~☆~
Drrtt.. drrtt..
Hingga dua menit lamanya, ponsel hitam itu tak kunjung disentuh maupun dilihat. Sebuah pesan muncul.
Layar ponsel besar itu berkedip berulang kali, hingga tertampang pesan dari; Meylie. Jika dilihat-lihat, pemilik pesan itu adalah perempuan. Semakin dirasa menggangu, Baylor melirik dengan tatapan tajam.
"Ck."
Berdecak dengan keras, ia perlahan bergerak mendekat ke arah nakas. Tangan panjangnya mulai terangkat, benar-benar basah dengan air yang turun dari tangannya. Jari jemari pucat dan dingin itu berusaha menggapai ponselnya.
Meraih benda pipih itu dengan tangan basah, mengecek dan membiarkan sinar kecerahan layar menerpa wajah tampannya. Menunduk dan membiarkan surainya menetes ke arah ponsel, layar yang semula hanya menerawangi wajahnya. Kini perlahan redup karena tetesan air.
Isi pesan berisi kekhawatiran, Baylor tak kunjung menampakkan hidung dikantornya. Perempuan itu nampak sedih, banyak emoticon sedih yang ia kirim. Berharap jika dirinya menangkap rasa khawatir dari wanita itu.
Klik
Baylor mematikan ponselnya, wajahnya kembali redup. Memilih untuk meletakkan ponsel ke atas nakas dirinya kembali mendongak dan menatap kosong ke ventilasi.
"Khawatir ya.." bisikan itu terdengar. Halus dan dalam, serak dan basah. Bahkan Indra pendengaran nya menangkap oktaf suara dari dirinya sendiri.
Terasa aneh karena dirinya menikmati lantunan dari suaranya sendiri. Hingga dirinya hanya tersenyum tipis dan terkekeh halus. Apa benar wanita itu merindukannya? Pikirnya lucu.
Bahkan ia jelas-jelas melihat wanita itu sehari sebelum dirinya begini, Meylie berjalan bebas dengan teman-teman nya. Memegang lima paperbag besar hasil uang darinya. Membelanjakan dengan riang, seperti bangga sekali jika menghabiskan uang dari dirinya.
Baylor menggeram tipis, kedua tangannya terangkat. Mencengkram surainya di dua sisi dengan erat, merasakan pening itu lagi-lagi datang. Masa lalu yang ia alami membuat dirinya tidak terkendali, meringis dan menggeram. Seperti dua orang yang menjadi satu di dalam dirinya.
Buku tangannya semakin memerah karena cengkraman yang kuat, beberapa helai tercabut dari Surai indahnya. Dirinya sedikit terisak karena itu, benar-benar menyedihkan.
Hantaman di kepalanya membuatnya menarik helaian rambutnya semakin kuat, lalu perlahan tangan itu melemas dengan tenaga yang mulai habis dari dirinya.
"m-ma..mamah.."
Bisiknya lesu, bibir pucat itu digigit. Mata itu tak sanggup untuk terpejam, menatap sayu ke arah bawah. Menatap pantulan dirinya yang menyedihkan, air dibawah bagai menyediakan cermin gratis untuk dirinya.
Baylor makin terisak parau, setetes liquid panas turun dari kelopak matanya. Memandang sedih ke arah bawah, badannya mulai gemetar.
Sedikit tergoncang, ntah itu karena hawa dingin yang merasuk. Ataupun semua masalah yang tengah menghantamnya. Baylor seperti bayi kecil yang perlu di gendong dan ditimang oleh sang ibu sehabis mandi.
Baylor menunduk, menekuk kedua lutut. Menyembunyikan kesedihan itu disana. Kedua tangannya mengusap bisep-bisep kencangnya, berusaha menimbulkan afeksi hangat walaupun itu hanya angan-angan nya.
Sudah cukup air sebatas dada menenggelamkan tubuhnya, jiwanya sudah tenggelam lebih dalam sejak lama. Tidak perlu banyak air, dentuman masalah yang menerobos sudah cukup menjadi jangkar besar, yang menarik dirinya hingga ke dasar.
Tidak sanggup untuk bernafas, organ-organ nya seperti pecah karena ditelan masalah. Kelima indranya tidak berfungsi dan rusak total, Baylor hanyalah seonggok mayat tidak berguna di dalam lautan masalah.
"Arghh hiks.. hiks.. hakhh." Erangan itu semakin menjadi, dirinya hanya mampu memandang sendu ke arah bawah. Menatap jika dirinya se-menyedihkan ini.
Baylor menghela nafas, ia mulai memutuskan untuk beranjak. Tetesan air dari tubuhnya mengalir dan terjun bebas. Baylor sakit.
Baylor menaikan kakinya, kaki putih nan pucat itu menapak di marmer mahalnya. Dengan perlahan dan penuh kekosongan hati, dirinya beranjak dari bathup dingin itu.
Tap..tap..tap
Grett
Baylor berjalan ke arah wastafelnya, kemudian mencondongkan badan. Kedua tangan kekarnya menggenggam pinggiran wastafel dengan erat. Buku tangannya terlihat memerah karena cengkraman itu.
Tiada satu patah kata keluar, hanya tatapan tidak berguna yang menghantui dirinya sendiri. Wajahnya tertunduk lesu, tetesan semakin menjadi. Baylor terlihat berantakan dan menyebalkan karena keadaannya sekarang.
Jikalaupun Meylie melihat dirinya begini, Baylor hanya dapat pasrah jika ia ditarik paksa oleh wanita itu untuk segera beranjak pergi. Kepalanya terangkat, sedikit kemilau mulai membias wajahnya.
Ditatapnya wajah mengenaskan itu, cermin seperti memiliki makna kejujuran sendiri. Menampakkan wajah rupawan Baylor yang kini tengah berubah seperti mayat hidup. Pucat dan dingin.
Pipi tirus itu terlihat basah, kelopak matanya hitam. Yang tadinya ia memiliki kelopak ganda yang cantik, kini hanya ada mata mengantuk dengan pusaran aneh di dalam retina nya.
Apa yang Baylor pikiran sekarang?
"Apa aku layak hidup.." bisikan itu seperti mengarah ke dirinya sendiri.
Tak ada tanda tanya di akhir kalimat, seperti tiupan halus yang terbawa angin. Mengawang jauh bahkan meninggalkan dirinya tanpa jawaban yang pasti. Tatapannya semakin dalam.
Menelanjangi dirinya sendiri yang terlihat seperti orang dungu. Baylor menelengkan kepalanya ke samping, seperti mengamati sesuatu. Lalu sebelah tangannya terangkat.
Jari jemari panjang dengan kuku putih itu terangkat, berusaha menyentuh seorang atensi didepannya. Itu dia? Terlihat miris.
Baylor menyentuh permukaan kaca itu dengan dramatis, pupil matanya membesar. Selaras dengan wajahnya yang perlahan mendekat ke arah benda yang memantulkan bayang dirinya.
Semakin dekat, semakin dekat dan berhenti. Ketika pucuk hidungnya hampir mengenai permukaan itu. Dapat ia lihat wajahnya yang benar-benar mengerikan.
"shit." gumamnya, kemudian ia menjauhkan wajah.
Ngiingg
Tiba-tiba telinganya berdenging ribut, dentingan itu seperti melesat masuk secara paksa ke dalam Indranya. Dirinya seketika mundur beberapa langkah.
'pfft.. bodoh sekali? dirimu bahkan tidak layak hidup.'
Celaan itu terdengar, jelas sekali. Hal yang sanggup membuat Baylor membatu.
Utuh terdiam dan membeku.
Pupil matanya membesar, dirinya terkejut saat menatap seseorang yang tengah menatap dirinya. Itu dirinya sendiri?
.
.
.
Perlahan, senandung lagu itu di bunyikan. Matahari mulai memancarkan sinar oranye miliknya. Mulai melingkupi kota yang penuh dengan hingar-bingar manusia yang berlalu lalang.
Mobil sibuk berlalu disepanjang jembatan itu, dibawah jembatan terdapat pemandangan laut yang menunjukkan pertunjukan megah, dimana mentari mulai menyembunyikan sinar miliknya.
Walaupun keadaan disana ramai, tidak juga membuat seorang wanita yang tengah melamun itu terganggu.
Tatapan mata coklatnya menangkap cahaya mentari yang mulai terbenam, terlihat begitu cantik dan syahdu. Tapi, entah kenapa menjadikan keadaan disekitar wanita itu terasa lebih sendu.
Mungkin karena hatinya, tengah merindukan seseorang dengan teramat sangat.
Grepp
Wanita itu menunduk, mencengkram baju di dadanya dengan sedikit kuat. Giginya menderit, dirasa-rasa semua itu terlihat begitu menyakitkan. Dirinya merasa jika, perasaan yang perlahan semakin besar ini, semakin menyiksa.
Dirinya merasa jika semuanya salah.
Semua serba salah.
Bersama pria itu membuatnya sakit, tetapi jika tidak bersamanya, Akan lebih sakit.
.
.
.