Bimo tak mau tinggal diam, dia berusaha meninggalkan tempat itu dan bergegas menyusul meskipun tak tahu akan terkejar atau tidak. Namun, dia akan terus berusaha demi menggagalkan apa yang akan Beni lakukan.
Pria itu memacu motornya sekencang mungkin sambil memperhatikan nomor plat mobil yang ada di sekitarnya, dia hapal plat mobil milik Beni.
Sementara itu, di dalam mobil Tara memegangi kepalanya, dia merasa sakit dan pusing sekali waktu. Mulutnya mendesis dengan tangan yang memegangi kepala. Berusaha bangun tapi kembali limbung karena tak ada kekuatan yang bisa menahan gerakannya.
"Kenapa?" tanya Beni, dia mengelus pipi Tara dengan punggung tangan.
Tara dengan sisa tenaganya mencoba menepis apa yang dilakukan pria di sampingnya.
"Apa yang terjadi, kenapa aku pusing? Kita juga mau ke mana, antar aku pulang ... aku, mau pul-lang." Tara kembali merasa melayang, kepalanya dan tubuhnya terasa enteng seperti terombang-ambing.
Bukannya menjawab, Beni terus memacu laju mobilnya sambil bersiul kesenangan. Balas dendam kali ini akan terasa menakjubkan. Dia tak sabar melucuti semua benang yang menutupi tubuh Tara yang sangat menarik kali ini.
"Ya, kita akan segera pulang. Tapi, ke tempat di mana hanya ada aku dan kamu, Tar. Ini yang kamu mau sejak kita SMA, kan? Aku tahu, kamu pasti suka nanti."
Beni kemudian kembali menghubungi seseorang.
"Lo berdua atur Bimo sampai nemuin tempat gue sama Tara, jaga jangan sampai dia masuk sebelum waktunya!" Beni menutup sambungan dan kembali bersiul.
Tara tak bisa mendengar dengan jelas, dia sedang bingung kenapa tak bisa mengontrol gerakkannya sendiri.
Bimo belum bisa menemukan di mana mobil Beni, dia tak mau menyerah, meskipun langit malam bertambah mendung. Kilat juga terlihat beberpa kali mengakar di langit.
Napas pria itu memburu, dia tak menyangka kalau Beni bisa sedendam ini kepadanya, bahkan apa yang dia lakukan tak berpengaruh apapun kepada pria itu. Dia kesal sekali dan hendak memaki.
Bimo mencoba menenangkan dirinya, menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Mencoba menganalisa kalau Tara yang dalam keadaan tak sadar penuh itu sempoyongan, kira-kira kemana Beni akan membawanya.
Ke rumah tak mungkin, dia bisa dihabisi saat itu juga dengan orang tua Tara yang memang tak menyukainya, Bimo tahu itu.
Pria itu yakin satu tujuan, hotel atau apartemen terdekat. Penginapan murah pun bisa dipilih Beni demi menganiaya Tara dan membuat luka buat wanita itu.
Bimo tak tahan dengan pemikirannya sendiri, dia bisa membayangkan apa yang terjadi jika Tara mengalaminya dan Beni dengan mudahnya membawa namanya sebagai alasan terkuat. Tara pasti semakin hancur.
Bersamaan dengan itu dia baru sadar kalau pria yang menahannya tadi, kini mengapit laju motornya dan memaksanya untuk terus melaju. Dia harus membebaskan diri.
***
"Jalan sebentar, awas ada bangku, kamu tiduran di sini dulu, ya. Aku mau mandi."
Tara dan Beni sudah sampai di tempat tujuan, dia duduk dan bisa lebih menguasai diri ketika tubuhnya diterpa angin malam saat turun dari mobil Beni.
"Kenapa kamu mandi, kenapa aku di sini, kenapa kita ada di kamar ini?" tanya Tara, dia memegang tangan Beni yang hendak meninggalkannya.
Beni yang mendengar cecaran pertanyaan Tara tak bisa lagi menahan emosinya yang meluap, dia melepas genggman tangan Tara, kemudian segera mengendurkan dasi, dan membuka kancing kemejanya serta melepas jasnya.
"Oh, jadi kamu udah gak sabar nunggu aku mandi, kamu mau kita langsung saja sekarang?" tanya Beni dengan seringainya yang tampak menyeramkan.
Tara terancam dan dia berharap bisa keluar dari kamar, tetapi apa yang bisa dia lakukan saat tubuh Beni sudah ada di atasnya, tersenyum menyeramkan dengan tubuh atas yang sudah terbuka.
"Apa yang ada di pikiran kamu, Beni! Lepasin aku!" Tara melindungi tubuhnya sendiri dari sentuhan tangan Beni yang mulai bergeriliya menggerayanginya.
"Udahlah, Tara, aku yakin kamu mau melakukan ini sama aku sejak dulu, kan? Kamu cuma malu aja sama si Bimo yang selalu ngalangin kita."
Tara terus menepis tangan Beni yang ingin memegang bagian tubuhnya.
Wanita itu dikuasai panik, keringat mengucur dengan keadaan tubuh yang semakin tak mendukung, dia pening, kepalanya berdenyut.
"Please, Beni!" Tara tak sanggup berkata-kata lagi, ini terlalu menakutkan baginya, dia mau pergi dari sini. Dengan sisa tenaganya, Tara mengubah posisi jadi merangkak, menuju ke sisi kasur yang kosong.
Beni semakin tertantang, dia sengaja tak menghentikan apa yang dilakukan Tara. Itu semua hanya kesia-siaan yang menjadikan dirinya semakin bersemangat.
Saat Tara sudah sampai di ujung dan bersiap turun sembari terus berusaha mempertahankan kesadarannya yang kembali memudar. Beni dengan mudahnya menarik kaki Tara hingga dia tertelungkup. Dengan kekuatan penuh, Beni menarik tubuh Tara hingga seprei ikut tergulung dan penampakan tempat tidur jadi acak-acakan.
Tara mengeluarkan air matanya berharap ada yang mau menolongnya di sini, dia hanya ingin pulang.
"Tolong lepasin gue, Ben. Gue janji gak akan lapor ke polisi atau keluarga gue, yang penting lo berhenti ngelakuin ini, Ben," ucap Tara dengan suara yang bergetar. Dia memohon dengan sangat.
"Jangan banyak omong!" bentak pria itu.
Beni membalikan tubuh Tara, dia melucuti pakaian wanita itu dengan kasar.
Tara menepis, menampar dan mencakar semua bagian tubuh Beni yang bisa dia raih, tetapi tenaganya yang tak bisa kuat, membuat Beni semakin bernapsu melakukannya.
"Siap gak siap, kamu harus siap buat semuanya, Tara, asal kamu tahu, Bimo yang bertanggung jawab atas semua yang aku lakuin sekarang ke kamu. Dia yang kasih jalan ke aku untuk balas dendam ke kamu, dia benci kamu!"
Tara semakin berontak. "Enggak! Dia gak jahat kayak kamu. kamu pasti bohong. Lepasin aku!"
Beni sudah tak bisa mendengar dan berkonsentrasi lagi, dia melihat Tara yang sudah hampir polos.
Beni mengangkat tubuhnya lebih tegak, bersiap melakukan apa yang dia rencanakan sejak awal.
Tara yang putus asa kembali mendapat harapan baru ketika dia melihat sosok Bimo di belakang Beni. Bimo menempelkan telunjuk di bibirnya, dia membawa balok kayu yang tak terlalu besar dan tanpa ragu menghantamkannya ke punggung Beni.
Beni memegang punggungnya dan dia melihat Bimo sedang menatapnya, Beni merasakan sakit luar biasa diikuti dengan kepalanya yang pening sekali. Dia limbung dan terjatuh di lantai kamar.
Bimo melihat Tara yang sedang menangis, dia segera mengambil selimut dan menutupi tubuh Tara yang hampir polos.
"Ada gue, Tar, lo aman!" Bimo menunduk hendak mengambil baju Tara yang berserkan di lantai, dan tanpa sadar kalau orang yang memang sejak tadi ditugaskan menjaga keamanan Beni, sudah berdiri di belakamg Bimo.
Tara mengira kalau itu adalah orang suruhan Bimo atau teman pria itu, tetapi dia salah ketika Bimo bernasib sama dengan Beni, dihantam hingga tak sadarkan diri.
Tara pun tak luput dari mereka, yang wanita itu ingat adalah ketika dia melihat salah satu pria kekar dengan rambut yang berwarna merah, membekapnya dengan sapu tangan yang membuatnya tak mengingat apa pun lagi setelahnya.