Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Dandilian

🇮🇩SiluetLazuardi_429
--
chs / week
--
NOT RATINGS
5.1k
Views
Synopsis
Liliana, perempuan malam yang akhrinya jatuh cinta kepada Adin setelah hidup bersama selama 3 tahun. Hidup yang selalu dihiasi dengan takdir-takdir konyol yang bisa mempertemukan dua orang berbeda karakter dan bersama dalam satu atap selama 3 tahun.
VIEW MORE

Chapter 1 - Dia Yang Benar Mencintaiku

Aku juga ingin seperti perempuan yang lain, aku ingin hidup selayaknya manusia. Bisa bekerja dipagi hari dan tidur di malam hari. Mungkin itu hanya impianku saja, ternyata Tuhan lebih mencintaiku, Ia ingin aku lebih hebat dan kuat dibanding kupu-kupu lain. Agar sayapku tak rusak kala angin besar menerjang, dibuatlah aku dengan sayap besar dan tebal. Agar aku dapat terbang kemana saja kumau.

"Tuhan, aku lelah. Boleh aku pulang???" itulah doa yang selalu aku panjatkan ketika badan telah dihantam lelah dan jiwa terasa menjauh dari jangkauan-Nya.

Aku selalu ingin pulang kerumah, bukan istana yang mewah ataupun gedung berlapis emas. Aku hanya ingin pulang pada pangkuan Tuhan. Agar aku dapat dimanjanya kembali, aku tahu bahwa aku anak kesayangannya. Mana mungkin Tuhan menghardikku, ia malah ingin bertemu dengan ku, untuk bersantai atau hanya menyeruput teh bersama.

Aku Liliana, perempuan jalang yang bergegas ingin pulang. Tapi aku bingung, apa yang akan kubawa untuk menemui Tuhan nanti, apakan Ia mau bertemu aku saat aku tak membawa buah tangan untuknya? Ah terserah.

Aku selalu pergi saat senja telah menyapa dan pulang saat fajar menghalauku dari timur, aku menikmati hidupku yang seperti itu. Sampai saat aku bertemu lelaki yang pantas aku sebut lelaki.

"Aku seharusnya duduk dibangku kuliah sekarang, tapi aku malah masih berpetualang mencari tuhanku. Iya, tuhanku. Yang memberiku banyak uang agar aku bisa menyekolahkan adikku hingga tak seperti aku" jelasku panjang lebar padanya.

"Tapi caramu itu salah".

"Lalu aku harus berbuat apa?? Aku perempuan biasa yang lulusan SMP dan nggak punya ketrampialn apapun".

"Ini, kamu bisa menghasilkan ini" katanya sambil memberikan kertas kanvas bergambarkan wajahnya.

"Dari mana kamu dapat itu? Berikan padaku" tanyaku sembari merebut kanvas itu dari tangnnya.

"Kamu mau menikah denganku? Liliana?" sontak nadiku seakan berhenti.

Dia memang gila, sangat gila. Banyak wanita cantik dan baik diluar sana, ia malah meilihku. Padahal dia tahu, bahwa aku seorang kupu-kupu malam. Aku bingung dan hanya bisa terpaku pada kalimatnya itu. Jiwaku seakan berpisah dengan tubuhku, aku pikir aku hanya menghayal, tapi aku tesadar saat ia mengutarakan kalimat yang tak kalah mengagetkanku.

"Aku tau, kamu pasti akan menolakku. Mungkin aku nggak bisa mencukupimu sekarang, tapi suatu saat nanti aku yakin. Aku bisa membuatmu menjadi wanita paling berharga setelah ibu dan adikku. Aku bisa menjamin itu" jelasnya

"Aku bukan perempuan yang benar, kita juga berbeda agama. Aku nggak mau".

"Benar salah bukan kita yang menentukan. Lagian, aku menikahimu. Bukan agamamu, benar salahmu atau kelaminmu. Aku mencintaimu dengan caraku, dengan penilaianku dan dengan prinsipku. Aku nggak mau merubahmu, tapi kita bisa berjalan kearah yang sama dengan panduan yang sama. Agamamu? Kita tak bisa menghardik itu, itu terserah mu" jelasnya padaku yang mulai beruraian air mata.

Dengan mudahnya ia mengatakan itu, padahal yang sejujurnya mungkin saja hatinya terluka, karena harus mencintai wanita bekas seperti aku. Namun, lagi-lagi cinta memaksa kita untuk saling bertemu dan menautkan hati satu sama lain. Aku juga mencintainya, aku mencintai akhlaknya, aku mencintai pribadinya. Tapi, apakah Tuhannya mau menerimaku dengan segala kekotoranku ini. Aku yakin hidupku akan menjadi lebih baik jika memang aku dengannya, tapi aku masih tidak bisa merelakan ia yang suci denganku yang sudah menjadi rongsokan ini. Aku malu padanya, aku malu pada Tuhannya. Kini aku bingung dan tak bisa berbuat apa-apa selain diam dan merenungkan apa yang akan terjadi nanti jika aku menerimanya atau bahkan menolaknya.

"Beri aku waktu sampai besok. Aku akan menajwabnya, tapi kamu harus janji. Nggak akan kecewa dengan keputusanku? Oke?".

"Oke, siap" jawabnya mantap.

Akupun pulang dengan kepala penuh dengan pikiran yang bercampur aduk, kupandangi seluruh trotoar jalan menuju rumahku. Dengan angkot yang kunaiki, pemandangan indah itu jelas terlihat, para penjual menjajakan barang jualannya, padahal sudah tak terhitung lagi petugas keamanan menyuruh mereka pergi, disamping pemandangan itu. Aku tertuju pada sepasang lansia yang begandengan saling memabantu berjalan, romantisme mereka memang patut diacungi jempol. Bagaimana tidak? Diusia yang terbilang tidak muda lagi, mereka masih bisa memadu kasih dan tak menghiraukan omongan orang yang tidak suka padanya, mereka hanya saling memperhatikan satu sama lan, mereka saling menguatkan. Bahkan mereka membuatku tersadar, bahwa aku selalu mendengarkan omongan orang dan tak memperhatikan omongan Dandi, dia yang sudah sejauh ini denganku. Dia selalu menerima aku apa adanya, dia berebeda dengan pria lain yang membayarku. Aku tahu, mungkin orang akan terus menghardik hubungan kami. Tapi kami harusnya saling memahami dan menguatkan, untuk membuktikan pada orang-orang bahwa aku dan Dandi adalah pasanagn yang serasi. Yang akan saling menguatkan saat berjalan, yang akan saling merindukan saat berjauhan dan saling mengalah saat ada yang salah.

Aku kembali teringat saat pertama kali bertemu Dandi, mungkin Tuhan menyuruhku untuk tidur dipundaknya agar aku tahu, bahwa ada pria sehangat dia. Aku benar, aku tak memilih orang yang salah, dia bisa membuatku lebih dan lebih baik dari sekarang, besok maupun lusa. Aku mencintainya Tuhan, maafkan aku. Aku harus bersamanya, aku akan menyapamu lain waktu, saat kita bertemu dengan status yang berbeda, mungkin.

Akupun memutuskan turun dipinggir jalan dan kulanjutkan langkahku menuju sebuah masjid besar disudut kota ini, aku memantapkan diri untuk masuk kerumah Tuhan yang berbeda, aku mulai merasakan desir darah mengalir pada sekujur tubuhku. Lemas, bingung dan cemas yang aku rasakan saat langkah-langkah awal memasuki ruangan.

"Aku ingin masuk Islam pak" ucapku pada seorang lelaki yang duduk bersila disudut ruangan.

"Anda sudah yakin mba?" tanyanya padaku.

"Iya pak, aku yakin" ucapku mantap.

"Ini bukan perkara ruangan yang bisa mbak masuki semau mbak. Saya nggak bisa membantu kalau mbak hanya main-main".

"Tolong saya pak? Saya benar-benar ingin menjadi mualaf" pintaku pada bapak itu.

"Kalau mbak memang benar-benar mantap. Tunggu sebentar".

Kurang lebih satu jam mempersiapkan segala sesuatu yang memang dibutuhkan untuk proses memualafkan aku. Tapi, entah mengapa. Aku semakin bersemangat disetiap menit dan detiknya

"Anda siap mbak?" tanya bapak itu saat semuanya sudah siap.

Akupun mengiyakan pertanyaan bapak itu, lebih dari satu jam aku melakukannya, namun aku lancar pada ucapan terakhirku. Kini, aku dan Dandi tak terpisahkan oleh apapun. Aku hanya percaya pada Dandi.

Akupun memutuskan pulang kerumah dengan perasaan yang sangat damai, meski semua orang memperhatikan aku. Tak sedikit pula menggodaku karena penampilanku yang masih menggambarkan jati diriku. Aku juga memutuskan untuk membuang semua uang yang aku dapat dari hasil malam ku itu. Meskipun aku tak tahu akan menghasilkan apa, kumasukkan sejumlah uang yang aku dapat kedalam kotak amal pembangunan masjid yang tak jauh dari masjid sebelumnya.

Sesampainya aku dirumah, kucoba buka kembali lemari bajuku yang dulu. Kucoba cari baju yang memang pantas aku pakai untuk menemui Dandi malam nanti, aku sudah tak sabar untuk menunggu esok, akupun mengenakan sebuah kaos dengan celana jeans yang kupadu padankan dengan hodie abu-abu milik adikku. Karena hanya itu yang cukup dengan badanku yang sudah membengkak ini.

"Udah lama nunggu ya?" tanayaku pada Dandi yang sudah duduk dikursi panjang ditengah taman, sesuai dengan tempat yang kita janjikan untuk bertemu.

"Loh? Ini kamu? Kok tumben nggak pake rok mini atau dress gitu?".

"Ah, iya. Lucu ya? Maaf ya. Aku sudah membakar semua bajuku itu".

"Kenapa?" tanyanya kaget.

"Karena aku mau denganmu" jawabku agak berbisik karena malu padanya.

"Sekarang ikut aku".

Akupun diajak kesebuah toko dimana terdapat baju dan rok mini. Aku disuruhnya memilih, tapi aku diam dan menatapnya dengan tatapan bingung bercampur cemas. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan.

"Pilih yang kau mau, aku yang membayarnya. Aku nggak mau kamu mencintaiku karena terpaksa, aku juga sudah bilang sama kamu. Aku nggak mau merubah kamu, aku mau kita berjalan kearah yang sama, bukan menajadi orang lain seperti ini" jelasnya padaku dengan semburat marah diwajahnya.

Akupun keluar dari toko itu dengan perasaan kecewa, akupun berjalan meninggalkan dia yang mencoba mengajakku berbicara, aku tak menghiraukan dia yang terus mengikutiku. Sepertinya aku belum bisa meyakinkannya, aku hanya ingin kita saling percaya satu sama lain. Mungkinkah aku tak akan bisa seperti pasangan lansia yang aku lihat sore tadi.

"Aku minta maaf?" katanya sembari mengulurkan tangan padaku.

Akupun berhenti dan mencoba menatap matanya, aku ingin memastikan. Apakah dia benar mencintaiku atau dia sama seperti pria yang lain.

"Aku mohon, jangan menangis karena ku" ia pun menghapus air mata yang terlanjur jatuh mengalir dipipiku.

"Aku hanya ingin meyakinkanmu. Bahwa aku juga mencintaimu, aku ingin berkorban. Aku ingin bisa bersamamu" ucapku sambil menangis terisak.

Dia pun memelukku untuk meredakan tangisku, bukannya berhenti. Tangisku semakin menjadi dan membasahi bajunya.

"Aku tau, aku bukan wanita yang baik. Tapi aku mau berubah untukmu, aku mau kita berusaha bersama. Kita berjalan kearah yang sama, tujuan yang sama dan jalan yang sama. Aku yakin bisa, aku sudah sejauh ini, aku sudah mengikutimu. Aku bahkan mau berteman dengan Tuhanmu. Aku yakin, langkahku ini tidak salah. Jadi, bantu yakinkan aku. Bahwa aku benar mengambil langkah ini. Aku mohon, jangan tinggalkan aku" jelasku panjang lebar sembari terus terisak.

Kitapun bersatu dengan ikatan akad yang sah dan menjalani hidup selayaknya pasangan biasa. Impianku dulu ingin mempunyai keluargapun kini terjadi. Aku memiliki suami dan kedua adik, serta teman Dandi yang juga temanku, yaitu Bayu. Aku juga bersyukur, sampai saat ini, Tuhanku tidak marah padaku. Mungkin sekarang Ia tersenyum melihat aku yang bahagia dengan mimpiku yang aku pikir tak akan terjadi sampai kapanpun. Ibu, ayah. Aku mencintai kalian.