Chapter 2 - NIRKALASEBA

Langit saat itu begitu terang. Mentari seperti biasa, bangun di pagi hari, lalu mulai pemanasan dengan berjalan menuju ke barat. Saat tepat di garis tegak bumi, saat itulah ia sedang dalam puncak keringatnya karena treadmill selama setengah hari.

Di kerajaan langit yang dipimpin oleh seorang raja yang sudah berkuasa selama ribuan tahun sebelum ada planet yang bernama bumi. Saat itu bumi masih seperti butiran pasir yang ditaburkan anak-anak ketika main di pantai atau seperti saat gundukan pasir yang baru turun dari truk pengangkut pasir selesai membongkar muatannya, pasir kali dari gunung merapi untuk memperbaiki tembok rumah orang tuanya yang retak dan berlubang di beberapa bagian ruang tamu. Pasir yang baru turun itu seperti mainan favorit anak-anak. Berdiri dari ujung jalan sejauh sepuluh meter kemudian berlari mendekati gunungan pasir, terus menaiki hingga ke puncak gunungan pasir.

Dengan kakinya yang terbenam di dalam pasir, mereka kemudian jongkok memungut pasir dengan kedua telapak tangannya, diperhatikan sejajar dengan matanya lalu katupan telapak tangannya pelan-pelan dibuka sehingga menimbulkan celah diantara telapak tangan yang menengadah. Akhirnya pasir hasil serokan telapak tangan itu bergantian turun dari tengah katupan telapak hingga habis. Saat pasir habis itulah, di langit terjadi sebuah penghukuman pada salah seorang penjaga pintu dimensi waktu. Dialah, Nirkala Seba.

Seorang penjaga dimensi waktu yang dihukum karena melanggar peraturan langit. Ia terpaksa mengintip masa depan. Karena terlanjur penasaran dengan takdirnya seribu tahun yang akan datang. Lebih tepatnya, bukan karena ingin tahu masa depannya seperti apa. Namun lebih kepada keingintahuan dengan siapakah nanti ia menjalani kehidupan pada seribu tahun yang akan datang.

Nirkala terlampau takut akan perjodohannya dengan kekasihnya Lintang Nawang. Seorang bidadari dari Surga Lokanirvana. Surga tempat orang-orang terpilih karena telah melaksanakan titah paduka raja penguasa kahyangan saat bertugas dibumi. Orang-orang itu merupakan para penempuh yang bersungguh-sungguh dari awal lagi. Karena saat turun ke bumi, ingatannya terhapus. Ingatan akan tugas, bahkan juga ingatan tentang kesadaran bahwa ia dibekali surat perintah dari sang tuan. Namun para penempuh ini bersedia mencari. Ia peduli apa yang terjadi dalam benak dan hatinya. Saat benak hatinya gelisah, ia berhenti kemudian berusaha mengingat siapakah dirinya.

Putri Lintang Nawang adalah salah satu manusia yang sudah paripurna sehingga ia tinggal di Surga Lokanirvana. Permintaan Putri Lintang Nawang adalah untuk hidup di surga dengan kekasihnya saat berada di bumi. Pengeran Raksamanta. Pangeran ini memutuskan untuk mengabdikan dirinya kepada paduka raja penguasa kahyangan. Padahal, ia sudah berhak tinggal di Surga Lokanirvana hingga selama-lamanya keabadian. Namun, karena di Surga Lokanirvana itu tidak ada kekasihnya karena Putri Lintang masih belum selesai dengan masa baktinya di bumi, ia memutuskan untuk mencari kesibukan dengan menjadi penjaga pintu dimensi waktu di Kerajan Langit Kalaprana. Rajanya, bernama Sang Kala.

Sang Kala memiliki pengabdi yang sangat setia bernama Batara Kala. Batara Kala merupakan asisten pribadi sang tuan. Ia layaknya tuan paduka di dalam diri yang lain. Batara Kala lebih seperti salah satu bayangan dari Sang Kala. Apapun yang paduka raja perintah, Batara Kala tak membantah sedikitpun. Batara Kala merupakan teman satu atap Pangeran Raksa. Mereka seringkali bersama-sama berbincang ringan saat menjalankan tugas dari Sang Kala.

"Pangeran, apa tidak sebaiknya kau tinggal saja di Surga Lokanirvana?" Tanya Batara Kala pada pangeran yang sedang membuka catatan jadwal pergantian waktu untuk semesta 13.

"Untuk apa berada di tempat yang megah mewah dan indah, jikalau tidak ada kekasih hati, wahai Tuan Batara Kala?" Sahut Pangeran mendengar pertanyaan dari Batara Kala.

Sepertinya, pertanyaan itu mengusik benak pangeran hingga malam saat dirinya beristirahat di ranjang kesunyian. Kelopak matanya berkedip lambat karena otaknya sedang mencari jawaban tentang kapan waktunya tiba untuk bertemu dengan kekasih belahan jiwanya. Pangeran seperti mendengarkan irama merdu seruling bambu yang dicerabut dari pohonnya. Tapi mendengarkannya hanya dengan satu telinga. Merdunya masih terdengar, namun dalam dirinya tidak seimbang. Ada bagian kosong yang tak terisi sehingga dirinya tak dapat merasakan keutuhan.

Hingga pagi hari ia tidak dapat memejamkan matanya. Hatinya dipenuhi rindu yang berusaha menyeruak keluar namun tetap saja terhalang. Bukan karena dirinya menghalangi rindunya untuk keluar, namun karena rindu bukanlah seperti gatal geli di hidung yang sembuh ketika bersin. Rindu membutuhkan pertemuan dengan yang dituju. Jika alamat yang dituju tidak juga ditemukan, ia akan kembali bersembunyi dibalik dada disamping jantung. Terkadang ia menyebabkan dada sesak, tenggorokan seperti tersedak, atau membuat mata mengembunkan udara di antara kelopak mata di sekitar bola mata. Kemudian embun itu semakin tebal, lalu menjadi titik-titik air yang kemudian mengalir dipermukaan pipi manusia yang tak tahu bagaimana caranya mengobati rindu tanpa bertemu.

Hingga akhirnya ada kilatan cahaya yang masuk ke benak pangeran. Cahaya itu membawa pesan yang ditulis dengan tinta hitam. Pesan itu mengajak pangeran untuk melakukan sesuatu. "Bagaimana jika nanti saat bertugas, kita masuk ke ruangan Hyang Wuku.

"Oh, iya, kebetulan aku lama tak bercengkerama dengan Hyang Wuku, semoga ia selalu dalam perlindang Sang Kala." Tanggap Pangeran atas pesan yang terbaca di benaknya itu. Namun kemudian cahaya tinta hitam itu datang lagi.

"Bukan hanya sekedar basa-basi menanyakan kabar kemudian minum kopi. Saat Hyang Wuku lengah, kau bisa membuka catatan takdir setiap jiwa. Dari catatan itu, kau bisa tau, seperti apakah takdirmu dengan Putri Lintang Paratu." Begitu bunyi pesan yang datang kedua.

"Tapi itu hal yang dilarang secara etika Kerajaan Kalaprana. Aku bisa dihukum Sang Kala. Dan aku tak mau mengecewakan Sang Kala." Jawab pangeran atas pesan berikutnya itu.

"Bukankah Sang Kala adalah paduka raja yang penuh kasih?" Bunyi cahaya tinta hitam itu lagi.

"Kau benar, paduka adalah raja yang penuh kasih." Kata Pangeran mengiyakan pendapat cahaya tinta hitam itu.

"Ya sudah, masalah selesai. Sekalipun kau ketahuan membuka catatan takdir masa depan keehidupanmu dengan Putri Lintang, paduka tak kan marah. Dan rasa penasaranmu akan kapan tiba waktunya bertemu Putri Lintang akan terjawab. Setidaknya, rindumu sedikit terobati." Bunyi pesan itu lagi.

"Kau benar." Jawab pangeran menyetujui saran dari cahaya tinta hitam itu.

Sepertinya usulan cahaya hitam itu diterima oleh pangeran. Pagi itu ia berkunjunga ke tempat kerja Hyang Wuku. Pangeran sepakat, sekalipun Sang Kala mengetahui kecurangannya, paduka tidak akan marah dan pastilah akan mengampuni karena paduka adalah raja penuh kasih. Ditambah lagi, pangeran merupakan salah satu kesayangan sang raja. Meskipun bukan anaknya, tapi ia tetap dipanggil pangeran sebagai tanda bahwa pangeran telah memberikan kehormatan, kecintaan, dan kerelaan atas jasa-jasanya berbakti pada sang raja.

. . .

"Apa kabar, duhai sobatku." Kata Hyang Wuku menyambut sahabatnya, Pangeran Nirkala.

Saat itu Hyang Wuku terlihat seperti sangat sibuk. Meskipun hal itu sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Namun Hyang Wuku tetap saja selalu mencari-cari kesibukan. Kadang melihat ulang catatan takdir agar tugasnya tidak keliru. Mungkin itu juga karena trauma atas kesalahan yang dulu pernah Hyang Wuku lakukan. Saat itu tanggal 369 penanggalan galaksi Kaleopa. Karena kekeliruannya membaca catatan takdir dari Sang Kala, ia melakukan pergeseran planet lebih cepat dari jadwal seharusnya. Hal itu mengakibatkan goncangan besar semesta. Bintang-bintang berjatuhan hingga ada yang menembus hingga atmosfer bumi. Planet-planet meningkat suhunya karena pergeseran orbit yang tak normal. Bumi yang paling terdampak. Gunung-gunung berapi mengeluarkan lahar dan material panas lainnya.

"Maafkan aku wahai sobat karibku, tidak seharusnya aku mengganggu waktu kerjamu. Tapi aku rindu untuk berbincang denganmu, wahai sobat karibku." Kata Pangeran bersopan-santun pada sahabatnya itu. "Oh, tidak apa, sobat. Akan selalu ada waktu untukmu yang selalu menyambung tali persahabatan." Kata Hyang Wuku sambil beranjak dari meja kerjanya yang penuh dengan catatan-catatan amal perbuatan manusia.

"Ada apa gerangan wahai sobat, kedatanganmu kali ini tidak seperti biasanya. Engkau biasanya memberi kabar terdahulu jika hendak berkunjung. Tapi kali ini tampak tiba-tiba, sehingga aku tidak sempat membereskan ruang kerjaku. Maafkan aku yang terlalu sibuk, sobat." Kata Hyang Wuku yang merasa terkejut karena Pangeran Nirkala datang tiba-tiba. "Oh, sebentar, biar aku siapkan minuman untukmu, sobat." Kata Hyang Wuku mempersilahkan pada Pangeran Nirkala untuk duduk dan menunggu kemudian ia beranjak pergi ke dapur menyiapkan jamuan tamu.

Pangeran Nirkala masih setuju dengan saran dari cahaya tinta hitam yang pagi tadi memberikan ide untuk mengobati buncahan kerinduan tak tertahan itu. Waktu lengah saat Hyang Wuku pergi menyiapkan jamuan tak disia-siakan oleh Pangeran Nirkala. Ia menyelinap ke ruang kerja Hyang Wuku. Beruntungnya ia, ruang arsip Hyang Wuku tertata rapi seperti penyusunan dokumen instansi yang selalu mendapat ranking nomor satu bidang pengarsipan. Sangat tertata dan mudah ditemukan. Hanya butuh beberapa kedipan mata untuk Pangeran Nirkala membuka catatan takdir dari kehidupan masa depannya itu.

"Ah, terima kasih sudah rela menunggu." Ucap Hyang Wuku sembari memberikan hidangan jamuan pada Pangeran. Pangeran terlihat ceria melihat Hyang Wuku yang begitu menghormatinya. Ia bersemangat menyantap hidangan istimewa negeri atas awan. Buah pir dari Surga Kalapa memang tak ada duanya, seolah kata-kata itu terbaca dari wajahnya. Mungkin juga karena kerinduannya terobati meskipun hanya sedikit, tapi setidaknya mengurangi sesaknya dada menanti datangnya hari yang dijanjikan.

. . .