"Baiklah kalo kamu memang nggak mau jawab. Aku tanya yang laen. Kamu bilang kamu nggak mau pacaran, tapi kamu menyebut-nyebut tentang asmara di puisi kamu. Apa maksudmu? Berarti kamu pernah jatuh cinta dong?"
"Sok tau kamu. Sekadar informasi, orang tidak perlu mengalami untuk menyelami perasaan. Belajar dari pengalaman orang lain itu terkadang lebih baik daripada harus mengalami sendiri."
"Jadi bukan kamu yang jatuh di perangkap cinta?" tanya Pandu, masih penasaran.
"Bukan."
"Lalu siapa dong?"
"Aku nggak suka kamu tanya-tanya melulu. Aku nggak akan jawab." kata Niken ketus.
"Jadi ini yang kamu dapat setelah baca falsafah perang Sun Tzu? Sok misterius." sindir Pandu.
Niken diam saja. Dia seperti ingin berpegang teguh pada prinsipnya, untuk tidak membuka dirinya, terutama pada orang asing.
Berlama-lama mereka mengacuhkan satu sama lain. Pandu sendiri sudah tidak bersemangat lagi untuk mengorek keterangan lebih lanjut. Gadis yang satu ini benar-benar susah dimengerti.
Lama sekali menunggu satu jam usai. Ini bahkan baru lewat sepuluh menit.
Pandu mengambil walkman dari tasnya, lalu mulai memutar kasetnya sambil manggut-manggut.
"Lagu apa sih?" tanya Niken, memecah kesunyian.
Pandu tidak mendengarnya, karena volume walkmannya yang keras.
Niken lalu menyenggol kakinya. Pandu melepas salah satu ear piece-nya.
"Ada apa lagi?" tanya Pandu.
"Lagu apa?"
"Ini? Kamu gak bakal suka lah. Ini Metallica, Enter Sandman" kata Pandu.
"Aku boleh ikut dengerin?" tanya Niken.
Heran, tapi dengan sopan Pandu memberikan ear piece yang dipegangnya ke Niken.
Niken ikut menyanyi…
Something's wrong, shut the light
Heavy thoughts tonight and they aren't of snow white
Dreams of war, dreams of liars, dreams of dragon's fire
And of things that will bite
Sleep with one eye open, gripping your pillow tight…
"Heh? Kamu tahu juga lagu ini?" Pandu tak percaya. Setiap tingkah gadis ini benar-benar membuat dia surprise.
Niken pura-pura tak mendengar yang barusan Pandu bilang. Dia asyik dengan lagunya.
"Hey? Kamu suka Metallica juga?" tanya Pandu lagi, kali ini lebih keras, memastikan Niken mendengarnya.
"Kamu akhir-akhir ini sering tanya-tanya ke orang-orang tentang aku kan? Masa' belum dengar kalo aku itu satu-satunya cewek anggota rock band kampus? Kita sering manggung di acara-acara radio."
Pandu meringis. "Ketahuan deh. Darimana Niken bisa tahu kalau Pandu belakangan ini menyelediki latar belakangnya? Pasti Wulan yang melapor saat Pandu tanya-tanya tentang Niken beberapa waktu yang lalu." kutuknya dalam hati.
"Nggak tuh. Nggak ada yang bilang. Kamu anggota rock band?" Pandu semakin tak percaya. Apa sih yang tidak disukai gadis ini?
Niken mengangguk. Dari tadi dia memang sudah mengangguk-angguk mengikuti irama lagu rock itu.
"Aku boleh ikut main band?" tanya Pandu. "Aku bisa main key board, kalau kalian masih butuh pemain. Tapi aku nggak punya key board. Aku cuma punya piano usang di rumah."
"Eh, kebetulan kita memang sedang seleksi anggota baru, karena sebagian anggota band sudah kelas tiga, mereka ingin lebih banyak konsentrasi ke pelajaran. Termasuk Ronny, pemain keyboard kita. Kalo kamu emang suka musik rock, kamu boleh ikut seleksi" kata Niken menawarkan dengan gaya profesionalnya.
"Kapan seleksinya?"
"Rencananya sih minggu depan, hari Selasa abis pulang sekolah."
"Aku pasti datang. Kamu pegang instrumen apa sih?" tanya Pandu. Kali ini dia sudah siap mental dengan apapun jawaban Niken. Dia tak bakal kaget kalau jawabannya 'bass gitar' sekalipun.
"Drummer. Merangkap backing vocal dan kadang-kadang solo. Tergantung lagunya."
Tuh, kan, benar… harus siap mental. Niken bisa nge-drum juga!
"Kamu bisa main musik? Maksudku selain drum." tanya Pandu lagi. Mengorek keterangan lebih lanjut tak ada salahnya, kan?
"Aku bisa main piano, gitar, harmonica, saxophone, trompet." Nah lho… bisa mati terkejut kalau nggak siap mental.
"Wah, Nik, jadi kamu bisa main band seorangan dong? Kamu bisa main bass gitar, melodi gitar, ngedrum, main keyboard, dan vocalist. Bikin solo-band saja, lah." goda Pandu.
"Hey, baru kali ini kamu panggil aku Nik." kata Niken. "Cuma Wulan yang panggil aku Nik."
"Mama papa kamu manggil apa?"
Niken diam sejenak, lalu menjawab, "Niken, dong."
"Bohong. Kamu kenapa sih mesti bohong sama aku?" tanya Pandu. Dia ahli mencium kebohongan, rupanya.
"Aku dipanggil Fei Fei di rumah." Niken mengaku.
Pandu tersenyum. Puas dia bisa mengetahui sedikit rahasia Niken.
"Koq Fei Fei?" tanya Pandu.
"Namaku Niken Tjakrawibawa. Alias Tjan Siang Fei. Awas kamu kalo sampe ada yang tahu tentang ini. Aku harus bunuh kamu."
"Tenang aja. Swear. Aku boleh panggil kamu Fei dong?" tanya Pandu nakal.
"Nggak. Yang lain bakal curiga dong."
"Baiklah, kalau sendirian, aku boleh panggil Fei?" tawar Pandu.
Setelah berpikir sebentar, Niken mengangguk.
"Kamu sendiri? Kamu waktu itu bilang serumah namanya Pandu semua. Nggak kreatif yah ayahmu?"
"Bukan begitu. Emang sudah turun-temurun begitu. Ayahku juga Pandu. Kakekku pun juga Pandu. Pandu laen-laen. Aku Pandu Prasetya. Mereka kalo di rumah panggil aku Pras. Tapi di luaran namaku Pandu. Kakak-kakakku juga begitu semua."
"Oh… Enak dong punya kakak cowok semua." kata Niken, mengambang.
"Kata 'enak' rasanya terlalu rendah untuk menggambarkan betapa enaknya. Kita kompak, lima bersaudara. Ngirit, juga. Bajuku ya hampir semua baju lungsuran kakak-kakakku. Aku nggak keberatan. Masih bagus-bagus, koq. Tapi mereka di luar kota semua sekarang. Tiga di Yogya, sudah menikah. Satu masih kuliah di Jakarta. Kamu sendiri, punya saudara? Sorry, aku belum sempat mendapat keterangan tentang kakak atau adikmu. Researchku belum selesai." kata Pandu tersenyum.
"Aku punya seorang kakak perempuan. Dulu… Sekarang sudah meninggal." kata Niken menerawang.
"Oh… sori… aku tidak bermaksud…"
"Nggak papa… Wajar kalo kamu tanya koq."
Mereka terdiam sesaat. Tak tahu harus berkata apa.
"Kenapa kakakmu meninggal? Kecelakaan?" tanya Pandu. Dia benar-benar cocok jadi detektif. Pertanyaannya mendetail.
Niken diam saja. Mendadak kepalanya jadi pusing, ia lalu memijit-mijit pelipisnya.
"Pusing?" tanya Pandu.
"Iya." jawab Niken singkat.
"Kamu pasti lapar. Sorry yah gara-gara aku, kamu ikut dihukum Pak Heri." kata Pandu penuh penyesalan.
"Nggak papa. Kamu juga belum makan. Sama kan? Jadi kamu nggak layak mengasihani aku. Soal kakakku…"
"Sudahlah," cegah Pandu. "Nanti kamu tambah pusing."
"Dia meninggal bunuh diri." lanjut Niken.
Pandu terdiam. Sekarang ada titik terang. Berarti puisi Niken itu…
Seolah tahu yang dipikirkan Pandu, Niken melanjutkan, "Puisiku, itu tentang cici ku. Dia meninggal tiga tahun yang lalu, saat aku masih kelas 2 SMP. Dia masih kelas 2 SMA waktu itu, seumur aku sekarang. Dia pacaran sama anak pejabat. Sombong sekali tu anak. Aku benci sama dia. Aku masih ingat, hari-hari terakhir sebelum kakak meninggal, dia menangis terus di kamar. Tiap aku dekati selalu marah-marah. Baru setelah dia meninggal aku baru tahu, ternyata dia hamil, dan cowok bangsat itu tidak mau mengakui perbuatannya. Sejak itu aku berjanji tidak akan jatuh cinta, nggak akan pacaran. Papa malah punya ide bagus. Dia bilang, kalau sudah saatnya aku menikah nanti, dia akan mencarikan jodoh untukku. Aku setuju saja. Itu lebih baik daripada pacaran."