Matahari telah menampakkan diri, embun menguap menjadi buliran-buliran keringat yang nampak dari dahi Dandi. Dirinya baru saja bangun dari tidur, mimpi buruk yang selalu ia alami membuatnya tak sepenuhnya tidur dengan puas. Tenaga yang terkuras pun membuat perutnya sedikit lapar, langkah demi langkah dirinya menuju meja makan besar dengan segala makanan yang telah tertata rapi diatasnya.
"Istri mu mana?" tanya Meria pada cucu laki-lakinya.
"Masih tidur" jawab Dandi sambil mengunyah roti.
"Biarin, biar dia tidur. Mungkin kelelahan, gara-gara kamu semalem" jawab Meria lagi.
Belum sempat menjawab, Meria sudah meninggalkan Dandi sendirian menikmati sarapannya pagi itu. Dirinya bergegas menuju sebuah tempat yang ia sembunyikan dari semua keluarganya. Inilah salah satu alasan mengapa Dandi diberikan tanggung jawab mengurus MVP Production, karena ada suatu misi yang harus Meria selesaikan sebagai seorang ibu, nenek dan mertua yang ditinggalkan menantu dengan keadaan yang mengenaskan.
Pepohonan dan beberapa rambu terlihat berjalan mengikuti mobil yang dikendarai Meria, sendu sedih hatinya jika harus menatap wajah Dandi, rasa sesal dan kecewa terhadap putri sulungnya membuat dirinya tak bisa berbuat apa-apa selain menemukan Nirmala dan menanyakan kebenaran yang di bawa pergi bersama putri bungsunya. Sakit, perih, pedih selama ini ditutupnya dengan amat sangat rapat. Kini saatnya Meria mengembalikan semua senyuman Dandi yang lenyap 10 tahun lalu. Lama berkendara hingga sampailah Meria disebuah bandara International Soekarno Hatta, dengan dibantu supir pribadinya Meria menemui sekretaris dan asisten pribadi yang akan menemaninya berobat di Jepang. Rutinitas yang biasa Meria lakukan setiap satu bulan sekali ialah mengobati penyakitnya dengan media pengobatan China yang bisa ia dapatkan di Jepang, seorang dokter keluarga berdarah China sudah menunggunya di Jepang.
Sembilan jam lamanya Meria duduk dikursi pesawat kelas bisnis dan sampailah ia dibandara Narita Tokyo, dirinya kemudian diantar menuju lounge bersama salah satu asisten dan skretarisnya sembari menunggu seseorang. Hingga beberapa menit kemudian datanglah seorang perempuan dengan rambut yang dicepol keatas menghampiri Meria, menyapanya dengan Bahasa Indonesia meskipun memiliki paras yang oriental. Mata yang sipit dengan bibir yang tipis, layaknya masyarakat Jepang pada umumnya.
"Maaf, nyonya. Saya kira peswat anda landing jam 11, ternyata ada datang cukup cepat" ucap wanita itu dengan sopan.
"Duduklah, ambil sampanye atau wine yang kamu mau" ucap Meria mempersilahkan wanita itu.
"Tidak usah, nyonya. Saya akan menyetir nanti" jawab wanita itu.
"Baiklah, Denada. Gimana kabar selanjutnya tentang proyek yang kamu kerjakan?" tanya Meria.
"Kabarnya mereka ada di Kota Ueno, Provinsi Iga. Apakah nyonya mau saya antar kesana?" tanya wanita yang rupanya bernama Denada.
Meria hanya menggeleng dan meminta Denada dan sekretarisnya untuk menyiapkan hotel, karena dirinya istirahat malam ini, sebelum akhirnya ia melanjutkan perjalanan menuju tempat yang Denada katakan.
Pagi yang indah di negeri matahari terbit, Meria yang kelelahan masih tertutup selimut dengan tidurnya yang anggun. Didikan serta merta membuat Meria tumbuh menjadi wanita yang anggun dan berkelas, dirinya bahkan tidak nampak seperti nenek-nenek yang memiliki tiga cucu. Selain karna factor keturunan, perawatan tentu menyokong fisiknya yang nampak muda. Seperti halnya hari ini, ia dijadwalkan mengikuti spa dan beberapa perawatan untuk kecantikan kulit dan tubunya. Beberapa jam berlalu dan tak terasa matahari terasa sangat terik, Meria berjalan meninggalkan hotel dengan asisten dan sekretarisnya.
"Eno, biarkan saya nyetir sendiri. Kamu bisa tunggu saya di hotel dengan Lina" ucap Meria membuka pintu setir.
"Tapi bu, ibu nggak boleh nyetir sama Non Tria" jawab Eno yang merupakan asisten sekaligus supir pribadi Meria di Jepang.
"Asal kamu nggak bilang ya Tria nggak akan tau" jawab Meria ketus.
Dengan berat hati, Eno serta Lina turun dan membiarkan Meria yang 'pura-pura lumpuh' menyetir mobil menuju tempat yang benar-benar ia sembunyikan. Semuanya ia lakukan hanya karna rasa bersalahnya pada Dandi dan mendiang Ferdi. Bukan tanpa sebab pula Meria berpura-pura menjadi lumpuh didepan anak dan cucunya, hanya Eno dan Lina saja yang tau jika Meria tidak benar-benar lumpuh dan hanya berpura-pura.
Selang beberapa jam berkendara dengan Denada, sampailah Meria disebuah rumah kuno khas Jepang dengan berbagai tanaman hias didepannya. Dengan mata berkaca-kaca Meria berjalan menuju pintu rumah itu, diketuknya pelan dengan menahan tangis dipelupuk matanya. Sekali dua kali ketukan tidak ada jawaban dari dalam hingga Meria memutuskan pergi meninggalkan rumah itu. Baru melangkah sejengkal, pintu kayu itu terbuka dengan seorang gadis berseragam membuka pintunya.
"Anatahadare?" tanya gadis muda itu.
Dengan air mata yang meleleh dipipinya, Meria peluk gadis muda itu. Tidak ada kata atau kalimat yang terucap dari bibirnya selain ucapan maaf dan ucapan syukur atas bertemunya mereka.