Chapter 6 - 6. Email Rahasia

Sore yang aneh. Entah bagaimana, tidak seorangpun yang membahas tentang kejadian dua hari lalu di kampus. Seolah-olah peristiwa itu tidak pernah terjadi. Prameswari dan sahabat-sahabatnya hanya saling pandang tidak mengerti. Seharian ini mereka telah menyiapkan mental untuk mempersiapkan diri ketika menerima bully, ancaman, atau sekedar menjawab rasa ingin tahu teman-teman kampus mereka.

Bahkan sejak pagi, mereka sudah mempersiapkan beberapa skenario jika mendapatkan ancaman atau bully-an. Ternyata apa yang mereka takutkan tidak terjadi sama sekali. Seharian kemarin mereka memang sengaja tidak datang ke kampus dan menerima resiko mendapatkan pengurangan nilai karena absen. Setidaknya, mereka masih akan berusaha untuk bisa memperoleh nilai cum laude, asal mereka tidak terkena sanksi dari manajemen kampus.

Tadi pagi mereka mencoba menemui manajemen kampus untuk berpura-pura bertanya terkait tugas akhis semester. Padahal mereka ingin mencari tahu apakah mereka mendapatkan sanksi yang berat atau tidak. Tetapi ternyata ruang manajemen kosong. Jadi seharian mereka hanya berkeliling kampus tak menentu.

Tiba-tiba seseorang menghampiri sambil berlari dan terengah-engah. Dia adalah office boy kampus. "Nona-nona, kalian ditunggu di ruang dosen."

"Kami?" Tanya Hiean sambil menunjuk dirinya dan ketiga sahabatnya.

"Iya, kalian. Nona Hien, Nona Laksmi, Nona Sanjona dan Nona Prameswari."

Keempat sahabat itu saling berpandangan. "Kamu mengenal kami?" Tanya Laksmi penasaran.

Si office boy tersenyum nakal, lalu mendekat dan berbisik. "Tentu saja, seluruh dunia juga tahu siapa kalian. Kalau saja video tentang kalian tidak menghilang, kalian pasti sudah menjadi selebritis terkenal."

Keempat sahabat tersebut saling pandang sekali lagi. Artinya, ada sesuatu yang dibuat sedemikian rupa, sehingga suasana kampus seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

"Siapa yang memanggil kami?" Tanya Sanjona penasaran.

"Bapak dekan." Jawab si office boy singkat.

Kali ini keempat sahabat tersebut mengernyitkan dahinya, dan mulai dihinggapi rasa khawatir.

"Ada pesan khusus dari bapak dekan?" Prameswari bertanya tanpa bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

"Tidak ada. Beliau hanya menyuruhku memanggil kalian. Itu saja."

"Baiklah, kami akan segera ke sana." Jawab Prameswari lagi.

"Ya, sebaiknya begitu. Sebab jika tidak, nanti orang-orang se-kampus akan menerima email rahasia lagi."

"Maksudmu?" Laksmi mulai tidak sabar, dan semakin mendekati si office boy tersebut.

Sementara si office boy justru kebingungan mendengar pertanyaan Laksmi. "Memangnya kalian tidak menerima email rahasia? Bahwa tidak boleh ada yang menceritakan atau membahas kejadian dua hari lalu baik di kampus maupun di luar kampus. Anggap kejadian itu tidak pernah ada."

Laksmi menghela nafas lega. Setidaknya bukan ancaman yang menyeramkan seperti pesan yang dia terima terkait adiknya.

"Sudah, kamu boleh pergi sekarang. Kami akan segera ke ruangan pak dekan."

Setelah si office boy menghilang dari pandangan, Prameswari dan sahabat-sahabtanya saling melirik. "Kamu menerima pesan itu?" Tanya Prameswari kepada Hien. Dan Hien menjawab dengan gelengan kepala.

"Kamu?" Pandangan Prameswari beralih ke Sanjona, yang juga dijawab dengan gelengan kepala.

Prameswari menatap Laksmi. "Selain pesan ancaman bahwa Sangeetha tidak akan bisa menyusulmu ke Paris, apakah kamu menerima pesan seperti yang office boy katakan?" Meskipun Prameswari yakin jawabannya adalah sama dengan Hien dan Sanjona, namun Prameswari merasa perlu untuk memastikannya. Dan benar saja, Laksmi juga menggelengkan kepalanya.

"Aku juga tidak mendapatkan pesan itu. Jadi semua orang di kampus menerima pesan, tidak terkecuali si office boy, dan hanya kita berempat yang tidak menerima pesan tersebut."

Ada rasa ngeri yang bersarang di sudut hati mereka. Diantara keempat sahabat itu, hanya Laksmi yang memiliki kemampuan di atas mereka jika terkait dunia cyber. Serentak semua mata memandang ke arah Laksmi.

"Aku akan tanyakan pada ayahku nanti malam. Sebaiknya, sekarang kita segera menuju ruang dekan. Kita tidak mau berandai-andai atau mengira-ngira saja, kan? Mari kita hadapi apa yang ada di depan kita. Lalu pikirkan baik-baik dengan hati yang jernih untuk mencari jalan ke luarnya." Laksmi teringat kata-kata ayahnya saat zoom dini hari.

Semua setuju dengan kata-kata Laksmi. Mereka segera melangkah beriringan ke ruang dekan untuk mendapatkan informasi dan mencari tahu, mengapa dekan ingin bertemu mereka. Karena selama ini, hal itu belum pernah terjadi.

Mereka melintasi ruang-ruang kelas, juga taman yang luas sebelum tiba di ruang dekan. Sepanjang jalan, semuanya tampak normal. Hanya saja, teman-teman kampusnya yang seangkatan dan biasanya ramah atau menyapa mereka, sekarang tampak lebih kaku dan menjaga jarak.

Kalau saja si office boy tidak memberitahu mereka mengenai pesan rahasia dari seseorang melalui jaringan internet, pasti sampai saat ini mereka masih didera kebingungan. Tetapi sekarang, setidaknya mereka tahu, bahwa ada seseorang yang bekerja untuk mengendalikan situasi.

Entah bagaimana, situasi saat ini dirasa menguntungkan bagi mereka berempat. Setidaknya mereka juga bisa ikut berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Buat keempat sahabat tersebut, bukanlah hal yang perlu diperdebatkan jika memang seluruh dunia harus diam dan menutupi insiden tersebut.

"Kita ikuti saja permainan mereka." Laksmi berbisik kepada sahabat-sahabatnya. Prameswari, Hien dan Sanjona mengangguk.

"Lalu kita harus bersikap bagaimana? Seharian ini kita seperti anak hilang di kampus." Tanya Sanjona bingung.

"Mulai detik ini, kita bersikap seperti tiga hari yang lalu. Tersenyum, tertawa, bercanda, saling menggoda. Lakukan apapun yang kita lakukan sebelum insiden terjadi." Prameswari menjawab tegas.

"Ya, benar. Lakukan seperti yang Prameswari katakan." Laksmi ikut menegaskan.

"Kalau begitu, biarkan aku mencolekmu." Hien dengan isengnya menorehkan lipstict di pipi Prameswari. Kemudian berlari menjauh menghindari kejaran Prameswari. Laksmi dan Sanjona tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan keduanya yang seperti anak kecil.

Hien berhenti sambil membungkuk memegang lututnya di depan sebuah pintu bertuliskan 'RUANG MANAJEMN KAMPUS', sambil sesekali meletakkan telunjuknya di atas bibir. Prameswari yang menyusul Hien dengan gemas mencubit pipi Hien. Sanjona dan Laksmi yang berada di belakang mereka hanya terkikik geli.

Sanjona menyodorkan tissue ke arah Prameswari. "Hapus dulu lipstictnya, nanti dikira kamu habis berciuman dengan drakula." Keempatnya kompak terkikik geli. Susana akrab seperti ini telah hilang selama dua hari sejak insiden antara Prameswari dan Ferhat terjadi.

Bagaimanapun, baru Prameswari seorang yang menentang Ferhat dengan ekstrim sampai menendangnya. Dan sial bagi Ferhat, dia yang tidak siap, terpental sampai membentur kursi, dan di saksikan ratusan pasang mata, bahkan video kejadian telah ditonton lebih dari sejuta viewer. Jadi wajar saja bila situasinya menjadi sangat tidak kondusif.

Saat keempatnya sedang sibuk terkikik dan Prameswari baru saja selesai membersihkan pipinya. Pintu terbuka, seorang pegawai administrasi sejenak merasa terkejut, lalu segera ingat bahwa keempat gadis ini sedang ditunggu di ruang dekan.

"Oh, kalian sudah datang, baru saja aku ingin mencari kalian. Kalian sudah ditunggu oleh bapak dekan di ruangnnya."

Prameswari dan kawan-kawannya mengangguk, dan memasuki ruangan beriringan. Mereka menuju sebuah ruangan bertuliskan 'RUANG DEKAN'. Saat membuka pintu, dan melihat ke dalam ruangan, keempatnya terkejut melihat siapa yang ada di dalamnya, begitupun mereka yang ada di dalam, sama terkejutnya dengan para gadis.

Belum sempat hilang rasa terkejut mereka, sang dekan sudah mempersilahkan mereka masuk dan mengambil tempat duduk.