Bram dan Nina saling melihat satu sama lain, di meja makan yang sudah tersaji hidangan spesial. Nina sudah biasa menghidangkan berbagai macam makanan kesukaan anak dan suaminya tercinta, khusus akhir pekan, agar mereka semangat untuk makan malam dan bisa bercerita banyak hal sebelum besok beraktivitas lagi dengan kegiatan masing-masing.
"Aku panggil dulu, ya, mungkin dia ketiduran, hari ini kayaknya harinya berat kalau aku dengar cerita dari kamu, Mas." Nina beranjak dari kursi.
"Okke, ajak dia makan, jangan sampai tidur dengan perut kosong, ya, tumben banget anak itu gak keluar-keluar dari pulang diantar laki-laki kurang ajar itu.
Nina segera berjalan menuju sisi kanan, kamar tidur putrinya yang terkunci rapat.
Nina mengetuk pintunya. "Sayang, tolong bukain pintunya, ya, kita makan malam dulu, yuk, nanti masakan Bunda dingin kurang enak dimakannya, lho." Suara Nina cukup keras diiringi ketukan pintu yang sejak tadi tak dijawab oleh sang putri.
Nina kembali ke meja makan, dia menatap suaminya dengan sorot matanya yang teduh. Ada rasa khawatir yang membuat dia tak bisa tenang.
"Gak biasanya anak kita kayak gini. Dia pasti paling depan kalau udah makan malam. Kamu juga pasti tahu, kan?" Nina terlihat semakin gusar. "Kira-kira apa yang terjadi di pernikahan Hani, sampai Tara jadi pendiam seperti itu?" tanya Nina
Bram mengangguk. Dia memegang tangan istrinya, pria itu berkata, "Kita buka aja pakai kunci serep, kamu ambil dulu, biar kita masuk bersama ke kamar Tara, mungkin aja dia ketiduran. Tadi memang aku lihat dia agak lelah."
Nina mengangguk dan segera berjalan ke dalam kamarnya, mengambil kunci serep di dalam laci kamar. Hati wanita itu sangat kalut. Tidak biasanya dia merasakan hal yang seperti ini sebelumnya.
Bahkan saat melihat Tara berkelahi dengan Bimo sekalipun di depan matanya, dia tak pernah merasa seperti ini.
Setelah menemukan kunci yang dia cari, Nina melangkah cepat menuju ke depan kamar Tara. Dia mendapati Bram memanggil anaknya dan mengetuk pintu.
Bram terlihat menggeleng tanda dia tak berhasil sama dengannya.
Nina memasukkan kunci ke lubangnya dan memutar dengan gerakkan yang super cepat, dia tak tahan lagi melihat keadaan putrinya di dalam kamar sedang apa.
Bram mengikuti dari belakang. Mereka melihat keadaan kamar Tara sangat gelap, lemari bajunya terbuka sedikit, dan jendela kamarnya juga tak terkunci.
Ranjangnya masih tertata rapi dengan selimut yang terlipat, ini adalah tanda kalau Tara belum menggunakannya sama sekali. Ac masih menyala. Tara bukan orang yang teratur seperti ini, dia akan meninggalkan kamarnya jika sudah selesai memastikan semuanya normal dan benda-benda terletak pada tempatnya.
Bram mengambil inisiatif dengan memeriksa kamar mandi, dia melihat segala sudut, lalu berjalan mendekati bathub yang tertutup gorden.
Sejak tadi pria itu menyayangkan sikap panik Nina, tetapi kini dia yang diserang perasaan itu. Jantungnya bertalu kencang, sepertinya akan meledak sebelum dia benar-benar sampai di gorden dan menyibak kain itu hingga terlihat apa isi bathub.
Hingga Bram sampai, dia merasa tubuhnya tak bisa berdiri dengan benar. Bram menarik napas dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Kemudian dia menyibakkan gorden dengan perasaannya yang campur aduk, serta tatapan mata yang sudah berembun dan samar karena air mata mulai membasahi pelupuk matanya.
Tidak ada apapun saat gorden itu terbuka, hanya ada bathub yang masih bersih tanpa sisa air sedikitpun. Entah apa yang ada di pikirannya, dia sudah berpikiran yang macam-macam tanpa dasar.
Bram berpikir kalau anaknya sedang tertidur di bathub dengan keadaan yang tak bisa dia bayangkkan lebih jauh lagi.
Bram segera menghampiri Nina yang sedang memegang ponselnya dan menghubungi nomor Tara, teteapi kemudian Nina menghentikan apa yang dia lakukan karena ponsel Tara sepertinya mati.
"Ke mana Tara, kenapa dia seperti ini, gak biasanya kita kayak gini nyariin dia."
Nina melemas, dia duudk di pinggir ranjang. Bram mendapatkan ide yang cukup cemerlang.
Pria itu menarik istrinya dan segera melihat ke cctv yang ada di rumah mereka, letaknya ada di kamar mereka.
Nina juga baru tahu dan dia sudah kehilangan banyak tenaga serta rasa kecewanya Tara tanpa tahu menuggu.
Bram mengotak-atik sebenar dia sendiri yang melakukannya hingga tampilah kejadian sebelum mereka mendapati kamar Tara kosong tak berpenghuni dengan kunci kamar yang terjatuh di lantai.
"I--ini, benar anak kita, Mas?" Nina bertanya ddengan rasa yang tak menentu.
Mereka melihat Tara berjalan terburu-buru keluar dengan kepala yang sering melihat ke arah pintu rumah.
"Tara sengaja pergi tanpa ijin kita, Mas. CCTV ini buktinya. Apa yang terjadi sama putri kita. Apa yang kita lewatkan sampai dia kayak gini?"
Bram terlihat berpikir, dia merasa melewatkan sesuatu, hingga tampilah gambarnya yang keluar beberapa saat setelah putrinya keluar
Tampak berbincang dengan seseorang yang tak terlihat. CCTV tak menyorot ke arah jauh.
Akan tetapi, mereka tentu mengenal siapa pengendara motor yang tentu sudah pasti adalah Bimo.
Bram tanpa berkata apa pun seperti menemukan puzzle hilang yang dia cari. Pria itu bangkit dari kursi dan dia segera bergerak cepat meninggalkan kamar.
"Mas, ada apa? Kenapa kamu kaya gini?" Nina berlari mengikuti suaminya.
Bram mengecek apakah ada motor Bimo di halamannya. Dia sampai menaiki pagar demi memastikan apa yang dia pikirkan benar atau tidak.
Nina menarik ujung kaus suaminya, hingga pria itu sadar kalau dia telah melewatkan Nina.
"Maaf, aku hanya memastikan kalau apa yang kupikirkan itu benar."
"Memang apa?" tanya Nina.
"Bimo pergi bersama Tara. Kalau kita putar jam saat Tara pergi di rekaman CCTV tadi, tak lama kemudian aku keluar, kan?"
Nina mengangguk sebagai respons.
"Gak lama, Bimo juga keluar. Dia keliatan sama terburu-buru kayak Tara. Lalu aku nanya dia lagi ngerjain apa. setelah itu Bimo ijin pergi dan terlihat sangat buru-buru, mungkin dia tahu alasannya dan sekarang dia belum telepon sama sekali."
Nina semakin takut. "Mereka sering bertengkar, Apa urusannya pergi berdua?"
Bram segera menarik ponsel di saku, dan berusaha hubungi nama polisi, tetapi dia sepertinya tak perlu melakukan itu ketika melihat sebuah foto yang membuat jantungnya hendak turun ke lambung.
Pria itu meremas ponselnya dan memperlihatkan ke Nina, sang istri bereaksi sama, tapi dia menangis lebih kencang saat ini.
***
Di hotel, kedua sejoli musuh bebuyutan itu tak sama sekali bergerak hingga jam menunjuk angka delapan pagi, staff hotel yang melihat keanehan tadi malam memberanikan diri dan masuk ke dalam kamar karena harusnya mereka sudah meninggalkan hotel.
Lupakan masalah chek out, pemandangan tadi malam, saat Beni digotong dua orang pria kekar, serta sebelumnya ketika Bimo mengamuk minta masuk, itu saja jadi bukti.
Hotel dengan jumlah pengunjung sedikit itu, seperti sudah direncanakan.
Pria tinggi itu masuk ke dalam hotel dan nemukan Tara serta Bimo yang tidur dengan baju sudah terlepas dari badan.