Chapter 7 - 7. Mentor Level Dewa

Gadis-gadis mengambil tempat berjajar, berhadapan dengan para pria yang menatap mereka dengan tajam. Terutama Ferhat yang tidak mampu menyembunyikan kebenciannya terhadap Prameswari.

Suasana hening dan mencekam. Dekan menatap satu persatu siswa dan siswi yang sedang berseteru di kampusnya. Sulit untuk menangani mereka, terutama para prianya, sebab mereka berasal dari keluarga yang bukan sembarangan, bahkan merupakan donatur tetap di kampus ini. Namun para gadis juga tidak bisa disepelekan, sebab mereka adalah gadis-gadis terbaik yang dikirimkan dari negara masing-masing untuk belajar di kampus ini dengan beasiswa. Jika terjadi sesuatu, urusannya bukan hanya sekedar siswa dan siswi saja, tapi juga mungkin akan melibatkan negara. Sesuatu yang harus dihindari sedini mungkin.

Belum lagi pesan misteri yang diterima oleh seluruh penghuni kampus tidak terkecuali dirinya. Membuat pihak manajemen merasa perlu untuk mengambil sebuah tindakan preventive. Akhirnya mereka memutuskan untuk memberikan tugas kepada mereka.

Sebelum membuka pembicaraan, dekan meminta sembilan orang bertubuh tegap untuk memasuki ruangan. Empat orang wanita mengambil tempat duduk di jajaran para gadis, dan lima orang pria mengambil tempat duduk di jajaran para pria. Mereka menyisihkan satu kursi kosong diantaranya.

"Baiklah, aku rasa tidak perlu berpanjang kata. Seperti biasa, pada akhir semester, setiap siswa dan siswi akan mendapatkan tugas akhir, tidak terkecuali kalian." Sang dekan menarik nafas sejenak, baru kemudian melanjutkan dengan intonasi yang tenang dan terukur.

"Di dalam amplop ini, ada nomor-nomor yang akan kalian miliki. Nomor-nomor tersebut akan menentukan, siapa team kalian dalam tugas kali ini. Karena di sini ada lima pria dan empat gadis. Maka salah satunya akan menjadi leader atau pemimpin proyek. Dia yang tidak mendapatkan nomor, akan menjadi pemimpin proyek pada tugas kalian kali ini."

Kesembilan siswa dan sisiwi tersebut mulai gelisah, dan menebak-nebak arah pembicaraan sang dekan. namun tidak berani mengeluarkan suara.

"Sebelum membagikan amplop berisi nomor, mungkin kalian penasaran dengan sembilan orang yang ikut bersama kita di sini. Jangan khawatir, setelah pembagian kelompok mereka akan memperkenalkan diri masing-masing kepada kalian. Yang pasti, mereka akan ikut memantau tugas kalian bersama-sama selama duapuluh empat jam."

Kesembilan siswa dan sisiwi semakin gelisah. Tidak mengerti dengan apa yang akan mereka hadapi di depan, selain sedikit dugaan bahwa pria dan wanita akan berkelompok secara acak atau berpasangan.

Dekan meletakkan empat buah amplop di hadapan para gadis, dan lima buah amplop di hadapan para pria dengan tenang. Setelah itu, kembali ke tempat duduknya sambil menatap sekeliling ruangan, memperhatikan rasa gelisah dari siswa dan siswinya.

"Sekarang, buka amplop kalian dan tunjukkan kepadaku."

Masing-masing membuka amplopnya perlahan, di sana tertera sebuah nomor dan tiket pesawat.

Hien Linh dan Edmond Leroy memiliki nomor satu, Sanjona dan Gervaso memiliki nomor dua, Prameswari dan Ferhat memiliki nomor tiga, sedangkan Laksmi dan Nikolasz mendapatkan nomor empat. Artinya, Enzo akan menjadi pemimpin proyek dalam tugas kali ini.

Dekan kembali membuka suara. "Aku rasa sekarang kalian sudah mendapatkan pasangan untuk menyelesaikan tugas-tugas kalian. Kelompok satu sampai empat akan mendapatkan tugas dari para pembimbing atau mentor pendamping kalian. Ya, sembilan orang yang ada di sana adalah mentor kalian masing-masing. Setiap orang akan memiliki mentor yang bertanggung jawab terhadap anak didiknya, termasuk leader atau pimpinan proyek. Selain sebagai pendamping mereka akan memonitor materi tugas kalian, apakah berjalan dengan baik atau tidak setiap harinya."

Enzo mengangkat tiket peswat dari dalam amplopnya, belum sempat dia bertanya, dekan sudah lebih dulu menjelaskan.

"Tugas ini harus kalian lakukan di Turki. Kalian akan berangkat besok, dan sejak detik ini, masing-masing mentor kalian akan mengikuti kalian sampai tugas selesai. Saya minta, para mentor untuk membuka amplop kalian masing-masing, dan memperkenalkan diri.

Seorang pria tegap yang memilki kartu bertuliskan nol besar berdiri, bisa dipastikan, dia adalah mentor Enzo. "Saya Geraldo, mantan Tentara Angkatan Udara, pernah bertugas di beberapa perang Timur Tengah, dan mampu menerbangkan pesawat tempur."

Kesembilan siswa dan siswi tersebut sontak terkejut dengan profil Geraldo. Mereka tiba-tiba merasa tidak sabar untuk mengetahui profil mentor mereka masing-masing.

Pria dengan nomor kartu satu berdiri. "Saya David, hanya seorang profesioanl atlit karate."

Selanjutnya wanita dengan nomor kartu satu memperkenalkan dirinya. "Saya Hannah, seorang dokter."

"Saya William, profesional arsitektur."

"Saya Jenny. Pegulat profesional."

"Saya Arnold, psikolog."

"Saya Lisa, sniper."

"Saya Arthur, profesional diver pensiunan Tentara Angkatan Laut."

"Saya Berta, disainer dan pemain biola."

Satu persatu para siswa dan sisiwi tersebut saling berpandangan. Dari semua mentor tersebut, hanya William dan Berta yang dianggap memiliki dasar ilmu seni. Sementara yang lainnya lebih cocok jika disebut sebagai body guard, kecuali Arnold dan Hannah yang berprofesi sebagai psikolog dan dokter.

Meskipun masih merupakan misteri, namun para siswa dan sisiwi tersebut sadar sepenuhnya, bahwa ada maksud tertentu dengan memilih mentor yang memiliki keahlian bukan sembarangan untuk mendampingi mereka.

Prameswari mencium adanya sebuah konspirasi antara pihak kamus dengan pihak yang tidak diketahui untuk membuat program ini. Apapun itu, Prameswari belum bisa menduganya. Dan kesempatan untuk bertanya atau berdiskusi sepertinya tidak ada. Selain itu, mulai detik ini, para mentor pendamping mereka akan mengikuti selama duapuluh empat jam. Itu artinya, setelah ke luar dari ruangan ini, mereka sudah tidak lagi memiliki apa yang disebut kebebasan.

Dan benar saja, sedetik kemudian, dekan berdiri dan mempersilahkan semuanya untuk ke luar bersama mentor pendamping masing-masing, tanpa membuka sesi tanya jawab sama sekali.

"Baik, semuanya sudah memperkenalkan diri. Selanjutnya silahkan mempersiapkan diri masing-masing untuk melaksanakan 'tugas akhir semester' dengan sebaik-baiknya." Dekan sekali lagi menatap semua yang hadir. "Teknis bagaimana para mentor mendampingi kalian sejak hari ini, silahkan diskusi di luar ruangan ini. Masing-masing mentor sudah menerima mandat dan mengetahui tugasnya. Jadi untuk para siswa, disarankan untuk tidak membangkang atau menolak instruksi dari para mentor. Semakin cepat kalian menyelesaikan tugas kalian, akan semakin baik. Selamat bertugas."

Dekan melangkah ke luar ruangan dengan santai. Meninggalkan para siswa dan siswi yang masih kebingungan. Sementara itu para mentor mulai mendekati anak didiknya masing-masing, dan memberikan pengarahan.

Apapun yang Prameswari dan teman-temannya pikirkan tidak berarti apa-apa, sebab mereka tidak memiliki kekuasaan untuk menolak, maupun mengajukan keberatan. Sepertinya hal yang sama juga dirasakan para pria. Namun dibandingkan dengan para gadis, kegelisahan para pria tidak sebanding. Sebab di bawah sadar mereka, semua tahu, siapa orang tua masing-masing. Kemungkinan terpilihnya mentor-mentor dengan keahlian tingkat 'dewa' seperti ini adalah untuk melindungi 'putra-putra mahkota' kesayangan mereka. Berbeda dengan para gadis, yang merasa bahwa kehidupan mereka setelah ini adalah penjara tak berbatas waktu yang disebut 'tugas akhir semester'.