat kepribadiannya. Tentu hal itu tidak akan Dasha lakukan. Jika bisa dihindari, mengapa tidak dihindari saja.
Bibir Dasha tersungging bangga dengan pemikirannya barusan. Sebelum keluar, matanya melirik ke meja dekat tv. Memikirkan sesuatu sejenak, ia langsung menyambar kertas note dan pensil yang ada di meja. Tanpa basa-basi menyembunyikan di saku celana dan meluncur pergi.
Dasha segera berjalan cepat menuju rumah tetangganya. Dan kertas kecil tadi ia ambil untuk melancarkan rencana barusan. Yah, benar-benar ia adalah sosok jenius yang patut diacungi jempol dengan ide-idenya. Sesampainya di depan gerbang, tidak banyak berpikir Dasha langsung mendorong gerbang pemilik rumah yang ia tuju. Itu tidak terkunci. Jadi, Dasha tidak perlu berteriak atau menekan bel.
Dasha melangkah sampai depan pintu. Meletakkan rantang di lantai dan mulai menulis sesuatu. Selesai dengan rencananya, ia buru-buru menempelkan kertas di rantang. Dasha menarik napas dalam-dalam. Mengetuk pintu kencang-kencang, sejurus kemudian ia berlari pergi. Menjauh dari rumah dengan wajah cerah. Beginilah rencananya, berjalan mulus tanpa lubang.
Tanpa Dasha tahu, sosok laki-laki muncul berdiri di depan garasi tepat beberapa detik setelah ketukan pintu terdengar menatap Dasha dengan mata menyipit. Tangannya masih kotor oleh oli, dia menatap kepergian gadis itu dengan bibir terangkat menampilkan senyuman manis. Sosoknya kemudian terkekeh geli, menatap punggung gadis itu yang sudah menghilang.
Masih, sosok yang sama. Sosok sama yang membuat dirinya tergelitik hanya melihat perilaku kecilnya.