"Jadi, kau ingin aku membayar berapa?" tanya Hana sekali lagi. Nada suara Hana terkesan menantang.
"Tidak seru jika membayarnya dengan uang. Aku adalah orang kaya, aku tidak membutuhkan sepeser pun uang dari orang lain," cetus Johandra dengan bangganya.
Mendengar ucapan Johandra yang terkesan angkuh, Hana pun hanya tersenyum kecil. Kemudian, ia pun berkacak sebelah pinggang. Tangan kanannya ditempatkan di pinggangnya.
"Hufft ... ." Hana menghela nafasnya sekejap, lalu melanjutkan perkataannya, "Lalu? Kau ingin aku membayar kompensasi dengan cara apa? Kau ini pamrih ya? Hanya benturan kecil seperti itu saja kau minta ganti rugi." Hana memprotes tindakan Johandra.
"Tentu saja, permintaan maaf saja tidak akan cukup. Jika ada orang yang mencuri di rumahmu, lalu kau melepaskannya dan memaafkannya begitu saja, tentu saja pencuri itu akan datang kembali keesokan harinya. Pencuri datang bukan untuk berkunjung dan berganti status menjadi tamu. Pencuri tetaplah pencuri, karena mencuri adalah kebiasaannya. Dia pasti akan datang untuk mencuri sesuatu yang lebih berharga nilainya," jelas Johandra panjang lebar.
Reyhana yang mendengarkan penjelasan panjang lebar dari Johandra pun hanya bisa menarik kedua belah bibirnya, tetapi bukan tersenyum . Reyhana menatap wajah Johandra dengan serius, lalu melunturkan keseriusannya itu dengan kedipan kedua mata.
"Apa kau berlagak seperti personal F4? Katakan saja, jika permintaan maaf saja bisa menyelesaikan masalah, lalu apa gunanya hukum dan polisi? Itu bukan, yang ingin kau katakan?" Hana langsung berbicara to the point kepada Johandra.
Johandra langsung memetik jarinya, ketika Hana meringkas apa yang dimaksudkan oleh Johandra dengan sempurna.
"Bingo! Sesuai dengan rumornya, kau ternyata memang gadis yang pintar." Memuji Hana dengan sengaja.
"Apa kau juga mengikuti informasi tentangku? Iya sih, aku adalah 'Summer' seoang gadis yang paling populer di kampus ini," ucap Hana dengan bangganya.
Mendengar ucapan Hana yang terkesan percaya diri, Johandra semakin menunjukkan ketertarikannya kepada Hana. Ia memperhatikan Hana dengan seksama dan seribu tanya dalam otaknya.
"Kau percaya diri juga rupanya. Menarik." Ungkapan Johandra membuat Hana semakin bangga diri.
"Tentu sa ... ." Hana menggantung ucapannya dengan sengaja. Lalu, dia mengganti topiknya, " Jadi, jika uang bukan yang kau inginkan... Lalu, apa yang kau inginkan?" Hana kembali mengalihkan ke topik utama.
Johandra tidak menjawab pertanyaan Hana, dan malah berjalan mendekati Hana, selangkah demi selangkah. Hana pun hanya bisa memundurkan tubuhnya, sampai ia terpojokkan kembali di tembok.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Hana, karena tidak mengerti dengan apa yang tengah terjadi.
"Apa yang akan aku lakukan selanjutnya, bisakah kau memikirkannya, atau sederhananya... menebaknya?" Johandra sengaja melontarkan pertanyaan berkesan rayuan kepada Hana.
Johandra semakin mendekatkan wajahnya ke dekat wajah Hana. Hembusan nafas Johandra saat ini terasa semilir di pipi Hana.
Hana sendiri tidak tahu apa yang tengah merasukinya, tetapi ia tiba-tiba memejamkan matanya. Johandra tersenyum dan menyeringai, lalu ia memundurkan tubuhnya kembali.
Hana pun akhirnya membuka matanya kembali. Ketika melihat Johandra yang tengah berdiri jauh darinya, urat malu Hana pun terangsang kembali. Hana menyipitkan matanya.
Hana kembali melarikan diri dari Johandra. Namun, langkahnya kali ini benar-benar terhenti lagi, ketika Johandra lebih dulu berjalan menghadang Hana.
"Jika ingin mengambil kembali bukumu, kafe sebelah jam 15.40 WIB, aku tunggu di sana. Jangan sampai tidak datang. Aku anggap sebagai permintaan maafmu kepadaku," ucap Johandra sembari berjalan melewati tubuh Hana.
Hana menatap wajah Johandra dan menjawab bercampur rasa malunya, "Baik, baiklah. Aku pasti akan menyusul ke sana, tetapi hanya karena memenuhi kompensasi permintaan maafku. Setelah itu, aku harap kau memaafkanku dan kita jangan berurusan kembali," cetus Hana. Dia sudah kehilangan wajahnya..
Mendengar ucapan Hana yang terasa asing di telinganya, Johandra pun kembali menghentikan langkahnya.
"Kenapa hanya itu?" tanya Johandra, lalu ia pun melanjutkan dengan perkataan lain, "Tidak, tidak, kita lihat saja lagi. Siapa tahu kau adalah takdirku," tutur Johandra dengan sikap narsistiknya.
Hana yang mendengar hal itu pun merasa heran dan menunjukkan sikapnya yang tidak biasa, "Ha?" Hana melongo, lalu tersadar kembali dan berlalu dengan cepat.
Hana menghentikan langkahnya, ketika ia merasa telah jauh dari jangkauan Johandra. Hana menghentikan langkahnya di bawah tangga yang berjarak sekitar 10 meter, dari tempat Johandra berada.
"Ya ampun Hana, kenapa kau bisa dijadikan serendah ini? Untung saja dia tampan. Jika tidak, aku pasti akan menendang kakinya dan mematahkan kedua lengannya. Bisa-bisanya aku luluh di depannya. Hana, sepertinya kau harus lebih belajar dalam menghadapi wajah-wajah tampan seperti itu." Batin Hana terus-terusan menggerutu.
Setelah melampiaskan kekesalan dalam hatinya, Hana pun menaiki tangga yang berada di dekatnya. Sedangkan Johandra sedari tadi tetap menatap Hana yang masih berada dalam jangkauan pandangannya.
Johandra tetap berada di tempatnya, meski Hana sudah menghilang dari pandangannya. Dengan tubuh tegapnya, Johandra melipat kedua lengannya di depan dada, lalu tersenyum dengan licik.
Tiba-tiba, seseorang menghampirinya dan berdiri di sanding Johandra. Mereka berada dalam posisi yang sama, lalu ia berkata, "Bagaimana? Apakah berjalan dengan lancar?" tanyanya kepada Johandra.
"Aku pikir akan susah, tapi ternyata... tidak sesulit yang kukira. Sepertinya, Rey terlalu memandang tinggi nilai Hana, sampai ia mengatakan 'Hana tidak mudah didapatkan' tapi sepertinya, Hana lebih mudah dari yang kukira. Hanya dengan ketampananku saja, dia bisa dengan mudahnya terluluhkan olehku," ungkap Johandra dengan sikap puasnya.
"Sudah kuduga, dia memang wanita murahan," cetusnya. Ia tak lain adalah Resti. Sama dengan Hana dan Rey, hubungan antara Resti dan Johandra adalah teman masa kecil yang sangat dekat.
"Step 1 berhasil, apa kita harus melanjutkan ke step berikutnya?" tanya Johandra kepada Resti.
Johandra kemudian memalingkan wajahnya ke arah samping, menatap resti yang tepat berada di sampingnya. Resti pun ikut tersenyum dan menunjukkan kepuasannya.
"Tentu saja. Kita tidak bisa berhenti, setelah kita mendapatkan sebuah tiket kesempatan. Kita bukan berada di atas ring, tapi kita sedang melakukan eksperimen. Step 2, bersiaplah!" cetus Resti.
Setelah menyelesaikan perkataannya, mata lurus memandang pun Resti lirikkan ke arah Johandra yang berada di sampingnya. Johandra dan Resti saling menatap dengan tatapan yang penuh ambisi di antara keduanya.
Lalu, Johandra mengulurkan telapak tangannya ke hadapan Resti, Resti pun melihat telapak tangan besar Johandra. Kemudian, Resti tersenyum dan menepuk telapak tangan Johandra dengan telapak tangannya. Mereka kembali saling menatap dengan penuh ambisi.
"Mari kita susun rencana kedua," ucap Johandra sembari menyenggol tubuh Resti di sampingnya.
"Aishh, kebiasaan! Jangan senggol-senggol, dasar anak bau!!! Untung saja kau memiliki ide brillian kali ini. Jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu." Kesal dengan sikap Johandra.
"Baik, baik. Setelah rencana berhasil, dendam temanku ini akan terbalasakan," ujar Johandra.
Resti hanya tersenyum dengan puas mendengarnya.