Chereads / My Possesive Enemy (Musuh Tapi Menikah) / Chapter 7 - Jebakan Beni Berhasil

Chapter 7 - Jebakan Beni Berhasil

"Bagus, tapi tetap aja lo berdua gak becus buat jalanin tugas, masa gue mesti kena pukul juga, emang lo berdua gak bisa nunda beberapa waktu lagi sampai gue nidurin Tara. Kalau kayak gini, dia masih gadis dan gue gak bisa bikin pembalasan ke dia!"

Beni terbaring dii ranjang rumah sakit. Dia memegang ponsel anak buahnya dan melihat isi pesan yang dikirimkan ke nomor Bram, tentang foto yang mereka buat sebelum meninggalkan hotel tersebut.

Dia masih merasakan sakit di belakang kepalanya berkat apa yang dilakukan Bimo tadi malam.

"Sorry, Bos. Kita berdua udah nahan dia sebisa mungkin. Tapi dia kayak banteng lepas, kayak orang kesetanan, sedangkan bos ngelarang keras buat kita bikin dia babak belur atau gak sadar karena kita gebukin, kan?" jawab pria yang memakai jaket denim tersebut.

Beni mendelik, dia menatap anak buahnya dengan sorot tajam penuh benci.

"Oh, jadi lo berdua masu salahin gue? Iya?" tanya Beni, dia memaksakan duduk tegap dibanding bersandar, meskipun kepalanya terasa sakit, tapi dia sungguh emosi dengan apa yang menjadi pembelaan pria itu.

"Sini lo!" Beni mengayunkan tangannya, dan kedua pria itu mendekat kepadanya.

Dengan tenaga yang tidak terlalu kuat, tetapi dia tetap memaksakan memberi bogem mentah ke kepala dua pria tersebut.

"Sialan! Lo pikir gue bayar lo berdua buat kayak gini doang? Ngejebak orang gak perlu banyak cara kayak gini. Kalau sampai salah satu dari kalian, atau lo berdua sekaligus ditangkap polisi, jangan pernah bawa nama gue!"

"Kok, gitu, Bos?" Pria yang sejak tadi diam saja mulai menggaungkan rasa keberatannya kepada Beni.

Pria dengan baju yang berwarna iru dingker tersebut mulai tak bisa menahan emosi yang sejak tadi dia tahan. Namun, kelakukan dan kata-kata menyakitkan yang meluncur dari mulut Beni, membuatnya kesal tak menentu.

"Kita kerja berdasarkan keinginan Bos saja, bukan mengambil keputusan sendiri!"

Temannya yang berdiri menunduk di sampingnya merasa terancam jika Beni akan marah kepadanya.

Benar saja, Beni yang sudah naik emosinya mulai memutuskan bangun dari ranjang, dia mendekat dan hendak melakukan tamparan yang lebih kuat, etapi ketika tangannya suda ada di dekat pipi pria pembangkang tersebut dia malah dipegang tangannya, ditahan dan diplintir.

"Lo pikir uang bisa beli harg diri?!" Preman itu membentak, matanya memerah karena kesal, sejak tadi malam, dia berdua tak pernah lepas dari makian Beni yang mulai kurang ajar, bahkan menghina keluarga mereka juga di kampung.

"Oh, lo mau ngelawan gue?" Beni naik pitam, dia semakin tak bisa menahan emosinya.

Pintu ruang rawat VVIP terbuka, Beni melihat ke arah pintu dan dia segera menjauh dari dua preman yang sudaah mulai terpancing emosi.

"Keluar lo berdua!" pinta Beni, kemudian pria itu memutuskan kembali ke ranjang.

Sementara sesosok wanita yang rambutnya di sasak itu terlihat marah,  dia menghentakkan sepatunya sedikit kasar ke lantai ruang rawat.

"Bagus, Beni Wijaya, apa yang kamu lakuin baru aja ke para bodyguard, gak bisa mamah toleransi lagi, kamu pikir dengan berbuat seperti itu, nama baik keluarga Wijaya bisa diselamatkan?"

Wanita elegan yang terlihat marah itu merogoh map cokelat, mengambil ssesuatu di dalamnya, kemudian meletakkan  semua isinya di ranjang rawat Beni agar pria itu melihat.

Akan tetapi, apa yang dilakukan Beni malah sebaliknya. Pria itu terihat malas dan malah menindih gambar tersebut dengan kakinya.

"Mamah kira kamu udah berubah, tapi kamu malah buat masalah besar, gimana kamu ngejelasin ini sama Papah?" tanya wanita itu,lalu dia duduk disofa dan menenangkan dirinya yang dikuasai rasa emosi.

Beni tertawa kecil, dia berkata, "Tante gak perlu sok peduli, dan lagi pula kenapa manggil diri sendiri dengan sebutan 'Mamah', sih? Siapa anak yang Anda maksud?"

"Apa yang ada di kepalamu?? Saya ini ibu sambung kamu, kamu harus panggil saya dengan sebutan yang Papah kamu perintahkan!"

Beni menatap wanita itu dengan sorot tajam, ada kebencian yang terpancar jelas dari matanya.

"Nyonya Adinda, saya bukan orang yang bisa Anda sebut sebagai anak sambung karena sejak awal, saya tak pernah menganggap Anda ada, dan saya tak pernah setuju dengan pernikahan kedua Ayah saya. Jadi sekarang tinggalkan ruangan ini, atau dua preman itu yang akan menyerey Anda keluar?"

Adinda yang mendengar itu tak bisa membalas perkataan Beni yang seringnya nekad. Dia tahu para bodyguard di depan ruangan tak akan bisa berbuat apapun selama Beni masih memberi mereka bayaran. Daripada dia malu diseret, wanita itu memilih keluar.

"Suat saat, cepat atau lambat, kamu akan berlutut dan meminta pertolongan saya, camkan itu Beni!"

Beni enggan berkata yang lain lagi, dia segera meraih ponsel dan melihat foto yang sudah di-setting dengan baik oleh para bodyguard itu.

"Kalau cuma orang tuanya aja gak seru dong, ah. Kita bisa kirim ke semua alumni, atau ke group sekolah aja sekalian, ya?"

Beni menyeringai dan dia segera melaksanakan apa yang dia rencanakan.

***

Bram dan Nina tak mau berpikir lebih lama lagi untuk masalah ini. Mereka emosi karena mendapatkan foto tak senonoh Bimo serta Tara yang tidur di hotel dengan pakaian yang tak lengkap.

"Kenapa Bimo jaat sama anak kita, Mas, kenapa dia khianatin kepercayaan kita yang secara penuh kita berikan sama dia untuk jaga Tara sebelum waktunya."

Bram menepuk-nepuk pundak sang Istri, dia juga sedang dalam mode kaget, kenapa bisa mendapatkan kabar itu di saat mereka berdua sedang dalam kepanikan karena Tara yang pergi tanpa pamit seperti itu.

"Pertama kita harus jemput Wita dan Adi, mereka harus ikut ke hotel agar kita juga punya bukti dan masalah ini bisa dicari jalan keluarnya."

Bimo tahu kalau Nina adalah orang yang ceepat panik, makanya dia mencoba lebih sabar dan tenang dalam menghadapi apa yang terjadi.

Kini mereka sudah duduk di ruang tamau rumah Bimo, menunggu Wita dan Adi turun, mereka baru pulang kerja dan tak tahu kalau anaknya sedang dalam keadaan yang berbahaya.

Wita dan Adi sudah bergabung, mereka bersikap santai seperti biasa karena dua sahabat mereka tak mengatakan maksud kedatangan mereka ke sini.

"Wah, tumben kalian main ke rumah, biasanya kita yang main," ucap Adi sambil bersalaman dengan Bram dan Nina.

Wita melakukan hal yang sama, dia juga mengambil minuman dingin di kulkas dan menyajikannya ditemani cemilan dalam toples.

Nina terlihat tak bisa menahan lagi emosinya. Dia segera mengatakan apa yang terjadi dengan anak-anak mereka.

"Kalian harus tahu kalau Bimo dan Tara sedang di hotel, ini fotonya," ucap Nina, lalu dia memberikan ponsel Bram dan memberikannya kepada Wita serta Adi.

Respons orang tua Bimo tak kalah kaget, Wita bahkan hampir pingsan, dia langsung lemas.

"Ini gak mungkin, kenapa Bimo bisa begini ke Tara, kenapa!" Wita terlihat sangat marah, dia menangis sejadi-jadinya, dan Adi memeluknya.

"Kita harus ke sana sekarang, mereka kemungkinan masih di hotel."