Chapter 8 - Ultimatum

Wita dan Adi sama kagetnya dengan Bram serta Nina, mereka tak menyangka anak yang mereka pikir tak akan sanggup melakukannya apalagi dengan Tara, kini sudah jelas tertangkap kamera berbuat seperti itu.

Tanpa diperintah atau ajakan, alamat hotel yang tertera cukup jelas bagi mereka untuk menyusul ke sana.

Saat semua keluar dari kediaman Bimo, ada beberapa orang tetangga yang sudah menunggu di depan pagar.

"Pak Danu, ada apa, ya?" tanya Adi saat dia mau membuka pagar agar mobil bisa keluar.

Pak Danu yang merupakan tetangga sekaligus Pak RT di komplek ini terlihat tak senang, dia menatap tajam ke arah dua pasang orang tua yang sedang bermasalah tersebut.

"Saya mendengar kabar buruk dari salah seorang temannya Tara dan bimo, katanya ada foto mereka kesebar lagi pacaran di hotel, ya?" tanyanya dengan ekspresi yang sudah sangat kesal.

"Pak, Bu, kami semua tak membenarkan perilaku seperti itu terjadi di komplek ini, kalau kami memberi toleransi, kami bisa memberi contoh buruk bagi orang-orang yang kebetulan belum menikah dan berpacaran di sini. Bisa-bisa mereka mengikuti jejak Bimo dan Tara.

Adi dan Bram saling pandang, mereka juga tak mengerti mengapa kejadian ini bisa tersebar luas, mereka pikir hanya kepada kedua orang tua saja foto itu dikirim.

Bram ikut turun tangan, di membantu Adi membuka pintu dan menengakan Pak Danu serta beberapa warga yang geger akan kejadian tersebut.

"Saya pikir Tara sama Bimo itu musuhan, mereka, kan, keliatan banget bertengkar terus kalau papasan. Eh, sekarang gataunya udah berduaan di atas ranjang hotel. Waduh bahaya, nih, gak bisa dibiarin!" Salah seorang warga yaang jarak rumahnya ada di samping kediaman Bimo buka suara.

"Iya, betul saya ini sering jadi saksi kalau mereka berantem heboh, ga nyangka banget ada musuh yang baik pas di ranjang. Kita gak habis pikir, terutama sama si Tara yang katanya gak pernah pacaran itu, dia malah indehoy di kamar hotel." Seseibu berdaster yang kerap disapa Sari itu, memanfaatkan keadaan dengan menggiring opini ke telinga warga yang mulai terpancing sekarang.

Sebagian warga yang mendengar perkataan Sari tersebut mulai mengangguk, tanda setuju dengan perkataan yang meluncur bebas dari  mulut wanita itu.

Bram mulai panik apalagi para istri terutama Nina yang sangat syok. Bagaimanapun Tara adalah wanita yang selalu dipandang sebagai orang yang paling bersalah di sini. Dia begitu khawatir dengan putrinya yang sedang dibicarakan dengan ta baik dengan para tetangga mereka sendiri.

Nina sampai lemas, Wita yang melihatnya segera berinisiatif memeluk wanita itu sekaligus menennagkannya dan meyakinkan kalau mereka perlu datang dan bertanya langsung, siapa tahu kalau masalah ini tak seperti yang terlihat dan yang ditangkap dengan kamera.

Nina mengangguk , meskipun dia sma dengan orang-orang tersebut dengan bersikap seakan kecewa dengan kelakuan Bimo.

Mereka harus saling mendukung dalam situasi ini.

Bram memberi kode kepada Nina dan Wita agar masuk saja ke mobil sedaangkan mereka harus mengatakan beberapa hal ke Pak RT dan para tetangga tentang kejadian yang sebenarnya.

Cukup alot memang saat Bram menjelaskan bahwa dia dan Adi juga tak tahu kalau kejadian ini sampai menghampiri putra dan putri mereka.

Setelah beberpaa menit perdebatan terjadi, kesepakatan dibuat, Pak Danu meminta bukti yang konkret tentang bantahan dari Adi dan Bram yang menyurakan kepercayaan mereka kepada Bimo dan Tara.

Bimo dan Tara akan diminta menikah untuk meresmikan hubungan gelap mereka, atau keduanya harus pergi dari lingkungan ini.

Cukup berat, tapi Adi dan Bram juga tak bisa berkata apapun karena mereka masih mau mencari jawaban dari masalah ini.

Warga diminta bubar oleh Pak Danu karena kesepakatan sudah disetujui, walaupun mau tak mau, ini demi efisiensi waktu Bram dan Adi bersama istri pergi ke hotel.

Mereka segera tancap gas, memacu kecepatan laju mobil hingga bisa mencapai hotel dengan sesegera mungkin.

***

Petugas membangunkan Tara dan bimo yang dia pikir sedang pingsan di atas ranjang. Dia sering menjumpai pasangan yang sehabis melakukan transaksi asusila tertidur di ranjang tanpa busana, tetapi posisi keduanya dan juga cara tidur mereka memang tak biasa.

Petugas itu menggiyangkan tubuh Bimo hingga beberapa kali dan pria itu bergerak setelah akhirnya terjaga dari tidurnya.

"Mas, Mas, bangun. Udah pagi!"

Bimo meringis, kepalanya berdenyut. Dia mau bergerak tetapi terasa ada yang mengganjal perutnya.

Pria itu masih berusaha membuka mata, baru sedikit saja, cahaya lampu terasa menyilaukan.

Hingga dia punya tenaga yang sedikit sekali untuk menyingkirkan apa yang mengganjal perutnya dan dia juga membuka matanya perlahan-lahan dalam keadaan duduk.

Penjaga hotel itu yang sudah terbiasa membangunkan Bimo sambil  merapikan barang-barang yang berantakkan dan dia berusaha secepat mungkin agar tamu bisa meninggalkan kamar saat sudah melewati batas wwaktu check-out.

Kemungkinan mereka tak membayar sewa sangatlah besar, jaddi daripada kabur lebih baik ditunggui. Ini adalah perintah langsung dari bosnya.

Perelahan Bimo akhirnya bisa membuka matanya dengan sempurna. Hal pertama yang dia lihat adalah petugas hotel yang dengan santainya tampak mengambil bantal dari lantai, lalu dia mulai menyadari sesuatu.

"Tara!" Hanya nama Tara yang dia ingat dan meluncur dari mulutnya. Memori terakhir yang dia ingat adalah Tara.

Anak buah Beni sudah menjalankan tugas yang sangat baik, mereka kembali memastikan Beni dan Tara bisa tidur satu ranjang dengan posisi yang sangat meyakinkan ada sesuatu terjadi di antara mereka.

Tara merasakan pening di kepala, dia mendengar ada yang memanggil namanya dengan kencang.

Wanita itu mengusap telinganya yang pengang. Dia melihat ke arah Bimo. Kedua pasang musuh tersebut saling menatap satu sama lain.

Tara dan Bimo melihat ke tubuh mereka masing-masing, ada hal yang berbeda dari penampilan mereka. Tak seperti biasa.

Hingga petugas hote menghampiri Bimo dan memberikan kausnya yang terlepas dan tergeletak begitu saja di lantai sesuai skenario para bodyguard Beni.

Bimo menerima dan dia sertaa Tara mulai menyadari kalau mereka ada dalam satu kamar, dengan keadaan yang tak menguntungkan sama sekali. Tubuh keduanya terbuka, meskipun Taraa masing menggunakan tangtop dan celana pendeknya.

Dia dan Bimo berteriak, berebut selimut satu sama lain, agar bisa menutupi tubuhnya.

"Lepas gak, lo pakai aja kaos lo!" Tara berteriak dan sekuat tenaga menarik selimut agar tubuhnya tak terekspos dengan bebas.

"Ada apa, sih, kenapa kita ada di sini?" tanya Tara.

"Jangankan lo, gue aja bingung! Masnya ngapain di sini? Kenapa kita ada di kamar ini berduaan? Di mana si ... astaga!"

Bimo baru menyadari sesuatu, dia baru mengingat Beni.

"Ini pasti Beni, dia yang bikin ini semua terjadi sama kita."

Tara menutup mulutnya dan dia mengangguk. "Terus gimana dong?"

"Lo tenang, dan kita akan pulang abis ini."

Tara mengangguk. Dia menggulung selimut sampai menutupi kepalanya. Tara seperti dadar gulung sekarang.

Ketika kakinya melangkah, dia maklah tersandung karena belitan selimut yang terlalu kencang.

Bimo refleks menolong Tara, tetapi dia tak bisa menahan posisinya yang kurang kuat, sampai dia dan Tara terjatu ke lantai bersama, dengan Tara ada di atas tubuh pria itu.