"Ijin pak bertanya" Kata Mandria.
"Ya, silahkan.." kata Pak Wir. Kulihat urat wajahnya sangat santai seperti sangat paham akan segala teori ekonomi. Wajar, didikan Amerika katanya. Tapi entah universitas apa aku tak tau. Pak Wir ini tampak benar seorang pembelajar tulen. Seseorang yang apapun jika diajarkan padanya, akan diserap sempurna. Sepertinya memang dulunya dia rangking sekolah, tapi dugaanku golongan yang menyebalkan. Yang sama sekali ngga bisa diajak kompromi masalah contekan ujian.
"Kalau misalkan.. Di dunia ini hanya ada negara kita sebagai bangsa, bagaimana kita akan membangun? Karena jika berdasarkan apa yang bapak jelaskan, pembangunan sangat terganting dengan pinjaman, terutama pinjaman luar negeri. Misalkan, hanya ada negara kita saja di dunia ini, maka mengandalkan uang pinjaman dari rakyat sendiri juga sama saja bohong" Tanya Mandria lagi.
"Kita tak bisa memakai pengandaiaan itu anak muda. Karena kenyataanya tidak seperti itu, kita hidup dengan negara-negara lain" jawab Pak Wir singkat tenang. Tapi menurutku itu terlalu kolot.
"Emm.. atau jika suatu ketika kita di embargo, seperti layaknya nasib jerman saat kalah perang dunia. Atau seperti jepang saat hancur lebur oleh bom atom. Atau seperti china beberapa puluh tahun yang lalu." lanjut Mandria menjelaskan.
"Arah saya adalah mencari solusi alternatif selain utang negara pak? Sedangkan scenario kedua barusan yang saya utarakan sangat mungkin dilakukan.." kata Mandria menegaskan.
"Printing money kah yang kamu maksud anak muda?" jawab Pak Wir.
"Mungkin.. tapi jika ada alternative lain yang lebih bagus, saya akan lebih tertarik" kata Mandria menegosiasi.
"Printing money tak bisa kita lakukan sembarangan karena itu akan berdampak pada inflasi" Kata Pak Wir.
"Baik kita coba bedah pak!" jawab Mandria menyela dengan nada siap siaga. Aku suka aromanya saat Mandria sudah mulai siap beradu logika. Memang Mardigu Mandria itu sosok ideal untuk sapioseksual sepertiku.
"Inflasi itu akibat uang beredar yang melebihin jumlah produk yang ada sehingga akan mengakibatkan harga melambung semakin tinggi karena masing-masing orang memiliki uang dalam jumlah banyak. Tapi coba kita lihat prosesnya. Kita mencetak uang juga pasti akan memikirkan jalur distribusinya. Tidak mungkin juga kita cetak uang kemudian kita tebar lewat pesawat agar anak kecil yang berteriak "Pesawaat! Minta uangnya!" akan mendapatkan Cuma-Cuma" Seluruh kelas tertawa saat Mandria memperagakan teriakan anak-anak imajiner itu. Namun Bel berdering bersamaan nada yang mulai nyaring. Tanda kuliah harus selesai.
. . .
"Parah Loe, Dri" Kata Abduh sambil keluar ruangan kuliah.
"Lo tu bukan mahasiswa sini, berani-beraninya nantang Pak Wir. Untung tadi ngga diabsen, kalo iya diabsen dan ketauan gue yang bawa Loe, bisa sekarat nilai gue semester ini, kalo sampai itu terjadi, udah deh Man, kita sampai sini aja kenalnya, berasa nyimpen keris gue. Keris apa tu yang kemarin Loe cerita?" tanya abduh dengan irama intonasi ayam yang berhasil lepas dari sergapan musang.
"Nagasasra Sabuk Inten." Jawab Mandria singkat.
"Nah iya itu.. Terbang sana terbang sini, bahayain orang yang didiketnya Loe mah.." Abduh melampiaskan deg-deganya selama 30 menit terakhir tadi, walaupun sebenarnya dia juga tertarik saat Mandria beraksi, tapi berhubung tadi menyangkut keberlangsungan kuliahnya, dia khawatir juga.
"Trus terjadi kah peristiwa yang kau takutkan itu sobat baikku?" Kata Mandria dengan gaya pujangga.
"Ya enggak sih" Jawab Abduh dengan nada kalah.
"Ya udah.. Lagian gue yakin, Dosen barusan ngga sekanak-kanakan itu" Lanjut Mandria.
"Eh, Cok, ntar malem kita kemana? Ada ide?" Tanya Mandria sekaligus mengalihkan pembicaraan. Rupanya Mandria tak tertarik untuk membahas kekhawatiran yang tidak terjadi.
"Nggak tau, belum ada, udah ntar aja mikirnya, yang gue tau sekarang, laper. Tuh, nasi murah kenyang udah nungguin di kantin sastra" Kata Abduh sambil menjentikan jari ke arah mana harus berjalan menuju kantin.
"Loe anak fakultas ekonomi banget ya Duh.. bener-bener Loe praktekin tu ilmu tentang modal seminimal mungkin tapi hasil maksimal mungkin" Kata Mandria.
"Iya lah.." jawab Abduh singkat dan jelas.
"Tapi nanti pasti Loe bakal nemu ternyata nikmatnya sesuatu bukan pada banyaknya, tapi kualitasnya" Kata Mandria dengan nada yang diberatkan dan ritme yang pelan.
"Heleeh.. Sok Pilosopis.. Udah buru, Cog.. laper ini" Ajak Abduh sambil menarik tas Mandria.
Seperti biasanya setelah kuliah yang selesai di waktu jam makan siang Abduh menuju kantin langganannya itu. Kantin paling lama yang sudah beroperasi. Turun temurun sepertinya. Sekarang kios kantin satu itu di tempati Lik Jati. Lik itu dari kata Pak Lik, Pak Cilik, Bapak Kecil, Paman maksudnya. Diantara kios yang lain Abduh lebih suka disitu, disamping karena porsinya top, masakanya juga sedap.
"Duh, Rere gimana kabarnya.. Tau nggak?" Tanya Mandria sambil membuka tasnya untuk mengambil handphone dan notebook bergambar sherlock holmes andalanya itu.
"Nggak tau, terakhir mah mau ngisi acara festival seni Bentara Budaya kampus" Jawab Abduh.
"Ngisi apaan, Duh? Emang dia punya jiwa seni gitu?" Tanya Mandria lagi.
"Dia tu pinter nari kali" jawab Abduh setelah menenggak es teh hingga sampai setengah gelas sekali sedot.
"Ck.. Ah.." Khas desahan saat minum Abduh itu sedap untuk di dengar.
"Lo mau liat? Ntar malem kayaknya acaranya, ntar gue coba whatsapp dia" dengan tangan masih penuh minyak abduh membuka kuncil layar handphonenya dengan kelingkingnya yang bulat.
"Nah ide bagus tu, Duh.. Ya udah gue ikut makan.." Kata Mandria.
"Eh, iga sapi! apa hubungan-nya antara makan sama nonton festival seni, laper mah makan aja!" Sahut Abduh.
. . .
Matanya cantik. Bukan belo , biru juga bukan. Tapi terlalu syahdu untuk dilihat. Pertengahan antara besar dan sipit, berbulu mata lentik. Memang ternyata cantik itu bukan melulu fisik. Ini buktinya. Tapi pemuda yang dihadapanya itu, Rama. Tak tau apakah mata cantik itu akan bertahan setelah pertanyaan ketiga dari yang sudah direncanakan nanti terlontar dari lidah yang tidak sabar.
"Kamu masih sama mas-nya?" Tanya Rama.
Mas-nya itu sebutan Rama untuk pacarnya Rere. Rupanya Rama mulai tak nyaman dengan posisinya dihandphone Rere. Karena terlalu sulit untuk membaca hati. Jadi panggilan secara chat-lah yang paling mudah untuk menggambarkan.
"Aku, kamu anggap apa selama ini?" lanjutnya. Wajah cantik Rere masih datar.
"Masih, Bukannya kamu tau aku masih sama dia?" jawab Rere singkat, melambat.
"Oh.." Rama menjawab dengan nada nyinyir.
"Sebelumnya aku minta maaf. Aku hack chat whatsapp kamu. Dan aku tau semuanya" Ritme bicanya makin cepat. Tak seperti biasanya yang sedikit manja ketika berbincang dengan Rere, kali ini ia seperti Deddy Corbuzier yang siap menginterogasi. Mungkin karena ditambah energi cemburu dan memburu.
"Apa?? Hack? Berani-beraninya kamu masuk sembarangan! Aku merasa ditelanjangi!! Tapi oke.. Terusin.. Apa yang kamu mau? Mau ngomong apa? Silahkan lanjutkan.." Kata Rere dengan menghadapkan wajah tepat berhadapan.
"Itu kenapa aku minta maaf, calon isteriku. Aku rasa aku berhak melakukannya pada seseorang yang aku rencanakan untuk menjadi pendamping sisa hidupku. Aku ingin tau seperti apa calon ibu anak-anakku" lanjut Rama.
"Jadi selama ini, komunikasi kamu denganku yang seperti ini, bermakna cadangan?"
"Aku benci sebenernya. Tapi ada yang lebih aku benci lagi, yaitu akan sulit nglepasin kamu. Apalagi ada rasa yakin bahwa 'kamulah jodohku' masih menghantui keyakinan hatiku sampai sekarang" kata Rama.
"Bukannya aku tidak pernah mengatakan iya atas semua ajakan honey untuk berkomitmen?" jawab Rere.
"Apa maksudnya kamu masih menyebut aku dengan panggilan honey?!" nadanya sedikit teriak. Mungkin jarak 5 meter itu terdengar, tapi untung saja tidak ada orang sedekat itu.
"Iya mungkin aku salah. Tidak berkata Iya, juga tidak berkata tidak" kata Rere.
"Tapi caramu seperti ini aku juga tidak suka. Aku benar-benar merasa dilucuti tanpa sehelai benang pun" lanjutnya.
"Tenang saja, hanya satu kontak chat yang aku baca" kata Rama meyakinkan.
"Heh..Mana mungkin. Pintu rumah sudah terbuka. Maling tak akan menyia-nyiakan kesempatan" Jawab Rere.
"Sudah nggak usah mengalihkan tema. Aku cuma ingin memastikan posisiku dalam prioritasmu" Kata Rama.
"Aku tau kamu sangat menarik. Tak mungkin ada laki-laki yang menolak jika kamu merespon. Tapi aku nggak nyangka kamu se-oportunis itu" lanjutnya.
"Okey. Sepertinya ini pertemuan kita yang terakhir, lupakan semua ajakan kamu menikahiku. Aku marah, dan sangat, sangat marah. Yang kamu lakukan sudah terlalu jauh dari batas, Aku muak, terimakasih, selamat tinggal, ingat dan dengar, selamat... tinggal.. bukan sampai jumpa" Kata Rere.
"Bagaimana jika aku kasih kamu kesempatan lagi?" Tanya Rama.
"Tak perlu. Cukup sampai disini.. Masih ingat apa yang aku katakan tadi?" Kata Rere.
"Selamat Tinggal.." Kata Rama mengulang yang didengarnya beberapa detik sebelumnya.
"Anak cerdas.. That's All, Beib" Kata rere sambil mengusap manja pipi Rama dengan nada meledek.
Mereka saling beranjak, tentang kesalahan, entah siapa yang berhak..
Pesawat menerbangkan seorang laki-laki yang patah hati. Marah karena cemburu memang sangat sesak untuk dirasa. Tambah lagi, permintaan yang tertolak. Rasanya seperti makan singkong rebus tapi tak diberi minum. Seret, bangchat!!.
Tapi sepertinya Rama salah langkah, berharap dengan ia hack handphone nya, Rere akan meminta maaf dan memohon untuk jangan pergi, tapi salah. Rere bukan gadis yang mau diancam apalagi memohon. Ia sangat logis dan sangat enggan untuk merendahkan dirinya.
Karena itu juga mungkin ia dapat menjalani beberapa hubungan mesra gantung dengan tiga laki-laki sekaligus. Rere seperti Bahasa pemrograman. Yang dia pakai algoritma yang Jika ini maka itu, sesederhana itu. Aku sudah mengenalnya sejak ia dengan pacar pertamanya. Walaupun hanya hitungan beberapa tahun.
Semenjak pertemuan yang membuat Rama semakin merasa salah langkah itu, ia semakin tak bisa berbohong bahwa pengharapannya pada Rere itu lebih besar dari kemarahannya. Dasar laki-laki gegabah, lalu untuk apa ia meluapkan amarah. Tapi ya tak bisa disalahkan, ternyata cemburu juga buta, bukan cuma cinta saja yang buta. Ah, sepertinya cinta dan cemburu itu satu koin berseberang muka. Cinta disisi lain, cemburu sisi sebelahnya.
Handphone Rere semakin sering berdenting karena notifikasi pesan yang semakin sering. Dari Rama yang semakin nyaring mengirim pesan yang tak perlu juga foto yang tak penting. Foto tiket lah, lagi duduk menunggu take off lah, foto awan lah, foto sudah-sampai lah, sampai foto mie instan seperti bungkusnya saat akan makan malam.
"Gimana kemarin Rere, mas?" kata ibu Rama yang setengah baya dengan aura yang teduh.
"Doain aja, Mah. Semoga setelah mamah umroh bulan depan udah ada kepastian, doain aja yang terbaik apapun hasilnya semoga Rama bisa menerima" kata Rama.
"Halah.. yakin? Anak mamah itu pengejar target, mamah paham betul gimana kamu kalau targetnya nggak kesampaian" kata ibu Rama dengan sentuhan hangat di punggung Rama seolah berkata,
Tak perlu buru-buru, nak..
. . .
"Begitulah.. " kata Rere sambil menyelesaikan menghapus sisa make-up pentas tadi. Rambut panjang ikalnya mengurai seperti singa karena hair-spray yang terlalu kuat untuk rambut selembut itu. Yang masih aku tak tahan itu kulit parasnya yang kuning langsat kenyal itu. Benar-benar terlihat anggun. Rambut, lekuk sudut wajah, warna kulit, juga tekstur dagingnnya, tambah lagi aura jawa-sunda nya begitu proporsional, nyaris sempurna. Hanya memang sedikit cerdik masalah asmara. Tapi sepertinya lumrah dan manusiawi. Apalagi untuk manusia berbadan bidadari surgawi.
"Ya sekarang udah ngga kontak sama Rama.." Lanjut Rere.
"Emang dulu pacaran?" Tanya Abduh dengan nyinyir.
"Haha.. Sialan Loe.. Ya nggak juga sih.. Friends With Commitment kali ya" Kata Rere tertawa lagi.
"Berarti sekarang single dong Re?" Tanya Madria yang sedari tadi menyimak Rere.
"Yah, Apaan maksud Loe tong nanya-nanya? Loe ngarep mau masuk,Dri? ahahah" Sela Abduh.
"Berisik Lo tanduk kambing" tanggap Madria kesal.
"Emmm.. udah ada si.. hahaha" jawab Rere seolah tidak mau memperpanjang.
"Kuliah Loe gimana ngomong-ngomong, Dri?" tanya Rere.
"Kuliah Gue? Hahh.." Madria menanggapi dengan menghela nafas lebih dulu lalu merebahkan badanya di tikar kusut angkringan depan gerbang masuk kampus yangg lampunya mengandalkan lampu jalanan remang yang malas untuk bercerita.
"Begitu-gitu saja sebenernya kuliah gue mah. Tapi ada hal yang sedikit menarik ysng gue dapet waktu makan siang tadi sama si Abduh" katanya.
"Apaan Cog kok Loe nggak cerita tadi?" Abduh seolah protes merasa diremehkan.
"Biar sekalian, cerita ke Loe itu ngaruh nggak ngaruh soalnya" kata Madria.
"Nih, liat" kata Madria sambil membuka Youtube yang tadi siang dia simak di kantin.
Youtube itu memutar seorang profesor ilmu budaya yang sedang membahas tentang teks kuno. Disana sang profesor bercerita dan sedikit mengeluhkan tentang perlakuan terhadap teks kuno yang hanya dikaji secara sastra saja padahal disana memuat sandi-sandi teknologi tingkat tinggi. Sang profesor berujar seharusnya ini bisa menjadi bahan riset lintas fakultas sehingga bisa menjadi temuan yang dapat mengembalikan jatidiri bangsanya. Ada salah satu teks kuno yang profesor itu sebutkan. Bagavatapurana.
"Menarik!" Sahut Rere girang.
"Oooo... Jadi ini Loe tadi tiba-tiba nanya kabar Rere tadi siang?" Abduh seperti mendapatkan benang merahnya.
"Oke, tiga hari lagi kita ke perpustakaan fakultas sastra!" kata Rere mengusulkan.
"Jam?" tanya Madria yang masih merebah dengan tangan sebagai bantalannya.
"Oke!" jawab Rere singkat menghabiskan gorengan tempe terakhir di piring plastik hijau itu.
Malam cukup larut untuk kedua anak muda sapioseksual ini berdiskusi, tambah lagi mataku sudah cukup kantuk untuk mereka yang mau berdiskusi hanya untuk menghilangkan suntuk. Oh iya, Rere adalah wanita cantik yang saat registrasi dahulu kala itu aku perhatikan gerak-geriknya. Teman sekolah Madria waktu SMA.