Seorang pria suruhan Beni sedang melaksanakan semua pekerjaan dari bosnya tersebut. Dia memastikan kalau pihak hotel yang diajak kerja sama, tidak membuat kesalahan dalam menyembunyikan rekaman CCTV dari kedatanagn Beni bersama Tara yang kemudian disusul oleh Bimo.
Rencana Beni yang sempat dia pikir gagal karena dua bodyguard-nya datang terlalu cepat, membuat pria itu bisa sedikit tersenyum ketika dia melihat kehebohan orang-orang yang ada di komplek tempat tinggal Tara serta Bimo.
Dia merasa terbantu dari kegegeran yang disebabkan dari pengepungan orang-orang tersebut tepat di depan rumah Bimo.
Salah satu teman SMA mereka memang tinggal di sana juga, walaupun tak begitu akrab, setidaknya dia ada di group chat yang sama.
Rencana Beni untuk menjebloskan Tara dan Bimo dalam masalah besar berhasil. Sekarang dia bisa bernapas lega dan mendapatkan ketenangan setelah bertahun-tahun memendam dendam akibat perlakuan Bimo yang menodai masa SMA-nya hanya karena Tara yang menyukainya.
Dia bisa menepuk dua lalat sekaligus. Menjadikan mereka sebagai bahan pergunjingan semua orang, termasuk teman SMA, meskipun Hani memebela Tara dan Bimo mati-matian, tetapi dia kalah jumlah, bahkan para teman Bimo yang terlihat akrab sekalipun tak bissa membela sahabat mereka.
Mereka memilih menutup mulut rapat-rapat atau kena bully dari semua orang yang terlanjur membenci melihat kelakuan dua musuh yang terlihat bejat.
Orang suruhan itu bertemu dengan pemilik hotel dan menyerahkan uang yang dikirimkan Beni untuk menghapus rekaaman dan beralasan kalau benda itu rusak jika ada yang menyelidiki kasus ini.
Keadaan Hotel yang tak terlalu lama, membuat orang itu gelap mata, lalu menerima Beni yang mau kerja sama, toh masalah ini sudah direncankaan Beni. Dia bilang kalau ini semua hanya upayany menyatukan Tara dan Bimo.
Beni berpura-pura meyakinkan pemilik agar tidak terus berasa bersala dengan kejadian yang sudah terjadi. Agar dia tak kehilangan kesempatan yang sudah dibuat, demi melancarkan semua usahanya yang dia rancang mendadak kemarin. Untunglah orang itu bisa menerima alasan yang Beni ucapkan.
Pria itu meninggalkan hotel setelah melihat bukti dari rekaman yang dihapus. Setelah berjabat tangan dengan erat dia berjalan menjauh.
Saat di parkiran dia melihat mobil ugal-ugalan yang melewatinya, hampir saja kendaraan roda empat itu menyambar tubuhnya jika dia tak cepat mundur dan menghindar.
Pria itu segera masuk ke dama mobil dan tancap gas memberikan laporan pekerjaannya dengan Beni.
Mobil ugal-ugalan itu sudah bisa ditebak adalah milik Adi. Empat orang tersebut sudah sampai di alamat hotel tempat anak mereka berbuat hal memalukan.
Hani dan Wita berlari hingga sampai di resepsionis mereka menanyakan anak-anak mereka, tadinya tak diberi tahu, tetapi kebetulan owner yang sudah mendengar perintah agar mempersilakan saja jika ada yang mengaku sebagai orang tua tamu yang Beni maksud sudah datang, lebih baik dipersilakan saja.
Bram dan Adi juga datang menyusul dan mengikuti istri-istri mereka mengikuti arahan petugas hotel menuju ke kamar Tara serta Bimo.
Keempat orang yang dikuasai kepanikan tersebut, kini sudah sampai di depan kamar yang pintunya tak tertutup sempurna.
Nina yang sudah kehabisan kesabaran, segera mendorong pintu tanpa aba-aba, dia berlari dan melihat seorang petugas hotel sedang melihat ke sisi ranjang sebelah kanan, sedangkan di atas ranjang tak ada siapapun.
Bram dan Adi sudah berlari menuju ke sisi ranjang yang mereka curigai.
"Ada apa di sana?"
Kedua pria itu sangat kaget ketika melihat Tara dan Bimo dalam posisi yang sangat mengejutkan.
Bram panas, mendadak darahnya naik dan kepalanya pusing. Matanya belum rabun, dengan jelas dia melihat putrinya ada di atas tubuh Bimo.
Ini memang sedikit kasar, tetaapi daripada emosinya semakin memuncak, dia segera menarik Tara dengan sekali hentak. Tara kaget, dia yang sejak tadi kesusuahan bangun akibat belitan selimut bisa dengan mudah berdiri dengan tarikan sang Ayah.
Selimut tetap dia pegang dengan erat agar tak terjatuh. Bimo juga ikut bangun dengan kaus yang belum dia pakai dengan sempurna, baru saja masuk sebelah tangan. Bawahnya jga hanya memakai celana boxer.
Adi maju, tadinya berniat mau mendengarkan alasan dari Bimo terlebih dahulu agar anak itu tetap ada hak menjelaskan, tetapi kemarahannya merenggut akal sehat Adi. Dia dengan tanpa aba-aba, melayangkan tangaannya ke pipi putra semata wayangnya dengan keras.
Wita mengepalkan tangan, dia mendengar suara tamparan dari tangan suaminya. Biasanya dia marah kalau Adi main taangan, tetapi kini suaranya sama sekali tak bisa keluar sepatah kata pun. Wanita itu juga sama kecewanya, bahkan lebih dari siapa pun.
Bimo menundukkan kepalanya dia tidak tahu kenapa masalah ini bissa besar dan kedua orang tua mereka jadi salah paham. Otak Bimo mendidih, meyakini Beni yang menjadi penyebabnya. Dia hanya butuh menjelaskan pelan-pelan ke Adi dan Wita, setelah itu memberi pelajaran kepada Beni.
"Kita bicara di rumah, ganti baju kalian. Kami tunggu di luar," ucap Bram.
Tidak ada yang menambahkan apa yang dikatakan Bram. Semua orang kecuali Bimo dan Tara meninggalkan kamar hotel.
Mata Tara berkaca-kaca, Bimo berusaha tenang.
Setelah mereka sudah lengkap berpakaian, Tara dan Bimo tak langsung keluar. Mereka mau diskusi sebentar, tetapi isi kepala mereka terasa buyar. Pikiran mereka melanglang buana menebak-nebak apa yang mereka mau lakkukan dan menjelaskan dari mana.
"Ini semua rencana si Beni, Tar. Lo pasti tahu, gak mungkin gue. Lo liha sendiri, kan apa yang gue lakukan dan usahakan buat nolong lo?" ucap Bimo, ketika dia melihat tatapan mata penuh rasa curiga dari Tara.
"Iya gue tahu, Tapi kenapa lo gak kasih tahu gue? kalau lo curiga sama si Beni, kejadian ini gak mungkin bikin kita kejebak, kan?"
"Kenapa jadi gue lagi yang salah?!" Bimo tidak terima selalu disalahkan karena dia memang tak berniat sama sekali tentang masalah ini.
"Terserah!" ucap Tara, dia enggan berdebat lagi.
"Kok, terserah? Lo ada kirim pesan sama dia gak? Itu bisa jadi bukti kalau lo dijebak sama dia, kan?"
Tara segera menari ponselnya di segala sudut kamar hotel, tetapi dia sama sekali tak menemukannya, hingga harus mengangkat kasur dan memeriksa di bawahnya, tetap saja tak terlihat benda itu di sini.
Tara putus asa dan mulai menangis, dia tahu ini adalh kehancurannya.
Bimo memegang kepalanya, semua rencana yang mau dia lakukan mendadak menghilang dari kepalanya yang sudah panas dipakai berpikir dan berdebat dengan Tara yang tidak mau kalah sekalipun.
"Kalau aja lo denger larangan gue tentang orang licik kayak Beni, lo aman, Tar." Bimo bersiap meninggalkan kamar.
Tara berkata, "Kalau aja lo lebih cepat nyusul gue, masalah ini gak akan terjadi!"
Bimo menggelengkan kepala, dia enggan membalas tuduhan tak beralasan dari Tara. Pria itu hanya bisa menjawab, "Terserah!"