Chereads / KALAPRANA - THE RECKONING OF BATARAKALA / Chapter 7 - KITAB MISTERIUS

Chapter 7 - KITAB MISTERIUS

Pagi itu cerah disertai udara segar bau khas dataran tinggi yang sejuk di hidung padahal kotanya bukan wilayah dataran tinggi tapi paginya lumayan sejuk. Jogja pagi memang khas, entah kenapa vibrasinya sangat nyaman untuk ditinggali. Sehingga juga menjadi surga yang menjerat para mahasiswa yang terlena dengan kenyamanannya. Memang sekali lagi ku katakan bahwa Jogja itu sangat pandai membungkus kenangan. Bahkan hanya sekedar ngopi di angkringan di jalanan sempit samping Stasiun Tugu saja membuat kesendirian menemukan temannya. Untuk meratapi nasib kuliah yang berat, atau cinta yang tak dianggap, Jogja adalah latar drama yang sangat mendukung.

Apalagi untuk kisah asmara yang baru tumbuh, Jogja semakin menggila dengan mengerahkan setiap sudut kotanya untuk merekam semua kenangan kalian disana. Dari sekedar di samping trotoar, lampu merah, cafe kecil, emperan toko, apalagi tempat seperti angkringan depan stasiun Tugu atau Lempuyangan, Perempatan Tugu, Jalanan Malioboro, Titik 0 KM BNI, dan juga di alun-alun utara atau selatan. Cerita masa depan tentang mimpi, dan cita-cita atau basa-basi bualan tidak bermutu yang jauh dari lucu juga terekam detail. Seperti penyimpanan metafisik yang nyata. Setiap kali kau melewatinya otomatis ia akan memutar kenanganmu saat itu.

Tapi ya sudah, berhubung kisah cinta dan kehidupanku biasa-biasa saja, jadi aku lebih banyak menghabiskan waktu menemani sahabatku Mandria melakukan penelitian tentang ketertarikanya pada banyak hal tanpa dosen yang membimbing. Kata Mandria "Terlalu formal dan bertele-tele, lebih baik sendiri, toh orang ahli tidak hanya di kampus saja.".

Memang iya, anak seperti Mandria hanya perlu sedikit pancingan yang menarik kemudian dia akan menelisik masuk ke titik terdalam yang bisa ia bidik. Sekalipun kadang juga energinya habis. Tapi cara dia mengisi ulang energinya hanya dengan tidur sampai bangun sendiri. Menurutnya, tubuh punya sistem metabolisme yang tau bagaimana memperbaiki dirinya sendiri. Yang perlu dilakukan hanya berterimakasih pada tubuh lalu membiarkan tubuh melakukan rehabilitasi sel-selnya yang lelah. Dan ketika bangun, artinya sel sudah selesai diisi ulang dan siap digunakan.

Pagi itu tiba saatnya kami bertiga berkumpul di kantin sastra untuk menunggu apa yang ingin Mandria lakukan. Mandria sudah disana dulu sebelum kami datang. Meskipun aku dan Mandria satu kos-kosan, tapi rute perjalanan kami setiap harinya berbeda, hanya bersama jika ada janji saja.

"Kece banget kamu hari ini, Re." Kata Mandria saat kami berdua datang. Setelah kulihat lagi, benar juga. Rere yang kulitnya bening langsat berambut higlight coklat di akarnya yang di belakang telinga jadi terlihat tomboy namun eksotis jika dikuncir kuda. Tambah lagi dandannya yang kasual hanya dengan kemeja flanel oversize hitam yang kotak-kotaknya abu-abu menutupi kaos belel yang lehernya seperti disobek. Sayang saja bahannya kurang tipis, coba kalau tipis sehingga agak menerawang, pasti lebah jantan tak kan melewatkan pandangannya. Terkadang agak khawatir punya teman semacam ini. Tapi untungnya gadis semacam Rere ini cukup biner dalam pemikiran, sehingga agak sulit untuk dibodohi laki-laki bodoh banyak gaya. Kata Mandria, Rere itu penganut 'Binary Thinking'. Entah dari mana lagi istilah itu. Tapi yang pasti secara praktisnya gaya pemikiran seperti itu semacam campuran antara stoikisme. Silogisme murni, jika ini maka ini. Entah, kadang aku berpikir Rere ini laki-laki yang terjebak dalam tubuh wanita jika melihat gayanya. Tapi tidak juga, feminismenya masih ada, minimal terlihat pada caranya menata rambut.

"Udah buruan apaan yang seru kata Loe kemarin." Tagih Rere yang kemudian memesan cemilan pada Mang Penjaga Kantin.

"Es teh manis sama mendoan mang yaa" kata Rere. Mendoan itu tempe di goreng tepung khas Banyumas, potongannya lebar, makan dua lembar saja akan membuatmu kenyang tapi tidak untukku, aku perlu empat lembar untuk sampai kenyang.

"Tambahin empat Mang mendoannya, sama es tehnya dua gelas." Timpalku menambahkan pesanannya. Mereka rupanya sudah makin terbiasa jika aku memesan yang di atas normal. Sepertinya kata 'ah, dasar Sabduh, kagak ada kenyangnya' itu berbunyi di benar mereka namun tak terdengar.

"Udah buruan mau ngapain ini kita sekarang." Rere seperti tak sabar.

"Santai nona, nikmati saja dulu teh manis dan mendoan pagi ini." Kata Mandria sambil meneruskan menyeruput teh dengan wadah poci mungil dari tanah bertuliskan "poci khas Tegal". "Ini buat selingan saja sebelum kita mencari sesuatu di perpustakaan sastra. Kemarin aku dapet paketan ini." Lanjut Mandria sambil mengeluarkan sesuatu dari tas slempang berbahan karung goninya. Sesuatu itu tampak seperti buku, tapi tampaknya tidak seperti buku pada umumya. Secara tampilan fisik pun itu seperti sudah lama sekali, lusuh kumal banyak lecet baik di tepi dan permukaanya.

"Kapan kau dapat ini anak muda?" tanya Rere sembari mengulurkan tangan untuk mengambil bendelan lembaran kusut berwarna coklat tua itu. Dilihatnya buku itu yang tampakannya lebih cocok jika disebut kitab. "Menarik" kata Rere memberi kesan pada buku saat memegangnya sambil mengamati sampul depan dan belakangnya kemudian menaruhnya di meja setelah menggeser piringan mendoan dan gelas es teh manisnya. Dari gerakannya sepertinya Rere sudah mulai santai, khas gerak tubuhnya saat serius mengamati sesuatu.

"Kemarin pagi sebelumnya malamnya menonton pertunjukan tarimu di Bentara Budaya." Jawab Mandria setelah mengucurkan lagi tehnya di gelas warna coklat bata ukuran 100ml itu. "Itu saja Abduh yang menerima paketanya saat aku masih tidur." Katanya.

"Oh jadi ini paketan kemarin itu?" tanggapku menyela obrolan mereka. "Tepat sekali. Apa kau memperhatikan seperti apa pengirimnya?" tanya Mandria padaku. "seingatku tidak ada yang aneh. Seperti kurur pada umumnya." Jawabku dengan rasa kebingungan. "Apa maksudmu, Kau tidak memesan barang itu?" tanyaku. "Tidak, sama sekali tidak." Jawab Mandria dengan tenang. "Lalu dari siapa ini?" Tanyaku heran. "Entah, karena itu juga Aku butuh bantuan kalian untuk mencari tahu." Kata Mandria.

Rere masih melihat-lihat isi dari buku lusuh itu. Lembar demi lembar ia buka perlahan seperti berusaha mengerti apa isi buku itu. Karena setelah kuamati, hurufnya tidak lazim. Bukan huruf latin, lebih mirip tulisan-tulisan peradaban kuno. Tapi jika diamati, seperti huruf-huruf peradaban sumeria dan semacamnya.

"Lebih sulit dari buku Codex Gigas" kata Rere setelah sampai pada akhir lembar buku itu. Sepertinya dia juga menyerah. "Codex Gigas yang katanya kitab iblis itu maksudmu? Yang kini ada di perpustakaan inggris, bukan?" kataku menanggapi pernyataan Rere tentang buku yang lembarannya hilang beberapa halaman setelah ditemukan.

"Benar. Codex Gigas masih menggunakan huruf latin, ini tidak, entah apakah ada dokumen lain yang bisa kita pakai untuk membaca isinya." Lanjut Rere. "Memangnya kalaupun ada, bagaimana caranya?" tanyaku.

"Komparasi, seperti saat ilmuwan membaca huruf hieroglif, itu dibandingan dengan huruf yunani yang sudah diketahui peneliti, dibandingkan dengan huruf hieroglif yang sama dalam satu dokumen, atau prasasti, sama seperti hasil transliterasi." Jelas Rere sambil menyeruput es teh lalu mengunyah mendoan hangatnya. "Tapi itu nanti saja, kita harus cari tau dulu dari mana ini dan mengapa dikirim ke Mandria." Katanya. "Kau tak punya urusan dengan orang bermasalah kan?" Tanya Rere pada Mandria. "Seingatku dengan kesadaran penuh, tidak." Jawab Mandria tegas.

"Ya sudah, nanti kita bicarakan lagi, sekarang kita ke perpustakaan dulu, kita cari referensi tentang kitab Bagavatapurana dulu." Ajak Mandria. "Eh, tapi itu juga belum kau ceritakan. Kitab apa itu, dan untuk apa kita mencari itu?" Tanyaku pada Mandria. "Kalau untuk penjelasan itu bisa Aku sampaikan sambil kita jalan menuju ke perpustakaan, cukup 200 langkah untuk menjelaskan yang Kau tanyakan barusan." Jawab Mandria. Kemudian Kami beranjak dari kantin setelah membereskan tagihan yang kami pesan itu.

Di langkah ke tujuh menuju perpustakaan Mandria mulai menjelaskan tentang apa yang akan kami cari. Mandria mengatakan, Kitab Bagavatapurana itu kitab tentang kosmolodi semesta. Disana menjelaskan tentang konstelasi planet antar galaksi yang setiap posisinya akan membuat kombinasi baik secara posisi maupun energi karena terkait gaya gravitasi, gelombang elektromagnetik, dan segala yang berkaitan juga berubah pula. Sehingga sebenarnya kita dapat bersinergi sesuai waktu dan kondisi setiap kombinasi orbit yang terjadi. Dengan sinergi itu kita mengantisipasi atau bahkan mencegah apa yang terjadi di bumi.

Seperti menari, katanya. Kita menari sesuai dengan irama. Tapi ini lebih kompleks. Tak hanya menyesuaikan dengan irama, tapi juga menyesuaikan dengan panggungnya pula. Sayangnya, hampir semua karya ilmiah yang ada hanya sekedar membahasnya sebatas kesusastraan saja, tidak jauh sekedar transliterasi. Sehingga kajian itu hanya berhenti di fakultas sastra saja. Padahal, disitu juga terkandung informasi tentang sains yang bermanfaat untuk kehidupan kita di bumi agar selaras dengan alam semesta. Banyak kitab kuno yang menerangkan banyak hal dalam satu kitab yang dulu diajarkan para brahmana untuk para raja dan rakyatnya agar selaras dengan semesta raya.

"Halo Mas Mandria! Kemana saja e baru kesini lagi?" sapa petugas penjaga perpustakaan yang sepertinya sudah sangat akrab dengan Mandria. Petugas itu mungkin usianya sekitar 40 tahunan, tapi dandanya seperti laki-laki berusia 50 tahun. Dengan baju lengan pendek berwarna putih yang dimasukan ke celana kain warna hitam model khas bapakku yang dari pinggang lebar sedikit melengkung di ujung lubang kaki. "Yah, sedikit sibuk, Pak" Jawab Mandria dengan senyum sumringah sembari menyodorkan kartu anggota perpustakaan pada petugas ramah itu lalu menuju meja paling ujung di tengah ruangan model letter U yang berjajar menempel di tembok. Lumayan besar perpustakaanya untuk ukuran perpustakaan fakultas. Suasanya didalamnya lebih mirip gereja. Atapnya tinggi, warna dominannya coklat karena rak buku kayu itu, disusun ke atas sehingga ada beberapa tangga untuk menjangkaunya. Seperti perpustakaan Cambridge versi mini sepertinya.

"Baiklah, kita mulai" kata Mandria setelah kami masuk dan sampai meja di perpustakaan sastra ini. Hari itu tidak banyak yang di perpustakaan, jadi sepertinya tidak akan mengganggu jikalau pun kami sedikit berisik dalam diskusi. "aku mencari kitabnya, Kau cari referensi cetak yang terkait dengan ini, baik itu skripsi, tesis, atau pun disertasi," katanya dengan mengarahkan pandanganya padaku. "Lalu Kamu Re, cari jurnal atau referensi terkait yang ada di internet" Kata Mandria menjelaskan tugas kami masing-masing. Setelah itu Kami bergegas mencari letaknya setelah mencari letaknya di basisdata penyusunan buku di komputer.

Mungkin sekitar 20 menit aku mencari-cari referensi. Mandria yang hanya mencari satu judul saja kemudian bersama Rere membantu mencari referensi di Laptopnya. Sepertinya pemandangan itu sungguh keren menurutku. Dua muda-mudi eksentrik berotak encer berdiskusi di perpustakaan mencari sesuatu yang tidak seperti umumnya mahasiswa. Yang dicarinya bukan untuk mendapatkan nilai A di akhir semester. Tambah lagi, tampang Rere yang secara bawaan lahir sudah tampak berkelas. Kata orang tulang-tulangannya orang kaya berpendidikan. Ah, tapi menurutku itu masih kurang. Secara tampang, Rere itu tidak saja tampak seperti orang kaya walaupun dia dari keluarga biasa. Yang lebih membuat berkelas itu bahasa tubuhnya, gerakan sedikitnya saja sangat impresif. Seperti caranya memegang pulpen, mengikat rambut, menggulung lengan kemeja, juga memilih model bingkai kacamata baca untuk sekedar gaya, sungguh memukau, kawan. Aku jadi teringat pujaanku, Samiah. Kala itu saat aku baru saja sampai di kota ini.

. . .

Butuh keterampilan tersendiri untuk membuat sesuatu yang mungkin dianggap kecil dan sederhana tapi membuat rasa terbuka matanya lalu membaca. Sekedar perhatian kecil yang mungkin tidak sengaja seperti berhenti sejenak saat dijalan raya karena seorang nenek hendak menyebrang. Lalu nenek itu pun pasti merasakan kemudian menengok ke arah mobilmu lalu memberikan senyuman tanda terimakasih. Engkau hanya perlu menahan dirimu sejenak memberikan orang lain kesempatan.

Ruang kosong yang kamu berikan membuat orang lain menempati ruang itu. Seperti dalam percakapan misalanya, saat kamu berhenti bicara dan memberikan ruang untuk orang lain dan kamu mendengarkan. Memang sejatinya manusia itu unik. Bukan hanya tubuhnya yang membutuhkan ruang namun juga hati pun memerlukan itu.

Apalagi jika orang lain itu juga mengharapkan. Harapan, keinginan, itu layaknya lubang magnet yang ketika sesuatu berkutub pasangan itu datang, maka akan menjadi medan magnet sempurna. Seperti saat kau menatap pujaan hatimu tdam kau berharap ia tersenyum lalu tiba-tiba ia menoleh dan memberikannya padamu.

Laksmi Shamiah. Ia salah satu pemilik keterampilan itu. Keterampilan membungkus hal kecil menjadi menyenangkan dan membuat kecanduan. Tadinya kupikir karena aku suka saja yang sehingga apapun gerak kecilnya menjadi selalu menarik. Tapi ternyata tidak, orang lain pun sama, dia sangat mudah untuk disukai.

Hampir malam di Jogja, ketika keretaku tiba. Seperti lagu sepasang mata bola saja , pikirku. Dari Jakarta kupergi pagi menjelang siang dari sana. Kereta kelas eksekutif. Jauh lebih mahal memang tiketnya, tapi aku hanya tidak ingin menyengsarakan tubuhku, kasihan dia, menjadi rumah dari Ruh yang sedang merindu, jadi cukup hatiku saja yang meronta. Biarlah tubuhku tetap nyenyak dan ngilu tulang leher. Heran saya, mengapa kenyamanan yang dijadikan kelas sebuah jasa kereta api. Mbok cepat lambatnya saja wong fungsi transportasi itu memindahkan jasad. Kenyamanan itu hak segala manusia.

Memang benar kata Adhitya Sofyan, selalu ada sesuatu dijogja, katanya entah mantra apa yang membawaku disana. Tapi aku sedikit menemukan bahwa yang membawa manusia kesana kemari dan bertemu orang silih berganti itu adalah Rasa. Rasalah yang membawanya, karena hidup itu tentang perjalanan rasa, peristiwa hanya sebagai perantara, dan tubuh yang mengantarkanya, pikirku. Dan ini, adalah sepenggal kisahku dijogja karena kutukan kata-kataku sendiri.

"Pukul 17.00 keretaku sampai di stasiun Tugu, minta tolong jemput bisa?" pesanku pukul 15.25.

"Memangnya jam berapa nanti ke acara selanjutnya?" balasnya di menit yang sama.

"Pukul 20.00"

"Ok" Jawabnya lagi.

Aku lebih suka memanggilnya Ami, karena susah jika harus Laksmi Samiah, selain untuk mengurangi upaya tenggorokanku dalam pelafalan, sepertinya juga lebih imut sedikit manja-manja norak. Menurutku hal unik lain darinya adalah cara dia bercakap dengan orang lain entah sebaya, lebih muda, atau lebih tua. Hampir tidak pernah dia memakai kata kamu untuk dialog yang bersifat langsung antara dia dan lawan bicaranya. Ia selalu menyebut nama lawan bicara. Menurutnya itu kasar. Makanya ia tak mau dipanggil kamu oleh kekasihnya karena ia akan merasa dikasari. Tapi jika aku, ya tak apa-apa, karena bukan kekasihnya.

"Aku di Angkringan seberang pintu keluar" pesanku pukul 20.00.

Keretanya datang lima menit lebih cepat dari jadwalnya. Kalau yang ini tak seperti lagu Iwan Fals yang katanya biasanya kereta terlambat dua jam itu biasa.

Aku tau Ami itu sangat disiplin waktu, jarang sekali membuat orang menunggu lama. Itu juga yang membuatku sungkan kalau-kalau aku membuatnya kecewa.

"Sebelah mana? Aku nggak tau?" balas Ami.

Apa kubilang, takkan dibiarkan kau menunggu lama jika ia sudah menyepakati janji. Ami itu wanita cerdas, juga tegas. Tak suka yang repot-repot. Dia selalu cepat berkata ya atau tidaknya. Jika tidak bisa ya tidak bisa, sangat menghargai janji yang sudah dibuatnya. Kadang kupikir dia seperti algoritma yang kaku. Tapi yang aku heran dia juga lembut. Dan manjanya tak seperti wanita pada umumnya. Jika umumnya manjanya wanita itu manja yang merepotkan, Ami itu manja nya seru.

Telepon berdering.

"Mana sih? Aku nggak liat" Katanya dengan nada jernih.

"Ini kamu sebelah mana? Ke arah timur pintu keluar aku dipinggir jalan" Kataku.

"Coba lambai-lambai tangan dong!" Pintanya dalam pesan singkat.

"Oh iya aku liat" katanya jelas.

Tak lama Ami menghampiri. Berhenti tanpa mematikan motor dan memberikan sebuah helm model retro berkaca cembung.

Hah,aku yang dibonceng? tanyaku dalam hati. Memang dasar dia ini, tau tanpa diminta, pikirku.

"Aku tadi sebenernya mau minta kamu pake celana jins lho, eh bener ternyata" sambil memakai helm, lalu memboncengnya.

Tubuhku sedikit condong agar suaraku terdengar sehingga tanganku disamping pahanya yang terbalut jins biru navy. Dia cukup tau selera, caranya berbusana asik dan santun, seleranya adalah kualitas dan tidak asal mahal. Efektif. Oh bukan hanya agar suaraku terdengar, karena memang magnet ditubuh Amy terlalu kuat sehingga aku selalu ingin mendekat.

Malam ini adalah yang pertama kali aku dibelakangnya dengan posisi paling ideal untuk memeluk, meski tak bisa aku dekap dan hanya jantungku saja yang berdegup kerap.

"Oh ya?" jawabnya basa-basi.

"Eh tolong duduknya munduran dikit kak, itu pegangan besi belakang" dengan nada meledek.

Kedua roda itu pun beradu di jalan basah sisa hujan barusan. Sambil diiringi lagu Sesuatu di Jogja-Adhitya Sofyan yang terngiang dikepalaku sendiri dan benakku bersuara…

Kamu memang seperti Jogja, pandai membungkus kenangan dengan kata sederhana.

Kamulah mantra satmata..