Laksmi sedang bicara dengan ayahnya dengan menggunakan aplikasi zoom. Dengan penuh perhatian, ayah Laksmi mendengarkan apa yang dijelaskan oleh putri kebanggaannya.
"Tenanglah, Nak. Sangeetha baik-baik saja. Dia ada bersamaku. Jadi kamu tidak perlu khawatir, ya." Seperti biasa, ayah Laksmi yang memiliki kesabaran bagaikan Raden Pandu pada tokoh pewayangan Mahabharata, mencoba untuk menenangkan putrinya yang sedang gelisah. "Cobalah untuk memperbaiki situasinya semampu kamu. Bersikaplah lebih bijaksana. Jika kita berada dalam posisi yang lemah, ambillah langkah mundur sejenak. Kamu ingat saat Pandawa harus menerima hukuman diasingkan selama tigabelas tahun untuk sebuah fitnah?"
Laksmi menatap ayahnya, matanya yang mulai berkabut seperti memancarkan setitik cahaya. Dia banyak mendengar kisah Mahabharata dan Bharata Yudha dari ayahnya. Meskipun dirinya tidak terlalu tertarik dengan kisah-kisah klasik, namun beberapa peristiwa penting dalam kisah Mahabharata maupun Bharata Yudha masih diingat dalam memorinya dengan baik.
Berbanding terbalik dengan Sangeetha. Adik perempuannya sangat menyukai kisah-kisah klasik. Jika ayah mereka mulai menceritakan salah satu bagian kisah tersebut, Sangeetha akan antusias mendengarkan, bahkan sering bertanya dan ingin ayahnya terus bercerita, sementara dirinya justru sudah tertidur pulas. Maka potongan-potongan kisah yang menempel di benak Laksmi bagaikan kepingan puzzles yang perlu digenapi dengan kepingan lain agar bisa menjadi gambar yang sempurna. Orang yang tepat untuk itu adalah ayahnya dan Sangeetha, adik Laksmi.
"Iya, Ayah. Aku ingat." Jawab Laksmi singkat. Sebab meskipun dia tahu bagian kisah saat Pandawa pergi ke pengasingan selama tigabelas tahun akibat fitnah dari Kurawa, namun Laksmi tidak mampu mengingat detilnya.
"Apa yang terjadi setelah tigabelas tahun?" Tanya ayahnya, menguji ingatan Laksmi.
"Indraphrasta." Jawab Laksmi singkat.
"Ya. Istana Indraphrasta. Sebuah kerajaan megah yang mampu menyaingi kebesaran Istana Hastinapura. Jadi, tidak ada sukses tanpa upaya keras, serta kesabaran, juga keyakinan bahwa segala ujian dalam hidup, memiliki sebuah makna yang sangat berarti. Hanya saja, manusia dengan segala keterbatasannya, seringkali belum mampu memaknai artinya."
Mendengar penjelasan ayahnya, Laksmi menjadi lebih tenang.
"Lalu, apa yang harus kami lakukan sekarang?" Tanya Laksmi kepada ayahnya.
"Hadapi apa yang ada di depanmu. Berpikirlah sebelum mengambil tindakan. Jangan pernah membangunkan macan tidur. Jadilah seperti pelanduk yang cerdik, sehingga bisa memanipulasi singa."
"Tetapi, aku tidak mengerti. Aku merasa buntu."
"Kalau begitu, jangan dipikirkan. Biarkan saja waktu yang akan membantumu menyelesaikan setiap persoalanmu."
"Hmmm, tetapi Ayah..."
"Ayah harus segera berangkat ke sekolah, Nak. Sudah hampir terlambat. Ayah tidak boleh memberi contoh yang buruk kepada murid-murid. Jam berapa saat ini di Paris?"
"Pukul tiga dini hari, Ayah." Laksmi melirik jam digital di sudut laptopnya.
"Kamu belum tidur atau baru bangun?" Tanya ayahnya penuh perhatian.
"Belum tidur, Ayah."
"Kalau begitu tidurlah. Dewa akan melindungimu."
Entah kekuatan apa yang diberikan oleh ayahnya, sehingga Laksmi yang sejak kemarin dirundung gelisah, terutama saat menerima ancaman terkait Sangeetha adiknya, menjadi lebih tenang. Laksmi tersenyum tipis memandang wajah ayahnya yang teduh di monitor.
"Terima kasih, Ayah."
"Selamat beristirahat, Nak. Tidak akan ada yang mengganggumu, selama Dewa menjagamu."
Laksmi tersenyum. "Selamat bekerja, Ayah. Semoga hari-harimu selalu menyenangkan."
Ayahnya memutuskan komunikasi, sedetik kemudian layar monitor dihadapannya berubah menjadi gelap. Laksmi langsung mematikan laptopnya, kemudian mencabut koneksi listrik, dan bersiap untuk tidur.
Baru saja matanya akan terpejam, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Tanpa merubah posisi, Laksmi menyahut. "Masuk saja, tidak dikunci." Jawab Laksmi pelan. Matanya sudah mulai mengantuk. Dan karena hatinya jauh lebih tenang setelah bicara dengan ayahnya, Laksmi menjadi lebih merasakan hebatnya serangan kantuk, membuat matanya sulit untuk dibuka.
Prameswari masuk dan langsung duduk di pembaringan Laksmi. Prameswari baru saja menunaikan sholat di sepertiga malam, ayahnya selalu berpesan, bahwa saat sedang merasa sangat gelisah atau buntu, Tuhan adalah satu-satunya tempat terbaik untuk mengadu dan berlindung, dan sepertiga malam, adalah waktu yang tepat untuk bercengkrama kepada Sang Maha Pencipta.
Laksmi yang mulai berada di dunia tetta, antara sadar dan tidak, hanya bergumam tidak jelas. Parmeswari sendiri juga hanya diam saja. Dirinya juga merasa gelisah, dan tidak tahu harus bagaimana, jadi dia bermaksud untuk sekedar mencari teman, dan memutuskan mengetuk pintu kamar Laksmi, teman satu apartemennya. Tadi dia lamat-lamat sempat mendengar suara Laksmi dengan seseorang. Tetapi saat ini dilihatnya Laksmi sedang tidur. Jadi dia pikir, dirinya hanya berhalusinasi saja.
Prameswari tidak berani mengganggu sahabatnya, sehingga dia hanya merebahkan tubuhnya di samping sahabatnya. Menyelipkan tubuhnya di dalam selimut dan memeluk Laksmi, seperti seorang anak yang menginginkan perlindungan dari ibunya.
Laksmi yang sudah terlelap, tanpa sadar balas memeluk Prameswari, membuat Prameswari menjadi lebih tenang. "Tidurlah, besok kita ada tugas di kampus. Simpan energimu untuk besok." Laksmi bergumam pelan.
Prameswari tersenyum. Sahabatnya yang satu ini selalu mengerti bagaimana membuat dirinya merasa tenang dalam setiap gelisah. Meskipun saat ini Prameswari tahu, bahwa Laksmi juga sedang gelisah karena mandapatkan ancaman dari seorang hacker, akibat menayangkan video dirinya menendang Ferhat yang mendadak viral. Semua karena dirinya yang tidak bisa menahan emosi. Namun sahabatnya ini sama sekali tidak menyalahkan dirinya.
"Laksmi, terima kasih untuk menjadi sahabatku, dan orang yang selalu mendukungku, terutama disaat sedihku." Prameswari berkata lirih, takut mengganggu tidur Laksmi. Dia tahu, bahwa sahabatnya kurang tidur selama dua malam terakhir.
"Tadi aku bersujud, berdoa pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, meminta agar tidak melibatkan kalian sahabat-sahabatku dalam persoalan pelik yang terjadi antara aku dan Ferhat. Di dalam keyakinanku, setiap hamba yang berdoa di sepertiga malam, bersujud dengan segala keyakinan dan kesungguhan, maka Tuhan akan malu untuk tidak mengabulkannya. Jadi aku telah memohon, agar apa yang telah aku perbuat, biarlah menjadi beban untuk diriku sendiri. Kalian harus terus memperjuangkan study kalian di sini, tetaplah selalu menjadi yang terbaik. Bawalah piala keberhasilan berupa nilai tertinggi seperti semester-semester yang telah lalu. Kalian harus pulang sebagai mahasiswi sukses dengan gelar Summa Cum Laude seperti yang kita cita-citakan bersama."
Prameswari merasakan pelukan Laksmi semakin erat. Prameswari tersenyum. Setelah tadi dirinya berdoa dan bersujud dalam sholat tahadjud, hatinya menjadi lebih rileks, meskipun masih tersisa sedikit rasa gelisah, namun dirinya merasa jauh lebih baik. Dia ingin berbagi rasa damai itu kepada sahabatnya. Tetapi ternyata, Laksmi telah tertidur. Prameswari mengasumsikan, bahwa Laksmi juga sudah tidak lagi terlalu gelisah dengan kasus yang sedang terjadi antara dirinya dan Ferhat.
Perlahan, Prameswari memejamkan matanya, membayangkan suasana padang rumput dengan semilir angin yang sejuk, membuat dirinya merasa sangat tenang dan bahagia. Sinar mentari di sore hari bulan September yang hangat, menambah kesempurnaan suasana tenang dan menghanyutkan. Perlahan Prameswari telah pergi ke alam mimpi, di sana dia bertemu dengan sebuah cahaya terang namun tidak menyilaukan, dia menari diantara padang rumput bersama cahaya hingga matahari terbenam menyisakan siluet dirinya yang masih berdansa bersama cahaya.
Seiring datangnya malam, cahaya tersebut semakin meredup dan memasuki dirinya, menyisakan seorang Prameswari dalam gelap yang damai. Setelah itu, tubuhnya terasa melayang lembut, membimbingnya dalam posisi tidur, dan selanjutnya hanya ada perasaan tentram yang menyelimuti dirinya. Prameswari hanyut dalam mimpinya yang indah dan menenangkan dalam pelukan sahabatnya.