Dasha tidak paham dengan pola pikir Rey saat ini. Entah dia gegar otak atau mengalami kesalahan pada otaknya. Dasha merasa ini sangatlah aneh. Itu karena senior gilanya membuntuti dirinya. Bertingkah seolah tidak ada apa-apa. Seolah kisah dulu hanyalah sebutir kotoran yang mudah dilupakan.
Dasha tidak akan heran jika seniornya itu tidak mengenalinya. Dengan sifatnya, tidak mengherankan jika peristiwa lama itu dia lupakan.
Tunggu! Harusnya Dasha senang, iyakan! Harusnya begitu, tapi mengapa ada batu besar di dadanya ketika memikirkan kemungkinan itu. Kelopak matanya makin kendor tidak bersemangat seperti sebelumnya. Ada yang tidak beres dengan dirinya. Perasaan aneh sedari tadi mengisi Dasha, perasaan asing yang Dasha sendiri enggan menelaahnya lebih dalam.
"Punya gue yang nggak pedes," celetuk Rey mengejutkan gadis sejengkal lebih depan darinya.
Dasha menoleh, mengangguk paham. Ia baru tau senior gila itu tidak doyan pedas. Lalu apakah Rey juga pemilih makanan juga, pasti begitu.
Mengapa ia harus memikirkan ketidaksukaan laki-laki itu! Gila, Dasha mengusir pemikiran gila itu. Tidak baik, sangat tidak baik.
Tenda makanan yang mereka kunjungi lumayan ramai. Dasha kali ini sabar mengantri, ketika waktu bagiannya datang, tiba-tiba Rey menyeletuk kembali. "Nggak pake kubis juga."
Dasar pemilih!
Jika Rey berada di sini. Dasha sudah mengejek sosoknya tentang bertapa pemilihnya tentang makanan!
Itu tidak sinkron dengan jeritan di hatinya. Karena lagi-lagi Dasha mengangguk mengiyakan. Ia segera memesan. Dan menunggu pesanannya jadi. Ketika Dasha menunggu, Rey entah pergi kemana. Dasha tidak peduli, mungkin laki-laki itu berjalan-jalan sejenak. Atau mencari tempat. Tapi berada di mana?
Lamunan Dasha dikejutkan oleh penjual yang menyerahkan pesanannya. Dasha segera membayar dan berjalan mundur, pergi dari kerumunan. Dasha menoleh ke sana sini. Ia bingung, harus pergi kemana saat ini. Ia tidak tahu kemana Rey mengambil tempat. Kebingungan Dasha tentu membuatnya sedikit ragu melangkah. Renji juga tidak menampakan batang hidungnya.
Baru akan merogoh kantung celana. Lengan Dasha ditarik lembut, tetapi itu tetap mengejutkan Dasha. Memekik pelan, Dasha menatap pelaku dibalik penarikan tersebut dan wajah terkejut sesaat.
Rey dihadapannya tersenyum. Matanya melengkung seperti bulan. Mata laki-laki itu bersih. Ketika tersenyum bulan indah timbul, itu langka karena Rey selalu memasang wajah cuek bersama campuran ketidakpeduliannya.
Bulan di matanya begitu indah. Laki-laki itu sangat semakin menawan ketika tersenyum!
Dasha disadarkan oleh pegangan tangan di lengannya. Gawat, senyum Rey seperti maut. Dasha tenggelam karena itu, dan itu memalukan. Telinganya memerah malu. Tidak berani lagi menatap wajah Rey. Ini terlalu memalukan!
"Ayo."
Tangan ditarik kembali, tetapi itu genggaman itu berganti di telapak tangan Dasha. Keadaan itu sempat diabaikan ketika Dasha berusaha mencerna perkataan Rey.
"Ayo kemana?" tanya Dasha pelan, ia menurut ketika Rey menariknya entah kemana. Tidak ada penolakan.
"Ya ke tempatnya lah. Lo lama, Renji udah ada di sana."
Dasha mengerjapkan mata sadar. "O-oh gitu. Baru inget."
Tingkat malunya mendekati maksimal. Dasha menunduk makin dalam. Melirik lengannya yang masih ditarik. Harusnya tangannya melepaskannya. Ia masih bisa berjalan dan tidak perlu digandeng. Namun, mengapa ia harus tetap berada di genggaman Rey.
Dasha menarik tangannya, itu gagal karena Rey menguatkan genggaman tangan. Gadis itu mendongak, menatap Rey dengan tanda tanya. Tidak putus asa, Dasha kembali mencoba menariknya lagi.
Di depan, Rey berdecak. Kesal dengan reaksi Dasha. "Diem aja."
"Lepasin. Gue masih bisa jalan." Protes Dasha tak mau kalah.
Menoleh cepat, langkah keduanya terhenti. Rey menatap Dasha yang menunduk. Dahi pemuda itu sedikit berkerut, mungkin ini terlalu cepat. Rey segera melepaskan tangan dan berjalan kembali tanpa mengucapkan kata-kata lain.
Perilaku Rey sontak membuat Dasha terhenyak. Ia menatap punggung Rey dan reflek berjalan membuntuti. Ada perasaan aneh yang membuat Dasha bingung.
Perasaan kehilangan.
Apalagi ketika tangan hangat itu terlepas. Tangan Dasha terasa kosong, hampa dan perasaannya campur aduk. Antara kesal dan tidak rela. Dasha tidak tahu dengan perasaan semacam ini. Ia jelas membenci Rey, tapi mengapa ada rasa aneh yang menyusup dihatinya. Itu semakin terasa sama dengan dirinya 2 tahun yang lalu. Dasha menggelengkan kepala, mengusir pemikiran itu. Tidak, ia tidak boleh jatuh.
Melangkah semakin cepat. Tempat yang dituju Rey memang telah ada satu laki-laki yang Dasha kenal. Itu Renji, duduk di tempat cukup teduh. Minumannya telah dipesan. Dasha bergegas menghampiri dan memasang wajah ceria.
Ayo lupakan perasan tadi! Harusnya Dasha tidak terlalu dalam memikirkannya. Mau bagaimanapun, Rey masih senior gila yang Dasha benci. Itu akan tetap seperti itu. Dasha yakin dengan kata-katanya!
***
Perjalanan yang mengesalkan sekaligus membingungkan!
Sesampainya di rumah, Dasha menabrakkan diri di kasur dengan wajah kebingungan. Berguling menjadi telentang, Dasha menatap plafon kamar sembari memikirkan kejadian yang baru-baru ini terjadi. Satu lengan tangannya menutup mata. Dasha bimbang, jelas-jelas Rey berperilaku tidak seperti dirinya.
Apa yang terjadi pada sebelumnya sampai membuat Rey bersikap aneh.
Pertama, Rey datang kerumahnya saja sudah aneh. Laki-laki penuh keangkuhan itu bukan sosok yang doyan bersosialisasi. Sangat janggal. Dan yang paling janggal adalah ketika Rey menggenggam tangannya. Tangan laki-laki itu besar dan hangat. Apa yang ia pikirkan barusan?!
Pipi Dasha seketika panas. Berguling menjadi menelungkup menutupi wajah dengan bantal. Tidak berlangsung lama ia membebaskan diri karena sesak. Tapi tangan Rey memang hangat. Laki-laki itu juga pemilih makanan. Tidak suka pedas. Dan tunggu! Mengapa ia mendapatkan banyak informasi mengenai Rey dari sehari baru bertemu dengan sosoknya!
Bibir Dasha berkerut, keanehan ini semakin membingungkan.
"Sha, keluar bentar!"
Dasha segera bangkit. Lupakan tentang Rey! Pemuda itu sedang tidak waras makanya melakukan hal aneh beberapa waktu ini! Ia bergegas keluar dan menghampiri ibunya di ruang tengah.
Wajah gadis itu menampakan binar cerah. "Ada apa, bun? Aku disuruh makan bolunya?"
Ibu Arni menggeleng, menyerahkan beberapa plastik pada Dasha. "Bantu bungkus. Rencananya mau ibu bagi ke tetangga. Lumayan mumpung lagi buat banyak."
Dasha menanggapinya dengan anggukan singkat. Tangannya cekatan membantu membungkus, setelah selesai Ibu Arni menyisakan beberapa kue untuk Dasha. Itu tentu membuat Dasha senang. Membawa beberapa butir kue ke dalam kamar berbunga-bunga.
Harum kue tercium kental, ibunya tidak pernah gagal jika membuat kue kesukaannya. Itu bolu kukus rasa coklat. Teksturnya lembut dan manis. Dasha suka makanan manis, dan kue buatan ibunya ini salah satu makanan favoritnya.
Dengan hati-hati Dasha menata beberapa kue di piring. Kemudian Dasha meletakkannya di meja, mengatur mejanya menjadi indah. Gadis itu beraksi untuk memotret. Ia akan mengunggahnya di sosial media, tren seperti ini tidak asing lagi. Dasha memanfaatkan peluang untuk memamerkan kue buatan ibunya.
Mengetikkan sedikit caption dan memberinya beberapa tagar lalu menguploadnya. Dasha tersenyum puas. Itu benar-benar menyenangkan. Ia meninggalkan sejenak untuk keluar. Beberapa hari ini cuaca terlalu panas. Itu sedikit mengesalkan jika terlalu di dalam rumah, hanya terasa sesak.
Ibu Arni di dekat sofa sedang serius menelepon. Dasha menunggu sampai beliau menyelesaikan panggilan. Lalu menanyakan beberapa pertanyaan.
"Bun mau nitip sesuatu nggak? Aku mau ke luar bentar."
Ibu Arni terdiam sejenak. "Beliin saos sama kecap aja. Uangnya nanti pake punya kamu. Nanti Bunda gantiin."
"Siap." Dasha menyengir senang. Berpamitan dan pergi keluar. Meninggalkan Ibu Arni yang menatap kepergian Dasha dengan senyum tipis. Gadisnya semakin hari terasa berbeda. Wanita itu berbalik, pergi untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.