~Biarlah kesendirian menjadi bukti kehidupanku~
-
-
-
-
-
-
-
⭐⭐⭐
Dilahirkan dengan ketidakikhlasan. Manusia yang tak diinginkan. Dan tujuan hidup yang entah aku akan bawa kemana.
Hidupku hancur. Duniaku kelam. Mati segan hidup tak mau. Itulah peribahasa yang cocok untuk menafsirkan kisah singkatku ini.
Bagai suatu hal yang kebetulan. Dunia pun seakan mengombang-ambing hidupku. Itulah sebabnya aku diberi nama Asefan Septemberia yang entah diberi nama oleh siapa. Terlihat seperti cowok emang, kelakuan ku juga sama seperti cowok-cowok berandalan di luaran sana yang bahkan kisah hidupnya jauh lebih beruntung dari pada aku. Mungkin orang yang memberi nama itu tahu, hidupku dituntut untuk menjadi tangguh bukan seperti cewek manja diluaran sana.
Aku juga tak tahu apa arti nama itu. Yang aku yakini mungkin aku dilahirkan di bulan September yang penuh dengan sukacita. Tapi nyatanya hidupku tak seindah namaku.
Aku tinggal dalam lingkungan rakyat rumah kardus. Tumbuh besar di pangkuan orang yang tak dikenal. Dan dialah yang mengajarkanku untuk menjadi orang yang tak kalah demgan dunia yang kejam ini. Dengan mereka aku merasa tak sendiri. Dengan mereka, aku belajar bahwa hidup benar-benar butuh perjuangan dan kesabaran. Dan dari mereka, aku juga mulai merasakan rasa sakit setiap kali menatap bintang cerah di langit sana.
Aku adalah seorang pengamen. Aku tak punya pekerjaan. Bagiku, hari ini bisa makan pun sudah nikmat yang lebih indah. Bersama anak-anak jalanan, aku mewarnai hidupku yang kelabu. Dan cukup hanya dengan mereka, aku bahagia.
Hari ini masih hari yang sama, aku pergi mengamen, makan bersama anak-anak jalanan, kemudian bermain bersama mereka. Sesimpel itu hidup yang ku jalani.
Hari mulai sore. Aku harus kembali pulang. Hari ini sudah cukup, dan esok aku harus berjuang lebih keras untuk hidupku yang tak berguna ini.
Malam telah tiba. Syukurlah bintang tak ada. Aku harap hujan pun tak turun. Tapi, keadaan memang tak pernah kita duga. Aku tersenyum sinis, takdir baik memang tak pernah berpihak padaku.
Genangan air mulai membasahi rumahku. Apalah arti rumah dari kardus? Tapi tak apa, aku terlalu biasa menikmati hariku yang seperti ini.
Semua keadaan terburuk telah aku alami dan itu tak membuatku berhenti sampai semua teka-teki ini aku simpulkan.
Aku memandangi sebuah syal yang aku diterima sejak kecil. Syal itu bertuliskan Ismi.
Aku selalu bertanya dalam hatiku, apa itu namaku? Nama yang diberikan oleh orang tua ku?
Hanya syal itu yang aku punya sebagai awal pencarian ku. Aku bukan ingin mengubah takdirku, aku hanya ingin mengetahui alasan orang tua ku yang membuang anaknya sendiri, bertahan hidup di pangkuan orang lain, dan harus merasakan kerasnya hidup yang ku jalani.
Aku tak berharap, dengan bertemu mereka aku bisa bahagia. Karena bagiku, meratapi hidupku yang kelabu sudah cukup membuat ku menikmati hidupku.
Aku hanya ingin tahu, apa salah seorang anak sampai mereka tega menelantarkanku sendirian?
Sudah cukup. Aku tak mau membuang waktu ku untuk meratapi kesedihan ku. Aku menghembuskan nafas kasar. Duduk di pojok kanan kardus yang belum basah. Sepertinya besok aku harus membuat rumah baru, karena kardus-kardus ini telah basah dan tak bisa untuk di huni lagi.