Prameswari sudah tidak tahan, dia membanting semua peralatan untuk menggambar dengan kasar, membuat semua orang terkejut, tidak terkecuali Ferhat Allard, Asisten Dosen yang selalu membuatnya meradang. Entah kenapa, pria blasteran Turki-Perancis ini begitu menyebalkan. Semua yang Prameswari lakukan tidak pernah ada yang benar sedikitpun.
Semester lalu, ketika dirinya belum berurusan dengan Ferhat, Prameswari merasa hidupnya dipenuhi dengan kedamaian. Keluh kesah teman-teman seangkatannya yang kebetulan mendapatkan pembimbing seorang Ferhat Allard sering membuatnya tertawa terbahak-bahak. Dia tidak menyangka, bahwa segala sumpah serapah yang teman-temannya katakan bukanlah sekedar joke atau bercanda. Dan saat ini, Parmeswari harus menuai karma, pembimbingnya sedang mengambil cuti untuk urusan keluarga, sehingga dirinya dengan terpaksa harus berada dalam pantauan Ferhat. Dan satu persatu apa yang teman-temannya pernah keluhkan, telah dia alami.
"Gadis sok pintar, dengarkan aku, ada banyak hasil karya seni bernilai tinggi yang menurut sebagian orang sangat biasa-biasa saja. Kamu tahu kenapa? Karena orang yang menilai keindahan sebuah karya seni hanya dari tampilan yang terlihat mewah dan bersinar saja, dia tidak sekedar bodoh, tetapi juga tidak berhak menyebut dirinya seorang mahasisiwi bidang seni yang seharusnya mengerti, apa itu seni dan keindahan yang hakiki. Orang seperti itu tidak pantas berada di fakultas seni, kecuali hanya sebagai tukang bersih-bersih."
Ferhat menatap Prameswari yang geram dengan tatapan tajam. Kata-katanya yang lebih tajam cukup membuat Paremeswari terluka. Dia adalah sisiwi teladan. Dia diterima di universitas dan mendapatkan beasiswa karena memiliki nilai tinggi. Karyanya hampir selalu memenangkan kompetisi, atau minimal menjadi topik hangat di lingkungan kampus, bahkan sempat diliput media lokal.
Lalu tiba-tiba ada sesosok makhluk bernama Ferhat Allard yang menyebutnya bodoh, bahkan tidak pantas bersekolah di fakultas seni. Selama ini tidak ada yang pernah berani sekurang ajar itu pada dirinya. Meskipun dia terlahir dari keluarga sederhana, namun dia memiliki sebuah harga diri yang harus dijaga kehormatannya.
Prameswari menatap seniornya yang kebetulan adalah Asisten Dosen dan menjadi pembimbingnya saat ini. Dadanya yang tadi bergemuruh menjadi lebih tenang. Dengan tatapan dingin, dia menatap pria kurang ajar itu tanpa berkedip. Lalu, "Braakkkk!!!" Prameswari membanting semua perlengkapan menggambarnya tepat di hadapan Ferhat yang tidak menyangka Prameswari akan melakukan perlawanan seperti ini. Dia mengira Prameswari akan menangis seperti mahasiswi lemah lainnya.
"Coba ulangi sekali lagi, kamu sebut aku apa tadi? Bodoh? Tidak pantas bersekolah di fakultas seni atau menyandang gelar sebagai seniman? Lebih pantas sebagai office girl?" Prameswari menantang seniornya itu dengan berani. Dia tidak perduli lagi dengan apapun. Harga dirinya sudah terlanjur terkoyak. Dan dia tidak bisa hanya diam saja.
Ferhat yang tampak shock, tiba-tiba kembali tersenyum tipis. Rupanya dia sudah mulai menguasai dirinya kembali. Lalu dengan arogant Ferhat maju selangkah, semakin dekat dengan Prameswari yang telah berdiri dalam posisi siaga. Bagaimanapun, Prameswari pernah menjadi seorang atlit pencak silat di wilayahnya. Bahkan sempat mendapatkan medali saat pertandingan tingkat nasional. Dan meskipun Prameswari sadar, bahwa refleksnya tidak akan seperti saat dirinya masih menjadi atlit, namun setidaknya, jika hanya membuat satu tendangan yang langsung menuju titik lemah lawan bukanlah hal yang terlalu sulit, selama lawannya tidak mengerti teknik beladiri.
"Ya, kamu memang sama sekali tidak bisa disebut pintar, jika kata-kata bodoh membuatmu terganggu, bahkan jika profesi sebagai office girl lebih nyaman untukmu dari pada sebutan sebagai tukang bersih-bersih. Itu adalah pilihanmu....."
Ferhat menggantungkan ucapannya, lalu semakin tertawa sinis. Sementara Prameswari mengepalkan tangan dengan geram. Teman-teman seangkatan mulai mengelilingi mereka, namun tidak ada satupun yang berani mengambil tindakan. Ferhat menjawil hidungnya sendiri yang tampak sempurna bertengger di tengah wajahnya yang rupawan. Kebiasaan yang sering membuat konsentrasi Prameswari terganggu.
"Kalau saja Ferhat cukup ramah dan bersahabat, pasti banyak sisiwi yang akan memperebutkannya. Dengan kepribadian super menyebalkan saja Ferhat sudah memiliki banyak penggemar, tidak terbayangkan kalau Ferhat juga baik, ramah, suka menolong, gemar menabung dan suka membantu ibu." Prameswari tersadar dari lamunannya. Dia mengutuk dirinya sendiri karena ditengah rasa geram, bisa-bisanya dia memuji seseorang yang dengan senang hati akan diberinya hadiah sebuah tendangan atau pukulan telak jika memang diperlukan.
Tanpa disadari, Ferhat telah berada semakin dekat dengan dirinya, hingga hembusan nafas Ferhat terasa menyapu wajahnya. Dengan intonasi datar, Ferhat melanjutkan kata-katanya yang terjeda. "... dan kali ini, sayang sekali aku setuju dengan ungkapan yang kamu pilih itu. Jika digabungkan, maka akan menjadi si office girl yang bodoh. Haha... sempur..."
Jdaarrrr....!!!
Belum sempat Ferhat menyelesaikan kalimatnya, dia sudah terpelanting dan membentur kursi lalu jatuh pingsan. Prameswari ikut terkejut. Sesaat dia tidak mampu berpikir dengan jernih. Dia tidak tahu bahwa refleksnya masih cukup cepat dan sebuah tendangan mengayun begitu saja mengenai ulu hati pria yang tidak siap dengan serangan mendadak dari seorang gadis yang selama ini tampak lebih banyak diam atau sekali-sekali berkumpul bersama teman-temannya di kantin, namun tidak pernah tampak memiliki keahlian beladiri.
Para mahasiswa serempak mengelilingi Prameswari, dan sebagian besar mahasisiwi menghampiri Ferhat yang pingsan. Tiba-tiba seorang mahasisiwi pemuja Ferhat berdiri, dia memaki dan bersiap untuk menampar Prameswari. "Hei perempuan rendahan, benar kata Ferhat, kamu tidak pantas menjadi mahasiswi seni. Orang seni itu penuh kelembutan, halus, bukannya kasar dan kurang ajar seperti kamu."
Dengan sigap Prameswari menangkap pergelangan tangan gadis berambut merah dengan model keriting berantakan sehingga menutupi sebagian wajahnya yang bermake up tebal itu. "Jika Ferhat saja harus terpental karena tendanganku, apa kamu pikir aku tidak mampu membuatmu tertancap di dinding ruangan ini?" Prameswari menatap tajam si rambut merah dengan geram. Dia sesungguhnya tidak pernah mau melukai orang lain. Tetapi Ferhat telah membuat kesabarannya habis.
Dengan langkah lurus, Prameswari melepaskan cengkramannya pada pergelangan si rambut merah yang sempat menjerit karena Prameswari memberi sedikit hadiah dengan memelintir tangannya. Dia sudah tidak perduli lagi dengan apapun. Seandainya dia harus dikeluarkan dari fakultas, dia akan terima. Mungkin dirinya akan mencari pekerjaan sampingan sebagai pelukis pinggir jalan di sekitar Louvre atau Eiffel, bahkan bisa jadi sekedar membuat mural di jalan-jalan kumuh pinggiran kota Paris. Yang pasti, dia tidak akan pulang ke negaranya sebelum berhasil.
Prameswari berjalan meninggalkan kerumunan dengan kepala tegak. Setelah cukup jauh dari tempat kejadian. Prameswari mulai menurunkan pundaknya. Dia melangkah dengan gontai menuju halte bus untuk kembali ke apartemennya. Sebuah mobil membunyikan klakson di dekatnya. Butuh beberapa kali klakson sampai Prameswari sadar bahwa klakson itu ditujukan untuk dirinya.
Sebuah kepala muncul dengan seringai lucu, menunjukkan gigi gingsul yang tersembul dari bibir merah yang selalu tersenyum. Hien Linh, sahabatnya yang sama-sama bersal dari Asia, lebih tepatnya dari Vietnam, melambaikan tangan, menyuruhnya untuk segera masuk ke mobil.
"Hei, warrior, ayo masuk. Kami tidak mau kamu membantai semua penumpang bus. Cepat." Kepala lainnya menyembul dari kursi belakang, dia adalah Sanjona, si cantik dari Nepal yang paling rajin beribadah.
Prameswari tersenyum melihat sahabat-sahabatnya yang sangat perduli padanya. Dia yakin, ada satu orang lagi yang tidak dekat dengan jendela mobil yang menghadap kepada dirinya. Benar saja, tidak lama kemudian, teman satu apartemennya, Laksmi dari India, berusaha ikut mengeluarkan kepalanya dari jendela dan berteriak kepada Prameswari. "Aku sudah lapar. Cepatlah. Jangan seperti nenek-nenek tua yang lambat. Ayo lari, kita segera makan."
Prameswari tersenyum dan sedetik kemudian dia sudah berlari menghampiri teman-temannya, masuk ke dalam mobil. Prameswari bersyukur sekali memiliki teman-teman yang penuh perhatian seperti mereka saat merantau di negri orang, jauh dari kerabat seperti sekarang ini.
Di atas kursi yang akan di dudukinya, Prameswari melihat perlengkapan menggambarnya sudah tersusun rapih di masukkan ke dalam tote bag. Sanjona segera mengangkat tote bag tersebut untuk memberi tempat kepada Prameswari.
Dengan haru, Prameswari memeluk Sanjona erat, juga mengacak rambut Hien dan Laksmi penuh rasa terima kasih.