"Elina!" Aku memanggil Namanya sambil mengetuk pintu rumahnya.
"Ada apa?" tanya Elina tak lama setelah membuka pintu.
"Aku minta tolong bantuanmu. Leticia telah diculik. Aku tak tahu harus berbuat apa," jawabku.
"Masuklah terlebih dahulu. Kita bicarakan terlebih dahulu. Kita tidak boleh gegabah dalam menentukan keputusan," ucap Elina.
Aku pun masuk ke dalam rumahnya. Elina mengajakku ke kamarnya untuk mengobrol seputar kejadian yang tak terduga ini.
"Jadi, siapa yang terlibat di dalamnya," tanya Elina.
"Dia, dia yang waktu itu menyuruhku untuk mencelakai Leticia," jawabku.
"Dia? Ternyata dia tidak menyerah juga untuk mencelakai Leticia. Padahal waktu SMA aku sudah menyuruhnya berhenti," ucap Elina.
"Apa maksudmu? Jangan-jangan kamu-" tanyaku dengan penuh keraguan.
Ekspresi Elina yang tadinya biasa-biasa saja mendadak berubah menjadi marah. Ia lalu berkata,"Apa? Kamu mau menuduhku bahwa aku ikut bersekongkol dengannya? Yang benar saja!"
"Maaf," balasku.
"Terserah," perkataanku dibalas dengan ketus.
"Jangan begitu dong, cerialah," ucapku.
"Lagipula apa-apaan ini ...? Bodoh! Selalu saja Leticia, dalam hal ini, dalam hal itu. Kenapa kamu selalu memperlakukan Leticia selayaknya seorang putri?" balas Elina.
"Elina ... " ucapku.
"Lalu bagaimana denganku? Kenapa kamu selalu saja memperlakukanku seperti itu? Kau ini menganggapku sebagai laki-laki ya?" balas Elina.
"Elina, dengarkan aku terlebih dahulu," ucapku.
"Jangan dekat-dekat denganku!" balas Elina. Ia lalu berjalan keluar dari kamarnya. Aku pun mengikutinya.
Elina berhenti berjalan setelah beberapa langkah keluar dari kamarnya. Ia terdiam. Tak lama kemudian, ia berkata, "Tetapi ..."
"Elina ..." ucapku.
Mendadak, Elina menangis dan memelukku layaknya anak kecil.
"Aku tak mau jauh denganmu. Aku juga ingin diperlakukan seperti Leticia. Aku iri dengannya. Aku mau dekat denganmu, walau hanya sebatas sahabat saja. Aku rindu hubungan kita yang dulu," ucap Elina menuangkan isi hatinya.
Aku terdiam sesaat, lalu berusaha menenangkannya. Seketika, aku teringat dengan ramalan yang pernah dikatakan oleh Arisha. Selama ini aku tak sadar bahwa secara tak langsung aku telah mempermainkan perasaan Leticia dan Elina. Aku juga ingat betul bahwa Arisha berkata bahwa salah satu dari mereka akan terbebani, dan itu adalah Elina. Aku merasa salah atas semua yang telah terjadi. Sekitar tiga puluh menit kemudian, akhirnya Elina menjadi lebih tenang. Kami pun berdiam diri di kamar Elina. Tak ada satupun dari kami yang berbicara, setelah semua yang telah terjadi. Setelah keadaan mulai membaik, Elina mulai berbicara.
"Maafkan aku, tak seharusnya aku berkata seperti itu," ucap Elina.
"Aku juga. Aku minta maaf telah mempermainkan perasaanmu," balasku.
"Tidak. Aku tahu sebenarnya kamu telah jatuh cinta pada Leticia. Hanya saja, aku cemburu. Aku berpikir mengapa aku tidak dari dulu saja mengatakan bahwa aku mencintaimu," ucap Elina.
"Walaupun begitu, tidak seharusnya aku berbuat jahat padamu selama itu," balasku.
"Kita tetap bersahabat, kan?" tanya Elina.
"Ya," balasku.
Kami lalu membahas tentang penculikan Leticia. Aku sempat menyarankan untuk melaporkan kejadian itu kepada polisi, namun Elina menolaknya. Ia berpendapat bahwa keterlibatan polisi dalam kasus ini hanya memperkeruh keadaan. Ia menyarankan sebaiknya aku berhadapan langsung dengannya. Keesokan harinya, aku pun menuju ke tempat yang telah diberitahukan oleh penculik Leticia. Tempat tersebut berlokasi di bawah jembatan dekat taman kota, sebuah tempat yang jarang dikunjungi oleh siapapun. Untuk berjaga-jaga, Elina ikut bersamaku. Sesampainya disana, Aku melihat Leticia sedang diikat dan ada seseorang yang berada di sebelahnya. Sementara itu, Elina bersembunyi di pojok bangunan.
"David! Bodoh, sudah kubilang jangan ke sini, kan?" ujar Leticia.
"Hahaha, mana mungkin aku bisa meninggalkanmu," balasku.
"Berani juga kau datang kemari," ucap si penculik yang merupakan klienku saat SMA.
"Sudahlah, kita bukan bocah SMA yang harus berkelahi untuk menyelesaikan masalah," balasku.
"Berisik," balasnya sambil melayangkan sebuah pukulan padaku. Namun, aku dapat menghindarinya.
Aku membalas kembali pukulannya. Kali ini, aku berhasil mengenai bagian perutnya. Ia menjadi sangat marah, gerakannya menjadi tak terkendali. Tetapi karena aku dapat memprediksi serangannya, aku dapat dengan mudah menghajarnya. Ia kemudian tersungkur di tanah. Aku pun segera menghampiri Leticia. Ketika aku sedang berusaha menyelamatkan Leticia, tiba-tiba seseorang yang lain memukulku dari belakang dengan mengunakan sebuah tongkat kayu. Pukulannya berhasil mengenai tepat di bagian kepalaku. Pandanganku menjadi buram. Kulihat sekitar lima orang sedang berdiri di dekatku, termasuk si penculik. Rasa sakit mendominasi pikiranku, membuatku tak bedaya.
"Bos, mau kita apakan dia?" tanya si anak buah.
"Habisi saja dia," jawab si penculik.
Saat mereka semua akan menghabisiku, kulihat Elina menghampiri mereka berlima.
"Kalian ternyata pengecut ya, beraninya hanya keroyokan," ucap Elina.
"Hei bocah, kau bisa apa?" balas si anak buah yang lain.
Mereka berlima kemudian mulai menyerang Elina. Walaupun begitu, Elina dapat dengan mudah menghindarinya dan menyerang balik mereka semua sekaligus. Semua itu dapat ia lakukan karena ia telah menguasai beberapa aliran beladiri, yang kupercaya tak akan membuatnya kalah. Namun ketika ia lengah, kulihat si penculik berniat akan menusuk Elina dengan pisau. Tanpa basa-basi, aku langsung berdiri dan meninju si penculik di bagian kepala. Ia pun terjatuh sesaat lalu pergi bersama anak buahnya.
"Kerjasama bagus. Mengingatkan saat-saat SMA ya," ucap Elina.
"Ya begitulah," balasku.
Aku kemudian melepaskan Leticia dari ikatan. Ia memelukku dengan erat. Aku pun berkata, "Maafkan aku, karena aku tidak menemanimu hari itu. Aku sangat menyesal."
Leticia tak berkata apapun. Kurasa, ia masih syok dengan penculikan tersebut. Entah apa yang sedang ada di pikiranku, tiba-tiba aku berkata, "Aku tak akan meninggalkanmu lagi mulai hari ini. Mari kita buat sebuah keluaga bersama-sama."
Elina sedikit terkejut mendengar perkataanku, namun sepertinya ia telah memprediksikannya.
"Hahaha, jangan lupa berikan undangannya pernikahan kalian padaku ya. Kalau begitu, nikmati waktu kalian, aku pergi dulu," ucap Elina.
Beberapa bulan setelah itu, Aku dan Leticia pun melangsungkan pernikahan. Aku mengundang semua kenalanku, mulai dari Arwan, Arisha, bahkan Elina. tak disangka, Elina telah menikah dengan seorang diplomat, mendahului pernikahanku dan Leticia. Seusai pernikahan berlangsung, kami semua berkumpul di patiseri milik Leticia dan aku.
"Selamat atas pernikahanmu," ucap Elina.
"Hehehe, untungnya ramalanku yang dulu tak terjadi ya," balas Arisha.
"Ya bagus dong, kalau sampai terjadi kan bisa gawat. Dasar kamu ini," ucapku.
"Ramalan? Ramalan yang mana? Aku jadi penasaran," balas Leticia.
"Lupakan saja," ucap Arisha.
"Oh ya. Aku mau mengatakan sesuatu padamu. Ini mengenai pekerjaan di patiseri milikmu. Untuk dua tahun ke depan, sepertinya aku tertarik untuk bergabung," ujar Elina.
"Wah, syukurlah kalau begitu. Tadinya kukira aku dan David akan menjalankan usaha itu sendirian," balas Leticia.
"Ya mana mungkin aku membiarkan seperti itu. Lagipula, aku kan memang sekarang sedang tidak ada kerjaan juga. Suamiku pun masih bekerja di kota ini, jadi aku tak akan kemana-mana," ujar Elina.
"Hahaha senangnya," ucapku.
Sejak saat itu, aku, Elina, dan Leticia bekerja di patiseri seperti biasa. Elina mengurus cabang patiseri yang ia beri nama Chocolate Patisserie. Ini berlangsung selama dua tahun, sebelum akhirnya Elina berhenti karena suaminya akan pergi ke luar negeri untuk bertugas.