Chereads / Crazy Rich Squad : Dolmabache Gate MOVE TO NEW LINK / Chapter 4 - 4. I-CAN : Invisible Cyber Army Networking

Chapter 4 - 4. I-CAN : Invisible Cyber Army Networking

Enzo menatap monitor sebesar lima puluh inchi tersebut dengan takjub. Dia menatap Pouriya, sahabatnya yang saat ini bekerja di kota Leipzig Jerman pada sebuah universitas, dan bertanggung jawab sebagai Provider Maintenance. Untuk setiap permasalahan terkait dunia maya, Enzo selalu datang pada Pouriya.

"Memangnya seberapa penting gadis itu sehingga aku harus melumpuhkan akunnya?" Tanya Pouriya santai.

"Bukan gadis itu yang penting. Tetapi reputasi Ferhat yang harus diselamatkan. Kalau reputasi Ferhat jatuh, maka reputasi kami juga akan jatuh." Enzo mencoba menjelaskan.

"Kami?" Tanya Pouriya bingung.

"Iya, kami. Ferhat, aku, Edmond, Gervaso, dan Nikolazs."

"Oh, genk anak mami." Pouriya tersenyum meledek.

"Sialan kamu." Enzo mencebik tetapi tidak berani marah. Dia kenal Pouriya, putra dari sahabat ayahnya. Poriya sejak sekolah tingkat menengah sudah mandiri, beberapa kali dia mampu meretas jaringan penting, dan Poriya telah menjadi salah satu target untuk diburu di dunia cyber di negaranya. Untuk itu, Pouriya pergi ke Jerman sebagai refugee atau semacam pelarian dan mendapatkan suaka politik, lalu dipekerjakan di universitas untuk mengajarkan ilmunya sekaligus menjaga provider kampus.

Di negaranya sendiri Pouriya diburu karena dianggap kriminal, padahal sebagai anak muda, dia hanya ingin bersenang-senang dan memiliki akses di sosial media. Seperti teman-teman sebayanya di luar negri, yang bisa mengakses sosial media dan lain sebagainya dengan bebas. Dia menciptakan akses untuk bisa terkoneksi dengan sosial media dan menjualnya secara online dengan harga satu dolar saja. Dalam sekejap bisnisnya meraup untung besar.

Sayang sekali pemerintah tidak melihat bakatnya, dan terburu-buru menjadikannya sebagai target untuk dipenjarakan karena sempat meretas jejaring rahasia miliki pemerintah. Saat ini, justru negara lain yang menikmati kejeniusan Pouriya. Belajar dari pengalaman tersebut, Pouriya yang semakin dewasa, mulai menahan diri untuk lebih menjaga jarinya agar tidak terlalu mudah menyebarkan sesuatu yang dia ketahui. Saat ini, Poriya lebih fokus berbagi dengan sesama hacker di seluruh dunia untuk berbagai isyu, baik politik maupun program-program cyber. Mereka memiliki komunitas yang disebut Invisible Cyber Army Networking, atau disingkat I-CAN.

"Apa namanya kalau bukan anak mami? Genk kalian tidak ada satupun yang bisa menghasilkan uang dari keringat kalian sendiri, kan?" Pouriya yang terbiasa bicara lugas langsung menohok pada titik sasaran. Seperti kebiasaannya ketika menyerang beberapa portal yang bersebrangan dengan idealismenya dengan virus buatannya.

"Hei, kamu lupa, Bro. Aku ini model dan artis terkenal di tanah air." Jawab Enzo mencoba mengingatkan Pouriya mengenai siapa dirinya.

"Iya. Aku tahu dan mengingatnya dengan baik. Tetapi itu karena ayahmu adalah Tuan Navid Behnam dan ibumu Nyonya Azadeh Delara."

"Aku tidak meminta orang tuaku mendukungku." Enzo masih berkelit.

"Ya, mungkin saja. Aku hanya ingat saat mereka membayarku untuk menaikkan ratingmu, membuatmu selalu ada di headline, dan menjadikanmu topik hangat selama berbulan-bulan. Hasilnya lumayanlah. Itu karena mereka membayarku cukup tinggi juga sih." Jawab Pouriya santai.

"Ah, sialan." Enzo sempat shock, dan sedikit terpukul mengetahui fakta tersebut. Sejenak Enzo terdiam.

Pouriya melirik Enzo, lalu memutar kursinya menghadap Enzo yang berdiri dengan lunglai di belakangnya. "Tenang, Bro. Rahasiamu aman di tanganku. Orang tuamu bermaksud baik, mereka ingin mendukung karirmu. Dan bagusnya, kamu juga menunjukkan sikap profesionalmu. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa dibalik suksesmu, atau sukses teman-temanmu, atau sukses siapapun juga, akan selalu ada orang lain yang menjadi batu loncatan. Meskipun terkadang batu loncatan itu tidak terlihat eksistensinya." Pourya tersenyum melihat Enzo yang menatap dirinya dengan pandangan kosong.

Pouriya menepuk punggung Enzo, memberinya tempat duduk. "Tidak perlu merasa malu. Kamu tidak melakukan kejahatan hanya karena menerima kebaikan dan dukungan dari orang tuamu. Negara kita adalah negara yang mengalami embargo cukup lama dari negara lain. Jadi, sebagai anak bangsa, kita perlu untuk mengabdi dengan segala kemampuan yang kita bisa, di manapun kita berada. Orang tuamu hanya ingin memberimu bekal yang cukup untuk masa depanmu"

Pouriya mulai berceramah, sesuatu yang belum pernah Enzo ketahui. Sebab biasanya Pouriya selalu berkata singkat dan melakukan setiap order sesuai keinginannya tanpa banyak bertanya. Tetapi kali ini, Pouriya bicara cukup banyak. Bahkan sangat banyak.

"Kamu bicara tentang bangsa dan negara?" Enzo menatap Pouriya tak mengerti.

"Kenapa? Karena aku pernah masuk daftar orang yang paling dicari, lalu menjadi refugee dan pindah kewarganegaraan, maka aku tidak boleh memiliki jiwa patriot?"

Enzo masih menatap Pouriya tidak mengerti.

"Aku mengerti mengapa pemerintahan negaraku menganggap aku berbahaya. Karena aku meretas data penting pemerintahan. Dan seperti sama-sama kita ketahui, negara kita menghadapi cobaan besar selama bertahun-tahun dan mendapatkan sanksi embargo cukup lama. Jika aku adalah salah satu dari orang-orang pemerintah yang mencintai negaranya, maka aku tentu akan bertindak seperti mereka. Sayangnya mereka terlalu cepat memutuskan. Akupun saat itu hanyalah seorang bocah. Aku tidak begitu mengerti politik dan semacamnya, aku cuma ingin bisa terhubung dengan dunia luar dan bermedsos dengan mudah. Aku ingin teman-teman sebayaku juga memiliki kemudahan yang sama denganku."

Poriya menghela nafas sejenak, lalu melanjutkan kata-katanya. "Seandainya saat itu aku diajak bicara, diberi pengertian, dan bukannya ditakut-takuti lalu diburu seperti penjahat, tentu aku bisa belajar dan memahami situasinya. Saat ini, aku mungkin akan menjadi salah satu pejuang cyber bagi negaraku. Tetapi kenyataannya bertolak belakang, aku di sini, sekedar menjadi semacam pegawai di dunia cyber. Untuk mencari receh, paling aku buat program atau aplikasi lucu-lucu di media sosial. Tetapi ya sudahlah. Mungkin seperti ini jalan hidup yang harus aku tempuh."

"Aplikasi lucu-lucu di media sosial, katamu?" Enzo tersenyum sinis.

Pouriya tertawa, mengerti maksud Enzo. Bagaimanapun, Pouriya sudah menganggap Enzo seperti adiknya sendiri, terutama karena mereka sama-sama jauh dari sanak keluarga.

"Market Place yang kamu tahu itu, yang meraup keuntungan terbanyaknya ya investor, Enzo. Bukan aku." Jawab Pouriya santai.

"Lalu apa itu penthouse di atas ruangan ini? Dan ruang kerja macam apa ini?" Enzo berdiri, merentangkan tangannya dan berputar, seolah ingin menunjukkan kepada client betapa megahnya ruang kerja Pouriya yang dibenuhi banyak alat-alat canggih. Ruangan ini terletak dibawah tanah dan tersembunyi. Untuk memasukinya perlu menggunakan pintu hidrolik. Dan tidak ada yang menduga, bahwa Pouriya memiliki ruangan seperti ini di bawah Penthousenya.

Pouriya terbahak-bahak. Dia hanya tersenyum menatap Enzo. Tidak ingin menjelaskan apapun kepadanya. Terlalu banyak informasi, itu tidak baik. Setidaknya, itu adalah prinsip Pouriya sebagai hacker. Jangan pernah bicarakan terlalu banyak hal, satu orang yang mengetahui rahasiamu, bisa berarti seluruh dunia akan tahu. Dan yang Enzo ketahui hanyalah kulitnya saja. Pouriya memastikan, bahwa Enzo hanya perlu mengetahui apa yang dia sudah ketahui saja.

"Okelah. Mari kita simpan pembahasan terkait patriotisme. Apa keberatanmu sehingga menolak untuk melumpuhkan akun gadis itu?" Tanya Enzo langsung tanpa basa-basi.

"Satu, jika aku lumpuhkan akunnya, dia bisa buat lagi." Pouriya harusnya merasa cukup dengan memberikan penjelasan itu kepada Enzo, namun dia melanjutkan. "Kedua, dengan membiarkan lawan kita mengetahui bahwa dia ada dalam pantauan kita, akan membuatnya lebih berhati-hati dalam bertindak. Jadi, mari kita biarkan mereka merasa bahwa kegiatan mereka sedang dalam pantauan. Itu cukup untuk mengintimidasi mereka."

"Apakah menurutmu, itu aman?"

Pouriya mengedikkan bahu. "Let see. Kita lihat langkah apa yang akan mereka lakukan. Hidup ini penuh kejutan, jadi tidak akan pernah ada keputusan yang sempurna seratus persen, akan selalu ada celah untuk kita sumpal."

Alasan ketiga tidak Pouriya sampaikan kepada Enzo yang tampak manggut-manggut untuk mencoba memahami apa yang Pouriya katakan.

Pouriya tersenyum kepada Enzo dan bergumam dalam hati. "Alasan ketiga, gadis bernama Laksmi ini memiliki kemampuan cyber yang cukup lumayan, ada beberapa hal yang ingin aku gali darinya. Jadi lebih baik aku bermain-main dulu dengannya sampai dia mengeluarkan seluruh kemampuan cybernya."

Enzo menghela nafas berat. "Baiklah. Aku percaya padamu. Lakukan sesukamu. Ini bayaranmu." Enzo meletakkan setumpuk uang di meja. "Aku harus pergi sekarang?" Enzo memberitahu tanpa diminta.

"Kamu tidak ingin menginap di sini? Leipzig juga punya banyak mahasiswi cantik dari berbagai dunia loh. Gadis cantik bukan hanya ada di Paris."

Enzo mengedikkan bahu. "Empat gadis di Paris, tepatnya di fakultas seni tempatku belajar sudah membuatku pusing. Apalagi gadis-gadis yang bersekolah jurusan IT di Jerman dan memiliki pembimbing atau dosen seperti kamu. Bakal kusut hidupku."

Poriya tertawa terbahak-bahak. "Oke, terserah padamu. Ayo, aku antar ke stasiun kereta. Sekalian makan siang dulu."

Enzo mengangguk, dan mereka berdua berjalan beriringan sambil berangkulan seperti saudara.

Dalam perjalanan menuju kereta, beberapa orang berpakaian kasual mengiringi mereka dalam jarak aman. Pouriya hanya tersenyum sinis. "Dasar orang kaya."

Enzo yang mendengarnya langsung meninju bahu Pouriya. "Bukan mauku ke mana-mana selalu di kawal. Tetapi tahu sendiri, orang-orang penting sepertiku, sangat beresiko kalau harus pergi sendiri tanpa penyamaran dan pengawal."

"Yes, undrstood." Pourya terkekeh geli.