Dasha mengembuskan napas berat, ia berusaha fokus mengayuh sepedanya. Sialnya Dasha merasa itu sulit dilakukan. Mata gadis itu menatap nanar jalanan masih lumayan senggang. Suasana hatinya buruk. Dasha juga kesal lantaran keberuntungan sedang tidak mau menempeli dirinya.
Karena hal itu, Dasha selalu mendapatkan kesialan beruntun.
Sudut mata Dasha melirik sosok yang mengayuh sepeda beriringan bersama dirinya. Ekspresi Dasha makin berat. Ia sudah berat hati ketika harus berangkat sekolah. Dan sekarang Dasha menanggung berat lainnya karena dia berdampingan dengan tetangga barunya.
Siapa lagi jika bukan Rey!
"Maju dulu," pinta Rey memelankan kayuhan sepeda.
Dasha menoleh, mengangguk mengiyakan. Ia menaikkan kayuhan, keduanya tidak lagi berdampingan. Dasha lebih depan, sedangkan Rey mengalah di belakang Dasha. Rasanya sepeda melaju lebih tenang. Mengayuh melewati jalanan besar, jalanan tersebut sekarang nampak lumayan padat. Jika tidak berhati-hati, itu akan menimbulkan bahaya saking ramainya lalu lintas pagi ini. Selain itu, penyebabnya tentu saja karena hari libur telah selesai, aktivitas sekolah atau para pekerja mulai berjalan normal seperti biasa. Dan kepadatan jalan makin sibuk ketika pagi hari mengingat mulainya hari kerja.
Karena jarak sekolah dengan rumah tidak terlalu jauh. Dasha manfaatkan keuntungannya tersebut untuk menghemat biaya transportasi dengan bersepeda.
Ia masih dalam suasana kacau, untuk sesaat Dasha menimang keberuntungan yang telah habis ia raup dua hari lalu.
Memang, dua hari yang lalu. Dasha merasa senang tidak berjumpa dengan Rey. Itu keberuntungan besar. Mau di rumah atau ketika ia keluar, Dasha tidak bertemu dengan Rey. Entah ke mana seniornya pergi. Dasha merasa kebahagiannya berkali lipat saat itu. Ia berdoa agar keberuntungan tersebut berjalan lebih lama dan lama.
Sialnya keberuntungan itu tidak berjalan lebih lama, itu hanya dua hari saja!
Memikirkan itu membuat Dasha ingin berteriak kesal.
Ketika sampai gerbang, sekolah masih lumayan sepi. Hanya segelintir siswa yang sudah berangkat sepagi ini. Senior di belakangnya juga termasuk siswa yang berangkat pagi. Dia membuntuti Dasha untuk memarkirkan sepeda.
"Sha." Rey memanggil Dasha yang tengah mengambil buku di keranjang sepeda.
Gadis itu menoleh gugup. "Kenapa, kak?"
"Ke sini bentar."
Dasha mengerjapkan mata linglung.
Rey di hadapannya mendecak pelan, ia perlahan mendekat. Wajah Dasha saat ini kontras dengan kerutan kebingungan. Ia ingin berjalan mundur, tetapi tangannya di tarik ringan oleh seniornya. Degup jantung Dasha mengencang. Matanya semakin menyipit melihat tangan laki-laki tersebut bergerak mendekat wajahnya dan melewati langsung ke atas kepalanya.
Ketika Dasha ingin mengelak pergi. Tangan Rey telah turun dari atas kepala. Menunjukan daun yang baru ia dapatkan. Bola mata Dasha melebar. Merasa malu. Genggaman ringan itu terlepas begitu Dasha sedikit mengubah posisinya.
"Ada daun tadi." Rey tersenyum tipis dan membuang temuannya.
"Em .... makasih," balas Dasha pelan, ia menunduk dan mencoba pergi dengan berhati-hati agar tidak terlalu mencolok memperlihatkan niat kaburnya.
Apa yang terjadi barusan, Dasha menutup mata sejenak, sekarang ia berasa sedang bermimpi mengingat memori beberapa waktu barusan.
"Bareng boleh nggak, Sha?"
Dasha ingin cepat-cepat masuk ke kelasnya. Namun, ucapan Rey barusan menghentikan niat Dasha. Gadis itu berhenti sejenak, menoleh pelan menatap Rey yang buru-buru menghampirinya.
Tanpa membalas, Dasha mengiyakan dalam hati. Ia masih menunduk, Dasha ingin bertingkah tidak peduli. Sayangnya itu selalu tidak sinkron dengan perintah hati dan tindakan yang dilakukan.
Lagi-lagi, keduanya harus berjalan berdampingan.
Dasha menahan napas sesaat. Meremas jemarinya yang kebas. Tampilan Rey pagi ini mematikan untuk gadis sepertinya! Dasha tidak bisa mengelak keindahan wajah laki-laki itu. Terlebih melihat rambutnya yang agak berantakan setelah bersepeda barusan. Paru-parunya terasa ditindih batu, Dasha merasa sesak napas. Terlalu mematikan.
Sepanjang perjalanan, keduanya tidak luput oleh pandangan murid di sekitar. Ini semua karena daya pikat Rey yang luar biasa. Dengan wajah tampan dan indahnya. Kecuali Dasha, siapa yang tidak akan terpikat olehnya. Dasha semakin jengkel dengan fakta barusan. Bibir gadis itu terlipat, mengigit kecil bibir bawah, ia sekarang merasa gemas untuk mengacak wajah Rey agar tidak terlalu memikat orang sekitarnya. Setidaknya jangan berada di dekat Dasha. Mau tak mau ia juga harus menanggung tatapan itu.
"Lo tau kelas sebelas IPA dua, Sha?" tanya Rey setelah menangkap beberapa gedung dengan wajah sedikit berkerut.
Dasha menaikkan wajah, ia mengangguk pelan. "Lantai bagian atas, tapi kelasnya sebelah sana." Dasha menunjuk bagian gedung yang terletak jauh dengan posisinya saat ini.
Rey menaikkan kedua alisnya. "Kelasnya bagian mana?"
Dasha ingin pergi segera, ia menghela napas sejenak. "Letaknya tepat di lantai dua, paling deket sama tangga kiri. Lo bisa tanya orang di sana kalo masih kurang jelas."
"Tanya siapa, gue nggak kenal orang sini kecuali lo."
Dasha sudah menjelaskan lebih rinci, dan melihat Rey bertingkah tidak memahami penjelasannya membuat Dasha semakin dongkol.
Mendengar jawaban menjengkelkan itu, sepertinya Renji telah dilupakan oleh laki-laki tersebut. Dasha tersenyum getir. "Tanya siapa aja. Bakalan di jawab kok."
Terlebih Rey memiliki tampang indah, itu mudah untuk mendapatkan jawaban ketika bertanya.
Mengapa Rey bertingkah seolah-olah orang-orang akan mengabaikannya.
"Gitu ya ... Kalo kelas lo sebelah mana?" tanya Rey mengambil topik pembicaraan lain. Menampilkan sedikit senyum tipis aneh yang tidak Dasha tangkap baik-baik.
Dasha terdiam, ia dengan enggan menjawab. "Lantai bagian bawah. Gedung sebelahnya."
Rey tidak bertanya lagi setelah itu. Melangkah lebih cepat, Dasha bersyukur Rey tidak mengajukan pertanyaan lain selain anggukan oleh balasannya tadi.
Pemuda tinggi itu menatap Dasha yang melangkah lebih depan. Melihat Dasha yang membalas tidak banyak minat membuat Rey menghentikan percakapan keduanya. Mungkin ini terlalu cepat untuk mengakrabkan diri.
Setelah itu, gerak mata laki-laki tersebut jatuh pada gantungan tas gadis di depannya. Rey sedikit tertarik, melihat boneka koala lucu yang berposisi tengah duduk yang tergantung membuat wajahnya lebih lembut.
Ada sesuatu dibaliknya, kenangan lama yang menarik wajah Rey menjadi lebih ringan dan lunak ketika mengetahui Dasha masih memakainya.
Rey berjalan sendirian ketika Dasha memasuki sebuah kelas yang sudah dipastikan itu adalah kelas yang Dasha huni. Tersenyum puas, laki-laki itu dengan santai membuka permen dan memakannya. Walaupun ia jarang-jarang merasakan perasaan lembut ini, Rey merasa cukup puas, senyumnya melebar lebih dalam, membius beberapa orang yang melihat kehadiran pemuda tinggi dan asing di koridor.
Tatapan itu sama seperti tatapan yang Rey rasakan dulu. Ia terbiasa dengan suasana seperti ini. Karena ia tinggi, Rey mudah memberi perhatian orang-orang sekitar. Bisik-bisik tercipta, lorong tampaknya lebih ramai. Langkah kakinya yang lebar dengan cepat membawanya di lantai dua. Tanpa bertanya, dia dengan percaya diri masuk di salah satu ruang kelas. Mencari tempat belakang dan duduk dengan tenang.
Suasana kelas membeludak.
Perhatian murid kelas langsung tertuju pada laki-laki tinggi yang tengah memainkan ponsel. Terlihat indah walaupun wajahnya menunjukkan penuh ketidakpedulian. Sontak kehadiran Rey memberi gosip kecil yang lama kelamaan akan menyebar di penjuru sekolah.
Rey tidak terlalu peduli. Setelah mengirim pesan kepada seseorang, ia menunggu seseorang tersebut menampakkan diri. Tidak ada yang Rey kenal di sini. Membosankan seperti biasa. Bibir pemuda itu berkerut bosan, ia mengabaikan perhatian sekitar yang penasaran dengannya.
Bosan menunggu kedatangan seseorang, Rey mencondongkan tubuh ke bawah. Tidur dengan bantalan dua lengan tangan terlipat di atas meja. Matanya terpejam di tengah kebisingan kelas, Rey mendapatkan tidur singkat dan terbangun ketika bahunya ditepuk ringan.
Pemuda itu menegakkan badan malas, matanya menyipit melirik pelaku yang ia kenal jelas. Laki-laki yang menepuk bahunya berdiri di depan meja Rey dengan wajah tidak percaya. Pemuda bernama Dika tersebut menampilkan wajah melongo dengan wujud seseorang dihadapannya. Bibirnya terbuka pelan, pria itu menatap Rey dengan wajah syok. Kemudian, sosoknya duduk di kursi sebelah dan tersenyum penuh kekaguman.
Itu adalah bos besarnya!
Dika menepuk pipinya sendiri tidak percaya. Awalnya ia pikir, pesan yang menunjukkan agar segera datang ke kelasnya bukan Rey tetapi nomor iseng untuk menipunya. Dika tidak menyangka jika itu benar-benar mantan ketuanya!
"Lo kok baru ngabarin kalo sekolah di sini?" Suara Dika sedikit bergetar karena masih syok dengan kedatangan teman lama. "Gila, gila, gue kira lo cuma iseng chat kaya gitu."
Dika masih tidak percaya, laki-laki kulit madu itu menatap Rey seolah dia masih di dunia mimpi. Dia tidak tahu apa yang memotivasi laki-laki itu untuk pindah ke sekolah ini. Yang pasti, dia merasa senang dapat satu sekolah dengan mantan ketuanya dulu.
Rey mengembuskan napas bosan. "Berisik. Kabar yang lain gimana?"
Dika meletakkan tas, dan bersemangat bercerita. "Yang satu sekolah sama kita cuma ada gue, Ben, sama Noel."
Rey mengangguk paham, mengulurkan tangan merogoh saku dan mengambil permen. Memakan cepat sembari menyimak Dika yang bersemangat melanjutkan cerita.
Mata Dika masih berbinar semangat. "Lo udah ngabarin mereka, bos?"
Dahi Rey mengeryit sesaat, ia mencubit pangkal hidungnya lelah. "Nggak usah panggil gue kaya gitu lagi."
Melihat ketuanya yang nampak tidak senang dengan panggilan lama itu. Dika mau tak mau menunjukkan penasaran lebih. "Lo kan emang bos."
Mendengus sesaat, Rey menggulung bungkus permen dan membuangnya di laci meja. "Basi. Jangan panggil gue kaya gitu lagi pokoknya."
Dika menaruh curiga, tetapi dia patuh dan melanjutkan bercerita. "Yang satu kelas sama lo cuma gue. Kalo Ben sama Noel ambil IPS—eh, jangan-jangan lo belum ngabarin mereka?"
Gelengan kepala Rey membuat Dika menatap pemuda sampingnya tidak percaya. Masih Rey yang sama. "Lo nggak punya nomornya apa gimana. Kan bisa minta sama gue."
Rey kembali menelungkup di antara lipatan lengan, mengabaikan Dika yang berceloteh lebih panjang, kepo mengapa Rey tidak mengabari lainnya. Membuat kepala Rey pusing, Dika terlalu cerewet dan membuat Rey ingin membuang laki-laki itu lantaran terlalu banyak bertanya tak henti-henti.
Celotehan itu berhenti ketika bel berbunyi nyaring. Pria di sampingnya lelah dan membungkam mulutnya agar tidak terlalu mengeluarkan lebih banyak kata. Menelan kenyataan jika Rey masih sosok yang sama, ketidakpeduliannya membuat Dika nyeri. Ketuanya dulu benar-benar masih iblis yang sama.
Dia pikir Rey akan melunak, lupakan. Jika Rey melunak, tentu bukanlah pada para bawahannya.