Chapter 3 - 3. Lawan Yang Berat

Laksmi melipat bibirnya, kebiasaan yang dilakukan ketika dirinya sedang kesal atau bingung terhadap sesuatu dan belum mampu terpecahkan.

"Ada apa, Laksmi? Ada yang tidak beres?" Tanya Hien sambil melirik ke arah laptop di hadapan Laksmi. Prameswari dan Sanjona tidak mau ketinggalan, ikut nimbrung berebutan melihat layar monitor pada laptop milik Laksmi.

"Videonya menghilang. Ada yang menghapus." Sanjona langsung mengambil kesimpulan setelah melihat layar monitor di laptop Laksmi.

"Upload lagi saja. Apa susahnya?" Hien memprovokasi. "Viewernya langsung tembus seratus ribu dalam beberapa menit saat videonya di upload, terakhir berapa banyak yang melihat? Maksudku, sebelum videonya menghilang?" Tanya Hien penasaran.

"Satu juta sembilan puluh sembilan." Jawab Laksmi santai.

Prameswari, Sanjona dan Hien langsung menutup mulut mereka sambil terbelalak tak percaya, dan dengan kompak mengulangi kalimat Laksmi.

"SATU JUTA SEMBILAN PULUH SEMBILAN VIEWER?"

"Ya, dalam waktu empat puluh sembilan menit."

"Upload lagi, Laksmi. Kita bisa dapat adsense lumayan. Viewer media sosialku paling banyak cuma seratus ribuan, itupun perlu waktu berminggu-minggu." Hien mengeluh. "Apakah followermu semakin bertambah juga?"

Laksmi mengangguk, lalu menatap sahabat-sahabatnya. Mereka sekarang duduk melingkar, Laksmi membelakangi laptopnya yang masih menyala.

"Aku merasa, kita perlu menyelidiki lawan kita dengan lebih seksama. Aku menemukan kejanggalan, selain video yang di take down, viewer yang melonjak melebihi ekspektasi, aku juga memiliki masalah dengan akun pribadiku, aku menerima pesan langsung, bunyinya seperti ini, 'jangan berani untuk mengupload kembali, atau Sangeetha tidak akan bisa menyusulmu ke Paris'."

Prameswari, Hien dan Sanjona saling berpandangan. Kali ini ada rasa ngeri yang menghinggapi mereka. Terbersit pertanyaan yang sama di benak mereka. "Siapakah Ferhat dan kawan-kawannya?"

Tanpa aba-aba, mereka serentak mengambil ponsel dan mulai berselancar ke dunia maya, memasukan beberapa key word untuk mendapatkan informasi.

Prameswari membuka suara pertama kali. "Ferhat Allard, adalah putra dari Tuan Kharel Allard seorang dokter ahli bedah pemilik Rumah Sakit St. Aymeric Cheron yang menikah dengan Nyonya Feriha Nawalia Allard, seorang wanita Turki yang saat ini menjadi salah satu ikon kecantikan terkenal di Paris." Prameswari mengangkat wajahnya, tatapan matanya saling bersirobok dengan sahabat-sahabatnya yang juga sama-sama memiliki tatapan takjub juga ngeri. Mereka semua menggenggam ponselnya erat-erat.

"Edmond Leroy, putra tunggal dari Tuan Basten Leroy dan Nyonya Isabelle Bellamy Leroy. Pewaris brand Le Belle, koleksi apparel terkenal di Perancis." Hien membacakan profil Edmond.

Sanjona dengan terbata-bata membacakan profil Gervaso. "Politisi Spanyol, Salvatore Ripoll Rodriguez menikahi Alondra Gomez Sanchez. Mereka memiliki tiga orang anak, salah satunya sedang menempuh pendidikan di Paris Perancis, yaitu Gervaso Rodriguez Sanchez..." Sanjona melirik sahabat-sahabatnya yang masih memegang handphonenya masing-masing.

"Nikolazs Kovac disinyalir akan segera menjadi penerus jaringan dagang milik milyuner Fredek Kovac atas desakan istrinya Anelia Szonja yang menghendaki suaminya pensiun agar lebih memikirkan kesehatannya dibandingkan bisnis." Laksmi meneruskan dengan membacakan profil Nikolazs, dilanjutkan oleh Prameswari.

"Pasangan artis lawas ternama di kota Tehran, Navid Behnham dan istrinya Azadeh Delara mengklarifikasi bahwa putra mereka Enzo Corne Behnham, masih harus menyelesaikan study-nya di kota Paris Perancis. Jadi kegiatan sebagai entertainment sementara perlu dibatasi. Mereka menegaskan, bahwa apapun karir yang akan dipilih oleh Enzo, baik itu di dlam maupun di luar negri, akan mereka dukung."

Kali ini keempat sahabat tersebut kompak meletakkan handphone mereka di lantai.

"Apalah aku ini yang hanya sekedar putri dari pemilik restauran kecil di sudut Benh Tanh Market Ho Chi Minh City." Keluh Hien Linh.

"Kamu masih lebih bagus, karena orang tuamu memiliki usaha sendiri sehingga masih bisa memberikan dukungan padamu, saat di sini. Orang tuaku hanyalah guru di pinggiran kota Kathmandu. Dulu saat muda, ayahku adalah seorang sherpa yang kuat. Banyak pendaki yang membutuhkan tenaga ayahku untuk membawa perlengkapan atau perbekalan mereka ke atas gunung Himalaya. Terkadang aku berpikir, seharusnya, yang mendapat gelar pendaki adalah ayahku, bukan mereka yang menyebut dirinya pendaki. Sebab ayahku mendaki jauh lebih banyak, bahkan sambil membawa beban yang beratnya sampai dua kali berat tubuhnya. Tetapi ayahku sekarang sudah tua, aku harus segera menyelesaikan kuliahku, sebab jika tidak, kasihan or....."

Belum sempat Sanjona menyelesaikan kalimatnya, Laksmi sudah menyela. "Meskipun aku bukan orang kaya, dan ayahku hanya seorang guru komputer di bagian bawah India kalau kalian melihat di peta dunia, tepatnya di kota Coimbatore, tetapi aku bersyukur, sebab berkat ayahku, keterampilan di dunia maya bisa aku dapatkan tanpa harus masuk fakultas IT."

Ketiganya serentak menatap Prameswari. Yang ditatap hanya sanggup mengangkat ujung bibirnya dengan canggung.

"Aku. Uhm... bagaimanapun, aku bangga dengan kedua orang tuaku, meski mereka hanyalah buruh kerajinan kayu di desa Bangsri, tepatnya kota Jepara Jawa Tengah. Saat remaja aku sering membantu mereka mengukir serta membuat kerajinan lainnya. Itu membuatku sampai di sini. Di fakultas seni. Kelak, aku harap, aku bisa pulang ke desaku untuk mengabdikan ilmu yang kudapat di sini."

Serentak keempat sahabat itu saling berpelukan erat dalam hening. Perasaan melankolis menyelimuti. Teringat perjuangan berat keluarga mereka di tanah air demi menunjang anak-anaknya agar bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi dan bisa hidup dengan martabat yang jauh melampaui orang tua mereka.

Harapan yang disematkan keluarga di tanah air, membuat mereka memiliki ketegaran seteguh karang. Namun saat ini, mereka mulai gamang. Perseteruan antara Prameswari dan Ferhat akan membawa dampak buruk bagi mereka. Terlebih lagi, mereka telah dengan sengaja meng-upload video saat Prameswari membuat Ferhat terpelanting jatuh.

Laksmi mengingat ancaman yang dia terima. dan mulai merasa takut akan keselamatan adik kesayangannya yang sangat ingin bisa menyusul dirinya ke Paris. Untuk itu Sangeetha belajar giat agar bisa mendapatkan beasiswa seperti dirinya.

"Sekarang, kita harus bagaimana?" Hien menatap sahabat-sahabatnya.

Sanjona yang terkenal paling tenang dan damai diantara mereka, juga paling rajin beribadah, perlahan tersenyum, meskipun tampak dipaksakan. Diambilnya jemari sahabat-sahabatnya, lalu disatukan. Ditatapnya wajah sahabatnya satu persatu dalam-dalam. "Kita mungkin bukan lawan yang sepadan dibandingkan mereka. Tetapi kita tidak melakukan kesalahan apapun. Membela diri, apalagi harga diri, adalah kewajiban setiap manusia. Tidak ada seorang manusiapun yang bisa dan boleh menghina manusia lainnya seenak jidadnya. Jadi, mari kita mengadu dan berlindung kepada Tuhan kita masing-masing. Sebab, hanya Dia yang tidak tertandingi dengan kekuasaan atau kekuatan manapun di dunia ini."

Ceramah panjang lebar dari Sanjona membuat mereka bisa tersenyum lagi. Mereka mengangguk, lalu langsung berpelukan, untuk saling menguatkan.

"Terima kasih teman-teman, sahabatku yang baik. Aku harap, jika terjadi sesuatu, kalian tidak akan terlibat. Ini adalah masalahku dengan Ferhat. Maka, apapun yang terjadi, kumohon, kalian jangan terlalu dalam melibatkan diri. Kalian memiliki tugas berat untuk kembali ke tanah air dalam keadaan sukses dan mengabdi pada orang tua, masyarakat sekitar, bahkan mungkin kepada bangsa dan negara. Aku akan berusaha sekuat tenaga, menanggung semuanya. Ini kesalahanku, aku tidak mau kalian menjadi korban hanya karena aku yang tidak bisa menahan emosi."

Prameswari sudah tidak tahan lagi, dia menangis. Air mata mengalir membasahi wajahnya. Semua akhirnya ikut menangis, dan kembali saling berpelukan.

"Sudah cukup menangisnya. Sekarang saatnya kita menghadap 'Big Boss', dan mohon perlindungan dari-Nya." Hien mengingatkan sahabat-sahabatnya.

Sedetik kemudian, masing-masing mulai menata diri untuk berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing. Prameswari menggelar sajadahnya, dan mulai bersujud dengan khusyuk. Dia menyerahkan segalanya dalam perlindungan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Tuhan yang dia yakini sebagai Tuhan Yang Maha Mengabulkan setiap permohonan dari hambanya.

Ya, mereka memang hanya setitik debu di dunia ini. Tetapi, dalam perlindungan Sang Penguasa Jagad Raya, tidak seorangpun yang mampu menghalangi Kehendak-Nya. Tuhan adalah satu-satunya lawan terberat dan tidak tertandingi. Seorang hamba, hanya perlu bersujud, memohon kepada-Nya dengan sungguh-sungguh dan keyakinan yang teguh.