Kejadian sebelumnya mempengaruhi beberapa pikiran Dasha. Gadis itu sudah berusaha membuangnya, ia menghabiskan banyak waktu menonton film dan memakan. Sayangnya, peristiwa itu tetap membayangi Dasha.
Itu tidak mau lepas. Dan itu sangat mengesalkan.
Dasha menumpu pipinya di lutut yang ia tekuk ke atas. Seniornya yang tadi memang berperilaku aneh! Itu memberi Dasha sedikit perasaan terganggu.
Terlebih Rey memberi banyak senyuman yang jarang sekali dia pamerkan. Sangat aneh. Dasha tidak tau apa tujuan Rey memperlakukan dirinya seperti itu.
Yang Dasha kuatkan saat ini, ia tidak boleh jatuh kepada Rey. Jika menghindari laki-laki itu susah ia lakukan. Maka Dasha akan menguatkan perasaannya agar tidak jatuh dengan perilaku aneh Rey padanya.
Entah apa tujuannya, perilaku Rey sangat menyimpang dengan sifatnya. Itu akan terlihat ambigu jika seseorang melihat perilakunya yang aneh pada Dasha.
Dasha melirik jam, sudah sore. Dan film yang belum ia resapi dengan baik sudah di ujung cerita. Dasha menutup laptopnya. Menyambar beberapa permen dan memakannya. Rasanya enak.
Sialnya, Dasha kembali terpikirkan tentang Rey gara-gara permen ini.
Dasha harus membuang pikiran ini secepatnya. Ia meraih ponsel dan membuat panggilan pada Renji. Laki-laki pintar itu pasti mau datang ke rumahnya. Dasha teringat beberapa tugas sekolah yang belum rampung ia kerjakan. Waktu liburan juga akan habis beberapa hari lagi.
Mungkin ini saatnya Dasha kembali rajin menggarap tugas sekolah. Tentu dengan bantuan Renji agar otaknya tidak berkeliaran memikirkan senior gila itu!
Panggilan tersambung. Dasha bersiap mengucapkan. Di seberang, Renji lebih dulu menyapa.
"Kenapa?"
Nadanya begitu jutek. Dasha menggerutu sesaat.
"Ke sini dong. Ajarin gue, gue nggak paham sama pr matematika."
Di telepon, Dasha merasakan Renji menghela napas. Sudah pasti laki-laki itu lelah dengan kebiasaannya yang menunda-nunda pekerjaan.
"Belum selesai?"
Pertanyaan Renji terlalu bertele-tele!
"Ya belum, gue nggak mungkin selesai kalo tanpa bantuan lo."
Di seberang, Renji terdengar terbatuk-batuk kecil. Tanpa menunggu lama, jawaban Renji membuat Dasha berbinar senang.
"Gue nanti ke sana jam setengah tujuh. Lo cicil dulu yang masih bisa lo kerjain."
Dasha mengangguk. "Siap bos!"
Dasha tertawa senang, Renji menutup telepon begitu Dasha mengatakan kalimat menggelitik itu. Gadis itu akan bersiap, karena sekarang jam masih menunjukkan pukul 5 sore. Dasha akan mandi terlebih dahulu.
Dan yang terpenting, membuang tentang Rey dengan berendam. Dasha akan bersantai sesaat tanpa memikirkan pertanyaan yang membebani kepalanya.
***
Renji datang lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. Laki-laki itu dengan ramah menyapa Ibu Arni dan duduk tenang di ruang tengah. Mata laki-laki itu memandang sekeliling. Mencari Dasha.
Tidak ditunggu lama Dasha datang dari atas. Gadis itu berjalan kerepotan membawa buku-buku dan alat tulis. Gadis itu masih sama dengan yang dulu. Terlalu terburu-buru dan ceroboh.
"Udah ketemu bunda?" Tanya Dasha meletakkan tumpukan buku di meja, napasnya tampak tidak teratur dan ikatan rambutnya yang ia biarkan tidak tertata rapi.
Renji mengamati Dasha sejenak, kemudian mengangguk. "Tadi udah."
"Gue laper, ikut makan dulu mau nggak, Ji. Kebetulan gue belum makan." Dasha menampilkan senyum cemerlang. Dan Renji segera mengiyakan ajakan tersebut. Dia telah terbiasa dengan ajakan ini.
Dasha memimpin jalan terlebih dahulu, keduanya berjalan menuju ruang makan. Dan langsung mendapati Ibu Arni yang baru menyelesaikan memasak.
"Bunda, Renji mau ikut makan nih!" seru Dasha sembari mengikat rambut, ia berjalan penuh semangat melihat lauk yang tampak bervariasi.
Perutnya sudah merengek lapar, Dasha sudah sangat tidak sabar.
Ibu Arni yang masih fokus menata lauk berganti mengalihkan fokusnya pada kedatangan keduanya. "Ayo ayo sini, kalian duduk dulu. Eh, bunda lupa. Sha, kamu ambil piring dulu gih, tiga aja."
Dasha mengangguk sebagai balasan. Ia menuju rak-rak piring dan mengambil tiga piring. Menyerahkan satu pada Renji dan sisanya untuk ibunya juga dirinya sendiri.
Lauknya cukup banyak. Dasha menikmatinya dengan lahap. Mengambil bagian dan memakannya dengan suapan besar.
"Enak kan," gumam Dasha, kemudian mengigit ayam gulai yang tercium wangi.
Renji mengangguk, cukup kagum dengan kepandaian Ibu Arni dalam memasak.
Dasha tiba-tiba teringat sesuatu. "Bun, nanti rencananya Renji juga mau bantuin Dasha ngerjain tugas. Mungkin agak malem selesainya. Nggak apa-apa kan, Bun?"
Ibu Arni mengangguk. "Kalo Renji nggak keberatan nggak apa. Yang penting udah izin dulu. Bunda mah nggak masalah."
Dasha menyengir mendapati jawaban ibunya.
Makan malam itu berjalan lancar. Renji paling banyak diajukan banyak pertanyaan. Dan Dasha terkikik oleh kepasrahan Renji menjawab. Jika bersama Ibu Arni. Renji lebih banyak bicara, laki-laki itu jelas sering diberi banyak pertanyaan dan jawaban Renji terkadang panjang agar tidak diberi pertanyaan-pertanyaan lagi.
Jam menunjukkan pukul 9 malam ketika keduanya menghabiskan waktu mengerjakan tugas. Tepatnya mengerjakan tugas Dasha. Gadis itu tersenyum puas melihat tugas-tugas selesai dikerjakan.
Seharusnya hanya pr matematika. Tetapi Dasha memaksa Renji membantu dirinya dengan tugas lain hingga semuanya telah tuntas. Tentu saja setelah memintanya berulang kali.
Dasha menggeliat pegal, melirik Renji yang memainkan ponsel. Ia memutuskan mengambil beberapa camilan. Juga menyetok minuman yang sebelumnya telah habis.
Dasha teringat permen di kamarnya. Renji tidak terlalu menyukai manis-manis. Dan Dasha mengambil permen asam yang tersisa. Gadis itu cekatan kembali. Ketika Dasha kembali, Renji tengah duduk membaca buku.
"Permen nih."
Renji mengangguk, mengambilnya satu dan memakannya.
Dasha juga memberesi sisa pekerjaannya tadi. Menggantikan meja yang sebelumnya penuh buku dengan camilan. Badan pegalnya tiba-tiba ambruk di karpet. Dasha menarik napas lelah. Melirik Renji yang masih membaca buku. Temannya itu memang tidak kenal lelah. Renji memang terlalu rajin! Dasha iri, tapi ia tidak bisa melakukan apa yang Renji lakukan.
Bibir gadis mengerut, tiba-tiba teringat oleh seniornya itu. Ini kesempatan bagus! Dasha akan bertanya secara natural agar Renji tidak menyadari niat yang sesungguhnya.
"Ji, lo tau nggak senior yang tadi pagi ketemu ternyata tetangga gue." Dasha bangkit, membuka snack dan menyandarkan diri di kaki sofa.
"Nggak. Kenapa?"
Mengunyah cepat, dengan kesal Dasha menjawab. "Masa dia jadi tetangga gue sih."
Renji nampaknya masih tak acuh. Ia mengangguk dan menutup buku. "Kenapa emang. Lo ada masalah sama dia?"
Dasha melambatkan gerakan makannya. Menggeleng cepat. "Ya enggak lah," sergahnya tegas.
"Gue, gue cuma agak kaget aja sih," elak Dasha gugup.
"Oh."
Renji memang tidak bisa di ajak bicara dengan baik. Dasha meluruskan kaki. Ia sibuk memakan camilan, tetapi pikirannya tertuju oleh seniornya. Oleh Rey! Dasha masih penasaran!
Ia bisa gila jika menghambat rasa penasarannya ini lama-lama.
"Ji, lo suka cerita-cerita tentang gue sama dia nggak?"
Dahi Renji berkerut, dia menaikkan kepala. Menatap Dasha yang tiba-tiba mengalihkan arah pandangnya. "Gue cuma kasih tau nama lo doang. Kenapa?"
Dasha menunduk. "Ya nggak apa-apa. Penasaran aja. Soalnya, siang tadi gue ketemu sama dia."
Renji teringat tingkah Dasha pagi tadi. "Terus?"
"Terus, terus dia tau nama gue. Kata dia sih taunya dari lo. Em ... Gue cuma pastiin aja tadi."
Anggukan Renji membuat Dasha lega. Tapi tidak sepenuhnya lega. Masih ada krikil yang nampaknya mengganjal di sudut hatinya.
Dasha mengangkat kepala. "Eh katanya. Kak Rey sekolah di SMANSA. Lo udah tau, Ji?"
Renji kembali mengangguk. "Udah."
"Kak Rey, menurut lo dia kaya apa?"
Pertanyaan ini terdengar ambigu untuk Renji. Ia memutuskan melakukan kontak mata dengan gadis itu. Alisnya sedikit berkerut.
"Biasa aja," balas Renji singkat.
Balasan itu membuat Dasha menurunkan kelopak matanya, minatnya telah pupus untuk bertanya macam-macam pada Renji. Ia menatap Renji dongkol. Mengapa juga ia menanyakan pertanyaan ini pada laki-laki itu. Tiba-tiba Dasha merasa konyol telah mengajukan pertanyaan barusan. Renji mana mau menjelaskan dengan banyak kata. Pada akhirnya itu akan menjadi sia-sia.
Biasa saja bukan kata yang tepat untuk menggambarkan Rey. Jika laki-laki itu dikatakan biasa saja. Bagaimana dengan yang lain. Rey itu abnormal. Level abnormalnya tinggi, apalagi setelah kejadian siang tadi. Dilihat dari sudut manapun. Rey bukan lagi biasa saja, tapi abnormal luar biasa!
Malam itu Dasha tidak mendapatkan banyak informasi tentang Rey. Itu karena Renji yang terlalu tak acuh dengan balasannya sendiri. Laki-laki itu pulang begitu panggilan dari seseorang masuk.
Dan Dasha melambaikan tangan menatap kepergian laki-laki itu di depan rumah. Ia masih tidak puas dengan hasil pencariannya ini.
Malam itu ditutup oleh rasa penasaran Dasha yang membeludak.