Tara bolak-balik di kamarnya, dia berjalan menuju pintu, hendak membukanya, tetapi niatnya diurungkan oleh dirinya sendiri karena dia yakin tak akan mendapatkan ijin dari ayahnya.
Dia menyesal kenapa harus setuju dan membuat Beni senang dengan janjinya untuk menemani pria itu menghadiri pesta ulang tahun, Radian, teman SMA mereka juga.
Dia memang tak bertemu, tapi Beni bilang Radian terburu-buru sehingga dia menitipkan pesan kepada yang masih ada di sana agar datang ke acara ulang tahunnya di sebua cafe yang cukup terkenal.
Beni bahkan menyarankannya untuk menanyakan langsung ke Bimo, tapi tentu saja langsung ditolak Tara, dia ahirnya menghubungi Hani, tetapi temannya itu tak menyalakan ponsel, jadi tak ada yang bisa menjawabnya.
Tara menggigit kuku jariinya untuk menghilangkan kegugupan yang menumpuk sejak dua hari yang lalu. Setelah dia keluar dari mobil Bimo, sang Ayah tampak tak menyukai pria itu. Buktinya dia segera menyebut nama Bimo, dan menanyakan kenapa dia tak diantar oleh pria itu, hal itu sama sekali tak menyenangkan. Dikontrol dan tak enak bergerak.
Untunglah Beni tak tersinggung dan berusaha dekat dengan berkata kalau dia dan Tara cukup akrab di masa sekolah, walaupun tak mendapat reaksi yang diinginkan, setidaknya sang Ayah tak menginterogasinya lebih jauh.
Tara sudah memakai baju yang diadia persiapkan, sekarang dia tidak bisa menunda lagi untuk tak keluar, jadi dengan keberanian yang entah datang dari mana, dia malah memutuskan keluar dari jendela kamar, meskipun resiko tinggi juga.
"Gue pasti bisa lewat jendela," gumam anita itu sembari melepas sepatunya agar tak terdengar suara saat melompat.
Dia juga mengalungkan tasnya di leher, dan melipat sedikit dress-nya yang kepanjangan.
Tara membuang napas berkali-kali, tak lama kemudian melangkahi jendela yang tingginya di atas pingganya sedikit.
Ketika sebelah kakinya sudah bisa menapaki lantai, kaki yang lain tak bisa bergerak karena bajunya turun dan dia tersangkut.
"Aduh! Gimana, ini." Kepanikan menguasai Tara, dia sampai menarik-narik gaun yang bisa saja sobek, tapi kejadian dari sobek lebih parah datangnya karena dia terjatuh dalam posisi miring, kepalanya terbentur lantai, untunglah tidak terlalu keras.
Wanita itu mengaduh, tetapi masih ingat untuk tetap diam dan menutup mulutnya dengan tangan, daripada semua usahanya untuk keluar malah sia-sia karena di dengar orang tuanya.
Tara sudah memesan ojek online, dia tak mau memperlambat waktu menunggu mobil jemputan yang bisa saja terjebak macet.
Karena sudah berhasil keluar, sekarang dia ada di teras, wanita itu terburu-buru keluar rumahnya, dia membuka slot kunci pagar juga dengan perlahan. Tingkahnya mirip sekali pencuri yang mau menggasak barang berharga.
Tara memegang dadanya yang mendadak sesak karena menahan ketakutan, kemudian dia memaki sepatu dan segera berjaalan menuju titik jemput yang dia setting di depan komplek.
Hanya satu yang Tara lupa lakukan adalah mengecek apakah Bimo ada di rumahnya atau tidak, karena Bimo yang sedang menikmati kopi sambil memetik gitar di sore hari itu, melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Tara yang menggunakan baju tidak santainya itu mengendap-endap keluar.
Bimo meletakkan gitarnya sembarang, kemudia menyambar jaket di belakang pintu kamar dan segera turun ke lantai satu, menuju motor kesayangannya. Rasa ingin tahunya membuncah, dia mau melihat ke mana Tara ingin pergi dengan gerak-gerik anehnya yang bisa ditebak tak biasa itu.
Saat mengeluarkan motor, rupanya Bimo bertemu dengan Ayahnya Tara yang sedang keluar membawa kotak sampah.
"Mau ke mana, Bim? Udah sore gini."
Bimo kaget, dan dia tersenyum kikuk.
'Biasalah, Om, malam mingguan. Tara juga, kan?" Sekalian saja dia mau mengetes apakah tetangganya itu tahu ke mana sang anak pergi.
"Waduh, kamu kayak gak tahu Tara aja, dia sukanya nyantai di kamar, dari tadi gak keluar-keluar."
Bimo sudah yakin seratus persen, kalau Tara tidak ijin, dia semakin semangat membuntuti wanita itu demi mencari tahu apakah benar yang dikatakan Meisya kemarin kalau Beni menyukai Tara dan hendak menyatakan cinta kepadanya.
"Kalau begitu, saya pergi dulu, Om."
"Oke, hati-hati, Bim!"
Bimo tancap gas, berharap tak kehilangan jejak Tara yang kemungkinan sudah jauh.
Gasnya dia pacu secepat mungkin. Bimo menghela napas lega saat dia menemukan Tara yang sedang berdiri di depan komplek, lalu ada pengendara yang menggunakan jaket ojek online mendekatinya dan membawa wwanita itu pergi dari sini.
Bimo tak tinggal diam dan terus membuntuti, dia berusaha menjaga jarak, karena sudah tahu Tara sangat hapal dengan motornya.
***
Degup jantung Tara tak bisa diam setelah dia akhirnya bisa keluar rumah, tetapi hatinya terasa tak tenang karena dia sudah berbohong.
Setelah sampai di tempat tujuan, dia tak menyangka kalau Beni bilang tak jadi menghadiri acara pernikahan karena dia lupa kalau acara itu bukan hari ini. Padahal itu akal bulusnya saja, dia memang sengaja mengajak Tara ke sebuah restoran mewah.
"Sorry banget, ya, Tar, gue terlalu semangat mau ajak lo pergi sampai lupa kapan. Baru ingat pas liat jadwal," Beni berkata seperti itu saat menggeser kursi dan mempersilakan Tara duduk.
Tara menggeleng dan dia tetap tersenyum setidaknya kepergiannya tak sia-sia, Beni mengajaknya candle light dinner di tempat yang sanagt mewah, dan tidak banyak orang di sini, dia menyukai suasana seperti ini.
"Gak apa-apa, kok, Ben, santai aja."
Beni mengangkat tangannya dan mulailah seorang pelayan menyajikan makanan pembuka mereka, yang sudah dipesan oleh pria itu sehari sebelumnya.
"Seenggaknya aku berharap bisa hibur kamu denga mengajak ke sini."
Tara lagi-lagi tak bisa mengendalikan senyumnya yang hampir saja membuatnya tak bisa mengendalikan ekspresi wajah saking senangnya.
Mereka menikmati makan malam dengan sangat khidmat. Sampai di makanan penutup, Beni lebih dulu ijin ke toilet, padahal dia bekerja sama dengan pelayan untuk memberikan sedikit bubuk di minuman yang akan membuat Tara mengantuk setelah meneguknya.
Sementara itu, di luar, Bimo masih saja berdebat oleh seorang security yang melarangnya masuk. Selain tak ada pemesanan meja, Bimo juga tak memenuhi kriteria untuk masuk ke dalam restoran. Dia hanya memaki celana pendek, jaket kumal dan sandal jepit.
"Pak, di dalam sana teman saya lagi dalam bahaya!" Bimo seperti orang yang sedang kerasukan, dia melihat dengan jelas Beni memegang pinggang Tara dengan erat saat masuk, itu berarti hubungan mereka sedang menanjak lebih jauh.
Bimo tak mau Tara hanya jadi pelampiasan Beni yang mau balas dendam dengannya.
"Gak bisa, Mas. Anda tak memenuhi kriteria untuk masuk, silakan pergi dari sini!"
Bimo berjalan menjauh, dia memutuskan menunggu di luar, sebelum Tara keluar dari sana, dia tak akan pernah angat kaki dari sana.
Sekitar setengah jam kemudian, Tara dan Bimo keluar dari sana, tetapi kedaan Tara tak bisa dikatakan baik, dia terlihat lemah dengan cara berjalan yang sempoyongan.
Di sampingnya Beni, berkali-kali merangkul Tara yang bersikeras bangkit meskipun dia tak sanggup.
Bimo mendekat dan bersiap menghampiri Beni, tetapi dua orang pria bertubuh kekar menghalanginya, rupanya Beni sadar kalau dia diikuti Bimo.
Oleh karena itu, dia meminta bodyguard di restoran itu untuk mengawalnya sampai ke mobil.
Bimo tak tinggal diam, dia segera kembali ke motornya dan mengendarainya menyusul Beni yang mulai mengebut menuju ke suatu tempat di mana dia bisa melakuan apa pun ke Tara.
Hal yang lama dia ingin lakukan sebagai ajang balas dendam ke Bimo kalau dia tak bisa melindungi Tara selamanya.