Chereads / The Craziest CEO, Baylor / Chapter 4 - Brown Latte

Chapter 4 - Brown Latte

~☆~

Surai panjang itu melambai. Bewarna madu, selaras dengan coat yang dikenakan. Seperti lelehan Caramel lembut, cuaca pun mendukung dengan siulan angin. Menerbangkan beberapa helai surai seorang wanita yang tengah berjalan santai.

Kedua tangan mungil itu tenggelam di dalam saku, sengaja dimasukkan. Memandang sendu ke hamparan teluk luas di sebelah kanan, berjalan santai di atas trotoar.

Dengan beberapa kelopak bunga sakura berguguran, memasuki musim gugur. Angin bertiup sedikit dingin. Dirinya yang berjalan menelusuri setapak cukup menenangkan diri.

Beberapa kendaraan berlalu di sisinya yang lain. Dengan posisinya yang berjalan di atas jembatan besar dengan lengkungan besi di atasnya. Pembatas tembaga itu cukup menenggelamkan dirinya yang memiliki tinggi tak seberapa.

"Hufft.."

Wanita itu menghembuskan nafasnya, mengepul hangat diudara. Sepertinya ini tidak selaras dengan angin timur yang didapat.

Tap..tap..tap..

Heels itu berjalan menelusuri trotoar kota, lalu berhenti di suatu tempat. Dirinya menoleh ke samping, memandang hamparan teluk tadi, memilih mendekat ke arah pagar besi. Dirinya menumpu kedua tangan diatasnya.

Meylie mendesau pelan, sedikit menunduk lalu menaruh dagu di atas tumpuan tangannya. Retina coklat manis wanita itu tengah merekam gerakan air yang tenang.

"Kenapa rasanya dingin sekali.. ini jam berapa?" Meylie menegakkan badannya, merogoh saku coatnya guna mencari ponsel miliknya.

Setelah didapat, ia mengeluarkan benda pipih itu dengan cepat. Membuka ponsel dengan balutan casing pink-nya. Melirik jam yang ternyata menunjukkan pukul lima sore.

Ya, wajar saja.

Meylie berdecak pelan, kemudian ia memasukkan ponselnya lagi. Dirinya butuh ketenangan sekarang.

Akhir-akhir ini hubungannya dengan Baylor tidak bisa dibilang baik, ataupun tidak baik. Bagaimana ia menjelaskannya?

Mulanya, dirinya dan Baylor hanya menjalankan aktivitas biasa. Dirinya yang memasak di pagi hari, menyiapkan baju pacarnya, menyiapkan makanannya. Memberi semangat, mengingatkan schedule.

Apa mereka sudah cocok menjadi suami istri?

Dikira hanya sebentar, tapi akhir-akhir ini setelah Meylie pulang dari kediaman Baylor. Dirinya merasa agak aneh, walaupun komunikasi hanya sebatas layar pipih.

Baylor seperti tidak ada waktu untuknya.

"ugh.. menyebalkan." Umpatnya pelan.

Mau bagaimanapun, Meylie hanyalah seorang wanita yang ingin dimanja. se sibuk-sibuknya pria itu. Biasanya akan mengabari Meylie dengan cepat ataupun lambat.

Padahal Meylie telah mengirim pesan beruntun tadi siang, tapi sampai sekarang tak kunjung dibalas. Wanita itu jenuh, bahkan Baylor tidak sempat mengajaknya untuk keluar.

Walaupun ini menginjak musim gugur.

"Kenapa begitu menyebalkan.." lirihnya.

Meylie merasa dadanya sesak, jika di ingat bagaimana Baylor memarahinya, bagaimana pria itu khawatir padanya, tawanya, candanya. Meylie merindukan semua itu.

Rindu ketika mereka makan disatu piring yang sama, rindu Baylor merekomendasikan lagu-lagu favoritnya kepada kesayangannya. Rindu pelukannya.

Rindu sekali.

Hingga tanpa sadar setetes air mata turun dari pipi tirusnya, mengalir secara diam-diam tanpa memberi tahu sang empu.

Meylie mengusap kasar air matanya. Semakin ia memikirkan pria itu, semakin lemah juga pertahanannya. Matanya tak dapat berbohong, yang tadinya hanya tatapan datar.

Kini hanya tatapan bergetar dengan obsidian Caramel yang berkaca-kaca.

"Kenapa lemah sekali.. aku bodoh sekali, kenapa. Aku kenapa.." Meylie berusaha tegar.

Bibirnya mengerucut, sebelah tangannya tak henti mengusap kasar air mata yang mendesak keluar. Pucuk hidungnya memerah.

Jika Baylor disini, pria itu akan memeluknya dengan hangat. Tak peduli jika Baylor tengah kelelahan, ia pasti menyempatkan diri untuk memeluk wanitanya.

"Hiks.. aku rindu.. rindu sekali, demi tuhan." Isakan itu terdengar, Meylie menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan.

Kendaraan yang berlalu-lalang semakin ribut karena waktu perlahan menjelang malam, surainya pun terbang hilir mudik di pundaknya. Angin semakin keras menerjang dirinya.

Sedangkan Meylie hanya berdiam diri dengan menahan tangis.

Tak lama ia disana, isakan itu perlahan berhenti dan mereda. Meylie mengatur nafas, jejak air mata masih terlihat. Terlebih lagi matanya yang masih terlihat sembab, sepertinya tidak bisa membohongi perasaannya sekarang.

Meylie merogoh kantongnya, mengambil ponsel dan kembali mengecek jam disana.

"Sudah lumayan sore.." gumamnya.

Kemudian ia memutuskan pergi, menjauh dari keramaian dan berjalan ditengah kerumunan lalu-lalang kota.

.

.

.

Meylie telah sampai disebuah cafe terdekat, bernuansa outdoor dengan penawaran pemandangan jembatan yang sempat ia kunjungi.

Meylie melirik pegawai cafe, mengangkat sebelah tangan dan mengode dengan dua jari. Si pelayan mengangguk, mendekat dengan tangan yang memegang kertas kecil.

Ketika pelayan sampai, pelayan itu sedikit menunduk. Melipat tangan dengan sopan dan bertanya.

"Ingin pesan apa, madame?"

"Latte expresso. Saya pesan yang panas."

Berujar singkat, pelayan itu mengangguk mengiyakan. Berjalan menjauh dengan pesanan Meylie ditangannya. Sedangkan Meylie menoleh keluar.

Sungguh, pemandangan disini sungguh indah.

Beberapa pasangan muda-mudi berjalan berduaan, dengan beberapa lampu taman menghiasi jalanan. Bewarna kuning keemasan, menambah kesan vintage dan simple disaat yang bersamaan.

Dirinya memilih mengeluarkan ponselnya, menghidupkan benda itu dan membuka pesan dirinya kepada Baylor.

Moodnya tiba-tiba menurun, tak dibalas maupun dilihat. Last seen dari pria itupun terlihat jam sebelas tadi.

Meylie berdecak, "kemana pria brengsek itu? Bisa-bisanya sesibuk ini?", Meylie berujar culas, "– bagus sekali. Apa yang sedang dilakukannya?" Menaikan alis, dirinya menghembuskan nafas.

Muak rasanya.

Jika bisa, Meylie ingin menemui pria itu dan menusukkan pisau tepat di tengah perutnya. Membiarkan pria itu kehabisan darah, dan dirinya yang menatap puas.

"Hufft.. apa harusnya aku masuk saja ya.." gumamnya.

Semakin dirasa dingin, ia memilih berjalan masuk. Membuka pintu cafe dengan dentingan lonceng terdengar.

"Bonjour madame, ada yang bisa dibantu?" Seorang pelayan mendekat.

Meylie tersenyum lembut, "saya ingin pindah meja. Diluar terasa dingin."

Pelayan dengan seragam bercorak hitam putih itu mengangguk mengerti, "ahh ya.. cuaca sedang masuk ke musim baru. Silahkan memilih meja, madame. Kami akan menyalakan penghangat ruangan."

Dirinya berujar sopan, menunjuk salah satu meja dengan tata Krama yang lembut. Meylie mengangguk dan tersenyum anggun.

"Terimakasih."

Meylie berjalan menuju salah satu meja. Lantunan musik balad membuatnya sedikit nyaman, di dalam cafe ini tidak terlalu berisik sama sekali.

Walaupun beberapa diantara mereka terlihat bersenda gurau, adapun yang tengah mengerjakan sesuatu di laptop dengan santai. Dirinya jadi merindukan sekolah.

Srett

Meylie menarik kursi dengan lembut, kemudian duduk di depan meja dengan balutan telapak meja bewarna putih. Meylie menghela nafas.

Kemudian menyender dengan lesu, dirinya memilih untuk memainkan ponsel.

kling

Salah satu bubble chat naik di dalam layar pipih itu, bertuliskan nama 'sahabat tersayang'. Terpampang jelas, membuat mood Meylie sedikit naik karenanya.

Meylie menekan icon gelembung itu, kemudian dapat dilihat sebuah pesan terpampang. Menanyakan keberadaan Meylie sekarang. Meylie tersenyum tipis, dirinya merasa beruntung memiliki sahabat seperti seseorang yang tengah bertukar pesan dengan dirinya.

Drrtt drrtt

Tak berselang lama layar ponselnya kembali memunculkan icon telepon, Meylie ditelpon oleh sahabatnya. Tanpa pikir panjang Meylie mengangkat telpon itu dengan santai.

"Ada apa?"

'kau dimana? perasaan tadi aku melihatmu dijalanan trotoar brestan. Sekarang kau dimana?' suara diseberang sana sedikit bergetar.

Sepertinya sang sahabat tengah berupaya membenahi sesuatu, suara gesekan dari meja dan beberapa gebukan barang terdengar. Meylie hanya tersenyum.

"Tadi hanya iseng kesini, cuaca awalnya lumayan bagus. Karena kita sudah masuk pertengahan awal musim gugur, jadi aku sedikit tertarik untuk kesini." Meylie berujar sembari sedikit merapihkan taplak meja didepannya.

'oh ya? dengan siapa kau disana?'

Setelah pertanyaan itu terlontar, Meylie sedikit bungkam. Dipikirannya langsung mengarah lagi ke Baylor, pria yang membuatnya menangis di jembatan brestan. Terlihat tidak etis sekali.

Meylie berdeham, "hanya sendirian. Lagipula aku sehabis membeli beberapa topi baret bewarna coklat, tau kan? Yang temanmu kemarin bicarakan." Meylie terkekeh hambar, ia berujar sembari menyisihkan rambut di telinganya.

'eh? Astaga! Kenapa tidak mengajakku? Cih, kau ingin bersenang-senang tanpa mengajakku? Aku akan memastikan itu sama sekali tidak menyenangkan!', sentakan diseberang membuat Meylie tertawa kecil.

"Ahaha, maaf. Tapi aku merekomendasikan tempat cafe diseberang jembatan brestan. Yea, aku sedang disini sekarang. Pemandangannya sangat bagus–" Meylie menjeda kalimatnya.

Ternyata ia melirik seorang pelayan yang tengah berjalan mendekat kearahnya, membawa sebuah nampan berisi pesanan minumannya tadi.

"Ini pesanannya, madame." Ujarnya dengan sopan saat berhenti di samping meja Meylie.

Kemudian menunduk dengan hati-hati sembari menaruh cangkir berisi kopi pesanan pelanggannya, "ahh ya. Terimakasih banyak." Ucap Meylie dengan lengkungan senyuman.

Pelayan itu mengangguk ramah, kemudian mengundurkan diri dan menjauh.

'ada apa? Kau bicara dengan siapa?' suara diseberang sedikit menghentikan langkah Meylie untuk menggeser cangkir didepannya.

Meylie berdecak, "kan aku bilang sedang di cafe. Tadi itu pesananku datang, kau ini."

Yang diseberang terkekeh renyah, 'omong-omong sedang sendiri. Bagaimana kalau aku menyusul?' tawarnya.

Meylie diam sejenak sebelum berujar, "kau kelihatan sibuk. Sudah terdengar suara ribut tadi. Kau tidak bisa berbohong." Smirknya terpampang.

Meylie mengambil sendok kecil yang berada dibawah piring, kemudian dengan anggun mulai mengaduk kopi kental didepannya searah jarum jam.

'oh ayolah! Kau tau, sangat membosankan membenahi apartemen sendirian. Ini seperti kau berada di tengah-tengah zona merah–'

Temannya berdecak, terdengar suara benda jatuh seperti ditendang, '–pacarku seperti tidak berguna. Aku harus mengurus barang pindahan sendirian. Dan ini sangat menyebalkan.' sungutnya.

Meylie tersenyum sambil mencicipi kopi di tangannya, "sudah jangan bicara begitu. Pacarmu sibuk, kau harus mengerti. Sepertinya juga akhir-akhir ini Baylor pun sama."

'eh? Kenapa tentang Baylor? Apa dia ada pekerjaan baru diluar kota?'

"Tidak."

Meylie segera menjawab, sedetik setelah pertanyaan itu terlontar. Yang bertanya sedikit bungkam beberapa saat, tatapan Meylie pun berubah. Meylie menghembuskan nafas dengan kasar.

'em.. apa kalian ada masalah?' tanyanya dengan hati-hati.

Meylie mendengar nada bicara temannya yang berhati-hati, kemudian ia hanya tersenyum simpul.

"Tidak. Bagaimana aku menjawabnya? Kita sedang tidak ada masalah apapun, tapi. Ya kau tau? Seperti kau melupakan tabiat Baylor yang sibuk setiap waktu," ujarnya.

Temannya terdiam, kemudian menghembuskan nafas dengan kasar, 'yea.. aku tau tentang hal itu.' suaranya terdengar santai dan melembut.

Meylie menoleh keluar, menatap lamat antara mobil yang berlalu-lalang. Tak sadar jika tatapannya berubah menjadi sendu, terlihat dari luar kaca.

Obsidian Meylie terlihat agak redup, ponsel masih tertempel di telinganya. Atensi Meylie jika dilihat dari luar cafe, mirip seorang gadis yang tengah bersedih karena ditinggal oleh orang tuanya.

'kau tidak perlu sebegitu sedihnya tentang Baylor, masih ada aku. Kita berdua masih bisa habiskan waktu bersama.'

'lagipula pacarku juga sama sibuknya, kau tidak sendiri.' ujarnya berusaha menghibur.

Meylie mengalihkan pandangan kebawah dan tersenyum, mengangguk mengiyakan tentang perkataan sahabatnya perihal Baylor.

Dirinya tidak perlu khawatir, hanya perlu percaya dengan pria itu. Mungkin dirinya yang berlebihan dan haus akan perhatian dari Baylor, padahal sahabatnya pun memiliki kekasih yang sibuk, sama seperti kekasihnya.

"Iya, kau benar. Bagaimana kabar ibu?" Meylie bertanya sembari menyeruput kopinya dengan santai.

'hem.. ibu baik, kemarin ia sedikit sibuk tentang pindahan yang sekarang. Dia itu wanita yang berisik sekali.' desisan terdengar dari seberang.

Meylie terkekeh kecil, "jangan begitu dengan orang tua."

'yea.. lagipula dirinya sibuk mengatur saja, tapi ujungnya harus aku semua yang mengurus.'

"Kalau begitu daripada pekerjaan mu tidak kunjung selesai, segera selesaikan. Matahari akan terbenam, disini cantik sekali," Meylie berujar memanasi.

Temannya berdecih, 'sudah jangan menggodaku untuk menyusul mu kesana.' desisnya.

Meylie tertawa renyah, "kalau begitu akan ku kabari lagi. Kita masih bisa bertukar pesan singkat, nanti pekerjaan mu terus-terusan ditunda."

Yang diseberang menghela nafas, 'baiklah. Sampai jumpa!'

Meylie tersenyum, "sampai jumpa." Kemudian telpon itu mati.

Meylie meletakkan ponselnya dengan cepat, kemudian menyender dan menghembuskan nafas dengan lelah. Kenapa perihal Baylor segini uring-uringan nya? Pria itu memang sangat kurang ajar.

Dirinya benci harus memikirkan sesuatu yang bahkan dirinya tak sempat memikirkan diri sendiri, Baylor harus mempertanggung jawabkan hal itu.

Meylie berdecak, "sebentar lagi harus pulang.." gumamnya.

Kemudian memilih menyeruput minumannya dalam diam.

.

.

.