~☆~
Bayangan itu membalas tatapannya dengan senyum angkuh yang tersirat.
Bulu kuduk Baylor tiba-tiba berdiri, tapi ia tak sanggup untuk sekedar mengalihkan atensi dari dirinya sendiri.
'Baylor Smith yang bodoh.. bisa kau jadi angkuh sedikit? Bahkan semut kecil pun dapat membalaskan dendam, ataupun lebah dengan sengatnya–'
'–meskipun harus mati setelahnya.' lanjutan itu membuat Baylor terdiam.
'kau tau? Beberapa diantara orang tidak menyukai mu? mereka berusaha meracuni mu, membunuhmu Baylor !'
Sentakan itu terdengar, dirinya sendiri di dalam cermin tengah marah. Meluapkan isi pikiran yang sama sekali ia tak pahami.
Hanya diam.
Baylor hanya diam, menatap dirinya di dalam lapisan kaca berbahan tebal itu. Menampakkan seorang pria tengah mengoceh dengan bola mata hitamnya.
Total hitam sehingga Baylor seperti merasuk ke dalam nya.
'kematian orang tua mu cukup membuatmu sadar Baylor. Bunga Lily warisan nenekmu menjadi pilihan mu saat mereka dimakamkan, bukan?' sulutnya sarkastik.
Pancaran binar redup dikeluarkan Baylor, figur hitam itu hanya berujar culas. Berdecih sinis dan penuh arogansi.
'sudah ku bilang, hancurkan ponsel paman mu. Isinya berisi mantan pacarmu yang tidur berdua dengannya.'
Benar.
Oh dia ternyata? Baylor mengingat nya. Gadis cantik incarannya saat duduk di bangku SMA, cantik dan tertata. Terkenal dan ramah, menjalin kasih dengan dirinya membuat Baylor merasa bahagia.
Tapi sesaat, sebelum ia mengetahui jika kekasihnya tidur dengan pamannya sendiri. Menyedihkan bukan? Baylor benar-benar terpuruk akan hal itu.
'–kau terlahir pun, sudah tau desas-desus nya? kau itu anak haram dari ayah. Atau ibumu?'
entah.
Baylor menunduk, menatap kebawah tanpa berkedip. Memang, ia pernah mendengar isu miring itu. Antara ayah atau ibu nya yang bersitegang perihal orang ketiga.
Tapi sampai sekarang ia belum menemukan hal yang pasti, apa ia ini hasil gelap. Atau bukan? Jika iya, siapa? Antara ayah dan ibunya. Ini semua terlihat palsu.
Baylor perlahan menaikan kepalanya, menatap jauh ke dalam cermin itu, "Lalu, apa yang kamu inginkan?" Tanyanya jenuh.
Kepalanya mulai berat, ia sama sekali tidak menyukai topik berat seperti ini. Membuatnya membuang nafas berat dan menahan emosi di dalam jiwa.
Sanubarinya terasa dilecehkan, untaian kata dengan celaan mengandung sarkas tersirat. Cukup ia tak sanggup untuk menanggungnya.
"Apa yang kamu inginkan.. apa?" Kedua pundaknya menurun lesu.
Atensi didepannya seperti tersenyum bangga dibalik mata hitam yang ia perlihatkan.
'Menguasaimu.'
Bisikan itu seperti terdengar dari telinga kirinya, kedua pundaknya terasa berat. Perlahan tangannya mengepal kuat.
Menatap marah ke arah kaca, dimana dirinya tengah di rengkuh oleh bayangan hitam. Menyeringai seram dengan pelukan dari tangan panjangnya, Baylor mengeratkan rahangnya.
Sosok itu kemudian menghilang, terganti kembali dengan dirinya yang memantulkan bayangan biasa.
Baylor menghela nafas, semakin lama ia semakin buta akan realita dan angan-angan. Semua terlihat sama, bahkan dirinya mendapat bisikan pelecehan. Sering sekali bahkan tidak terhitung banyaknya.
"shhh.. huhh.."
Baylor membuang nafas, menetralkan dirinya yang tengah terguncang. Kedua kakinya sedikit bergetar, jika ia tak tahan maka dirinya akan segera terjerembab kedepan.
Memilih untuk mundur perlahan. Berbalik dan menjauh, membiarkan bayangan yang mendekam di dalam cermin itu tersenyum miring, dengan mata hitamnya yang tiada pupil.
Total hitam dan mengecil.
Kemudian hilang. Baylor berjalan ke arah nakas, gemericik air dari shower miliknya terdengar jelas. Biarlah pikir nya, tak perlu memusingkan air yang perlahan tumpah ruah disana.
Baylor mendekati sebuah korek api kecil. Berbentuk lonjong dengan ukiran Eropa disana, sesekali ia elus pematik cantik itu. Kemudian menghidupkannya sekali sentak.
Klik
Trass
Api timbul disana, lambang naga dengan mulut yang terbuka mengeluarkan api. Bahkan ia tidak sadar sekelilingnya berhawa beku ataupun lekat.
Ctak
Pematik itu di matikan. Baylor memutar posisi korek api itu. Menjadi terbalik, dan dengan lambat menekan sisi bawah korek itu.
Hingga dengan hitungan detik sebuah pisau muncul, tajam dan mengkilap. Terlihat mengintimidasi dengan gagang pahatan naga berwarna kuning emas. Baylor pun dapat berkaca disebalik pisau pipih itu.
Sedikit bermain dengan memutar benda itu, dengan tiba-tiba ia kembali mendengar bisikan.
'tusukan saja. Tidak mau mencoba?'
Baylor terdiam, suara itu terdengar akrab di telinganya. Tangan itu berhenti untuk memainkan benda itu.
'pematik yang bagus Baylor, lebih bagus lagi jika kau mengujinya di atas kulit indahmu–'
'–sshh.. menggoreskan beberapa sabetan mungkin tidak buruk?'
Retina Baylor mengunci benda di tangannya, setengah dirinya dengan bodohnya mengiyakan kalimat parau itu.
Jangan ditanya bagaimana nada yang tercipta, seperti kaset robot rusak dengan dua suara menjadi satu. Suara itu terus menghantui Baylor sepanjang hidupnya.
Mengatur pria itu dalam kesehariannya, ketika suara itu tertawa. Rasanya lebih mengerikan daripada ia berbicara dengan nada biasa, pria dan wanita. Mungkin Baylor hanya menangkap suara pria yang dipadu suara wanita.
Kenapa rasanya Baylor menjadi semakin pening akan hal yang ia terima.
'kau tau Baylor? ini terlihat menyenangkan, ketika kamu mendapat luka. Hingga kamu melupakan luka lama mu?' bisiknya lagi.
'–kau ingat itu Baylor. Kau ingat, kau ingat, kau ingat.'
'kau ingat, kau ingat.'
Berulang kali terucap, badan Baylor semakin bergetar. Suara itu tertawa kecil, bak simponie yang menyeramkan. Bersatu menjadi sebuah alunan yang menerjang akal waras Baylor.
Coba atau tidak?
Baylor meneguk ludah kasar, suara itu seperti mencekik tenggorokannya. Berusaha memaksa dirinya untuk mencoba sensasi dari benda ditangan nya.
Pisau yang dipegang Baylor sedikit memantulkan cahaya dari temaram kamar mandi itu, mengenai kemilau obisidian kelamnya.
"aku.. aku."
'kau kau, kau ya. kau ingat kau ingat.'
Nada itu terucap berulang kali, berbarengan dengan tangan pria itu yang perlahan terangkat. Posisi pisau telah berubah derajat ke arah perut putihnya.
Sejajar dan tepat sasaran, seakan memang ditargetkan. Baylor menatap kosong ke arah bawah. Suara itu semakin menekannya, seperti berbisik dengan kuat dan sarkastik.
'tusukan, tusukan, tusukan. Kau ingat, kau ingat.'
Baylor mengangguk kecil, terlalu tipis hingga anggukannya tidak dapat ditangkap oleh penglihatan manusia. Tangan itu mengayun ke atas.
Kemudian dengan hitungan detik, seperti kecepatan cahaya tanpa suara. Berayun ke bawah, menusuk tepat ke dalam pusaran dirinya.
Srakk
Kemudian sepi. Menghilang, suara tadi menghilang. Membodohi Baylor dengan kesunyian yang ia dapatkan.
Baylor terdiam, memucat dengan tancapan yang pas berada di titik lemahnya. Kemudian ia merasa dingin, sangat dingin. Sesuatu mengalir dari perutnya.
Baylor kalah.
.
.
.
Gelap, total gelap disini. Baylor tidak merasakan apapun, seperti sedang mengambang ditengah teluk yang luas, terdampar dan mengapung menyedihkan di atas air.
Bahkan dibawahnya terasa terdapat seekor monster besar yang berlalu-lalang, siap menyantap bangkai miliknya.
Inilah kekalahan dirinya.
Baylor, benar-benar seorang pecundang.
.
.
.