"Lalu apa yang ingin kau katakan?" tanya Pyro akhirnya, mengakhiri topik mengenai Apple.
Dia tidak perlu menjelaskan secara lebih detail mengenai apa yang ingin dia sampaikan pada Jayden, karena pria itu cukup pintar untuk memahaminya, tanpa dia jelaskan dengan rinci.
"Ada sebuah 'pengiriman' seminggu dari hari ini," ucap Jayden, sikapnya kini berubah, jauh lebih serius dan dewasa, aura dingin pun terpancar dari dirinya dan sorot matanya yang tajam.
Dia selalu memiiliki aura seperti ini setiap kali dia membicarakan organisasi tersebut.
"Kau tahu dimana tempatnya?" tanya Pyro.
"Di sebuah pelabuhan di kota L," jawab Jayden dengan lugas. Richard, keponakan dari ketua organisasi tersebutlah yang telah memberitahukannya akan hal ini.
"Kau yakin dengan informasi tersebut?" tanya Pyro ragu- ragu.
"Tidak," jawab Jayden dengan jujur. Dia tentu tidak akan sepenuhnya mempercayai orang itu, apapun yang dia katakan, tidak ada jaminan kalau dia telah mengatakan hal yang jujur, karena biar bagaimanapun juga, dia tengah menghadapi orang- orang yang sangat licik dan tipu muslihat.
Jayden telah melakukan pengejaran pada mereka sejak lima tahun lalu, semenjak dirinya menduduki kursi di perusahaan Tordoff dan memiliki lebih banyak akses ke berbagai sumber informasi yang dimiliki keluarganya.
"Baguslah kalau kau tidak mempercayainya," gumam Pyro. Karena dengan begitu, Jayden tidak akan menurunkan kewaspadaannya dan membahayakan dirinya sendiri. "Tapi itu adalah sebuah pelabuhan."
Pyro kembali mengingatkan Jayden. Walaupun sekarang dirinya sudah jauh lebih baik, tapi Pyro sangat mengerti akan traumanya terhadap tempat seperti itu.
Jayden tidak menjawab pernyataan itu langsung, dia berpikir sejenak. "Aku akan mengajak Apple."
Kali ini, Pyro lah yang terdiam. Secara professional, dia tentu mempercayai Apple, karena dia mengetahui kemampuan putrinya tersebut dan betapa capable nya dia dalam urusan ini, hanya saja sebagai ayah, dia merasa berat untuk membiarkan Apple berada di garis bahaya, terutama ketika dia adalah anak satu- satunya yang dia miliki.
"Okay," jawab Pyro pada akhirnya. "Tapi aku ingin kau membicarakan masalah ini dengan Apple segera."
"Tentu saja," Jayden menyanggupi hal tersebut. "Aku akan berbicara padanya setelah ini."
Dan setelah itu, Jayden dan Pyro membicarakan mengenai rencana satu minggu lagi nanti selama kurang lebih tiga jam, hingga hari sudah beranjak terlalu malam.
==================
Apple merasa kakinya kebas karena dia terlalu lama berjongkok di depan ruang kerja ayahnya, hanya untuk demi mendengarkan apa yang Jayden dan ayahnya katakan.
Tapi, informasi yang dapat dia dengar, karena mereka cenderung berbicara dengan suara yang rendah, sama sekali tidak sepadan dengan rasa sakit yang dia rasakan karena harus berjongkok terlalu lama.
Dia merasa kakinya mati rasa dan hampir tidak bisa berdiri ketika dia mendengar suara kursi bergeser, yang menandakan kalau Jayden dan Pyro telah selesai berdiskusi.
Dan kini gadis itu merutuki dirinya sendiri karena begitu bodoh untuk mengikuti rasa penasarannya.
Hanya saja, sebelum kaki Apple pulih, dia dapat mendengar suara ketukan di pintu kamarnya dan tidak lama kemudian suara Jayden dapat terdengar.
"Aku tahu kalau kau belum tidur, bisa aku masuk sebentar?" tanya Jayden.
"Tidak," jawab Apple dengan segera. "Aku tidak ingin bicara padamu."
Penolakan Apple yang terang- terangan ternyata tidak membuat Jayden mundur, pria itu justru membuka pintu kamarnya yang tidak terkunci.
Apple merutuk dirinya sendiri karena tidak mengunci pintunya dan membuat dirinya berada di dalam masalah sekarang setelah pria itu melangkah masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu di belakangnya.
"Bukankah sudah kukatakan kalau aku tidak ingin bicara padamu?" Apple memicingkan matanya dengan sebal pada Jayden, tapi dia tidak bisa bergerak ataupun berlari keluar due to her numb feet. Her feet were sleep on her.
"Oh, aku tidak tahu, aku tidak mendengar jelas apa yang kau katakan tadi, maka dari itu aku masuk ke dalam kamarmu untuk memastikan apa yang baru saja kau katakan," jawab Jayden dengan polos.
"Kukatakan kalau kau tidak boleh masuk ke dalam kamarku."
"Well, karena aku sudah masuk ke dalam kamarmu, bagaimana kalau kita bicara?"
Apple tidak mengerti apa yang salah dengan pria ini. Dia curiga kalau mereka berdua sebenarnya berbicara dalam bahasa yang berbeda sehingga terjadi miskomunikasi semacam ini.
"Aku tidak ingin bicara denganmu."
"Kalau begitu aku saja yang bicara dan kau bisa mendengarkan saja."
Apple ingin menutupi wajahnya sendiri ketika mendengar jawaban dari Jayden. Kenapa begitu sulit untuk bicara dengan pria ini.
"Keluar dari kamarku!" seru Apple, dia lalu melemparkan bantal pada Jayden, tapi masih tidak berdiri dari posisinya yang tengah duduk di pinggir kasur.
Sementara itu, dengan tangkas, Jayden menangkap bantal yang Apple lemparkan dan menatap gadis itu dengan sorot mata penuh pengertian, seolah dia tengah menghadapi seorang bocah berusia lima tahu yang sedang throwing thantrum.
Setelah habis semua bantal yang Apple bisa lemparkan, dia hanya bisa menatap Jayden dengan kesal. Kalau saja kakinya tidak kesemutan, tentu saja dia sudah melemparkan Jayden keluar dari dalam kamar.
Sayang sekali, hal tersebut tidak bisa dia lakukan dan kini dia harus bersabar dengan sikap keras kepala Jayden.
"Aku ke sini untuk minta maaf, okay," ucap Jayden memulainya. "Aku tidak bermaksud untuk melakukan hal buruk padamu."
Tentu saja tidak pernah terlintas dalam benak Jayden untuk melakukan hal- hal yang buruk terhadap Apple.
Pyro mungkin bekerja dengan sangat setia pada keluarga Tordoff, tapi bukan berarti dia tidak akan menembak kepalanya kalau dirinya sampai melakukan hal yang aneh- aneh pada putri semata wayangnya.
"Aku tidak berpikir kalau apa yang kulakukan kelewatan." Bagi Jayden, sebuah ciuman di pipi itu bukanlah hal yang berlebihan, dia pernah melakukan hal lebih dari itu dan tidak ada satupun wanita yang melayangkan sedikitpun complain mengenai hal tersebut.
Tapi, seperti yang Apple katakan sebelumnya, dirinya bukanlah wanita yang biasa Jayden temui.
"Bagus kalau kau mengerti," gerutu Apple.
"Jadi, kau mau memaafkanku? Aku berjanji hal tersebut tidak akan terjadi lagi." Jayden mengangkat ke dua tangannya, menunjukkan kesungguhannya atas kata- katanya. "Aku tidak bermaksud buruk, hanya ingin mengusir pria itu."
"I will think about it," jawab Apple dengan ketus.
"That's better." Jayden lalu berjalan mendekati Apple, mengembalikan bantal- bantal yang tadi telah dilemparkan gadis ini padanya. "Kalau begitu sampai ketemu besok?"
"Aku harap aku bisa cuti."
"Kau baru masuk kerja satu hari dan meminta cuti?" Jayden menggeleng- gelengkan kepalanya. "Setidaknya tunjukkan integritasmu."
Apple benar- benar tergoda ingin menendang pria ini…