"Kamu menangis?" Abaddon menarik tangan Hotaru yang duduk menelungkupkan wajahnya sambil memeluk kedua lututnya dengan erat.
"Kii?" Hotaru mendongak. Menatap Abaddon dengan matanya yang besar dan berair. Dia memeluk Abaddon dengan erat.
"Kenapa?"
"Kii tidak ada dimana pun." Suara Hotaru terdengar serak.
Abaddon menatap Hotaru. "Aku memang tidak wajib selalu bersamamu."
"Aku tahu." Hotaru masih sesenggukan. Dia membenamkan wajahnya di dada Abaddon. "…Aku fikir Kii akan meninggalkanku juga. Kii tidak pernah pergi selama ini."
Abaddon mengelus rambut Hotaru pelan. "Aku ke desamu."
Hotaru tersentak. Dia melepaskan diri dari dada Abaddon dan menatap bingung Abaddon. Seakan mencari kata untuk bertanya pada Abaddon.
"…Kii pergi ke desa? Untuk apa?" tanyanya akhirnya.
"Di sana aku mendengar cerita tentangmu."
Hotaru terdiam. Dia tampak bingung dan alisnya mengerut.
Abaddon menatapnya. Seakan mencoba menebak apa yang sedang difikirkan Hotaru, karena jarang sekali Hotaru tidak bersuara seperti saat ini.
"…Ulang tahunmu." Suara Abaddon membuyarkan lamunan Hotaru. "Kamu mau aku mengabulkan permintaanmu." Dia menghentikan kalimatnya sejenak. "Apa kamu ingin kembali ke desa?" lanjutnya bertanya.
Mata Hotaru berputar sekali. Tampak tidak mengerti apa yang ingin dikatakan oleh Abaddon.
"Aku bahkan dapat merubah hati semua orang di desa agar menyukaimu." Abaddon melanjutkan. "Kamu akan dapat berbaur dengan mereka tanpa dikucilkan sama sekali."
"…Kii dapat melakukannya?" Hotaru menatap Abaddon. "Apakah itu artinya Kii akan menyihir mereka?"
"Benar. Aku dapat melakukannya." Abaddon tersenyum. "Itu masalah yang mudah untukku."
Hotaru menatap Abaddon. Tapi senyumnya terlihat getir.
"Jadi, apa kamu menginginkannya?" Abaddon mengulang pertanyaannya.