Chereads / Misteri Dendam Kembar Nama / Chapter 20 - Seorang Pembunuh

Chapter 20 - Seorang Pembunuh

Kali ini, sikap Rey benar-benar sangat serius dan terkesan menakutkan, seperti iblis yang tengah dipenuhi dengan dendam kesumatnya terhadap manusia bumi.

"Rey, aku mohon lepaskan aku! Aku sudah memohon kepadamu seperti ini. Punggungku sangat sakit, aku tidak bisa bernafas. Aku mohon ... ." Ucapan Hana terbata-bata karena nafasnya tak lega.

Pada akhirnya, Hana menyerah kepada Rey. Ia merendahkan harga dirinya dan meminta Rey untuk segera melepaskannya. Akan tetapi, permohonan Hana tidak membuat Rey berbelas kasihan sedikit pun.

"Seorang curut hina sepertimu... ternyata berani memohon pengampunan dari kucing. Aku adalah kucing kelaparan. Pikirkan saja, apakah kucing yang kelaparan akan melepaskan tikus yang sudah ia terkam? Hana, kau tidak bisa lepas dari cengkramanku. Aku bisa menyakitimu, bahkan lebih dari ini," cetus Rey.

Rey semakin menekan tubuh Hana di tembok dan membuat Hana semakin merasa kesakitan. Hana tak bisa lagi leluasa bergerak, dan kedua telapak tangannya mengepal. Kali ini, kepalan tangan Hana bukan untuk menahan emosi, tetapi menahan rasa sakit tubuhnya yang dijepit oleh Rey di tembok.

Hana memejamkan dalam matanya dan menahan rasa sakit punggungnya, lalu Hana tak sanggup lagi dan berucap, "Rey, apa kau benar-benar ingin membunuhku? Kenapa kau bisa sekejam ini kepadaku?" tanya Hana. Nadanya lirih dan dengan nafas yang terengah-engah.

"Aku sangat ingin membunuhmu, jika aku bisa. Sudah sangat lama aku ingin membunuhmu, bahkan jauh sebelum hari ini dan beberapa hari yang lalu. Andai hukum dan dosa tidak ada, kau adalah makhluk pertama yang akan kubunuh," cetus Rey dengan perasaan geram.

Hana menatap Rey dengan tatapan tajam, matanya memerah. Hingga akhirnya, tetesan bening menetes di antara netra cokelatnya. Hana terus menatap Rey tanpa berkedip sekalipun. Mereka saling menatap dengan tajam, seperti hunusan pedang panjang.

Lalu, Hana pun akhirnya angkat bicara, "Kenapa?" tanya Hana dengan singkat dan gentar.

"Kau memang tidak tahu diri. Beraninya kau menanyakan 'kenapa' padaku? Kau benar-benar ingin tahu alasan yang sebenarnya?!!" Rey membentak Hana dengan bentakan yang kasar, tanpa melunak sedikit pun kepada sosok Hana yang dihimpitnya.

Hana terosontak kaget dan reflek memejamkan kedua matanya. Ia menundukkan kepalanya dengan mata yang terpejam.

Dengan rasa takutnya, Hana pun angkat bicara dengan terbata-bata. "Karena apa? Katakan saja, aku siap mendengarnya. Kenapa kau sangat membenciku?" tanya Hana. Matanya terpejam dan terus meneteskan tetesan bening tanpa henti.

"Camkan dengan baik! Kau adalah orangnya, orang yang membunuh ibuku. Kau adalah orang yang membunuhnya!" ungkap Reyhan dengan lantang.

Hana mengedipakan netranya, menundukkan kepalanya, menarik nafasnya, lalu mengangkat kepalanya kembali. Hana pun kembali menatap wajah Rey dengan tatapan sendu.

"Aku tidak mengerti maksudmu. Rey, aku tidak membunuh ibumu. Aku tidak membunuhnya. Kau tahu sendiri, itu semua hanyalah kecelakaan," ucap Hana dengan lirih.

"Benar-benar tidak punya rasa malu! Sudah seperti ini, kau masih ingin menyangkal? Hana, kau membunuh ibuku. Perlu dipaku dalam otakmu, kau adalah pembunuh. Hana adalah seorang pembunuh. Kau adalah penyebab kematian ibuku. Jika bukan karenamu, ibuku tidak akan meninggalkanku secepat ini." Rey menegaskan kata-kata itu berulang-ulang hanya untuk menggores kuas tebal, di dalam otak Hana.

Hana melunturkan pandangannya dan menatap lurus ke arah depan. Hana tak lagi menatap wajah Rey dengan tajam. Pikiran Hana mulai kacau balau meracau.

Hana menggigit kedua belah bibirnya, menundukkan kepalanya, dan menangis sejadi-jadinya. Saat itulah, Rey mulai melonggarkan himpitannya. Dia mulai melepaskan Hana.

"Tidak, kau bohong. Aku bukanlah pembunuh. Aku bukanlah seorang pembunuh. Itu hanyalah kecelakaan. Aku tidak pernah membunuh siapa pun. Tidak, kau berbohong! Kau hanya ingin menakut-nakutiku." Ucapan Hana mulai meracau sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Rey berjalan mundur menjauhi Hana, lalu Rey menarik setengah bibirnya dan menyeringai. "Hekh! Terus saja mengelak. Di mana-mana, tidak ada pembunuh yang merasa bersalah atas tindakannya. Apa kau sudah mengerti dengan jelas, alasanku membencimu? Sudah kubilang, karena kau adalah Hana. Hana adalah seorang pembunuh yang membunuh ibuku. Menerima kenyataan bahwa nama kita mirip saja sudah terasa jijik. Reyhana Allesta Dwindra, kenapa namamu harus sama dengan nama Reyhan Allexa Dwiputra? Mengetahui nama yang mirip dengan seorang pembunuh, membuatku semakin terhina. Kau merenggut nyawa ibuku, merebut namaku, dan kini, kau ingin merebut kebahagiaanku dengan menikahimu? Kau sangat serakah, ya? Aku sangat salut. Ingat saja dalam otakmu, kau... adalah pembunuh ibuku."

Reyhan menegaskan perkataannya sembari berjalan mundur, menjauhi Hana selangkah demi selangkah.

Reyhan sengaja melambatkan langkahnya, agar Hana mendengar ucapannya dengan jelas dan agar terkesan berbekas. Berbekas dalam hatinya dan tersimpan dalam memorinya.

Setelah Reyhan menyelesaikan perkataannya dan mengungkap semuanya, Reyhan pun segera berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Hana di sana sendirian.

Pikiran Hana masih kacau balau dan semakin meracau. Mentalnya seperti terpukul oleh jeruji besi. Tatapan matanya mulai pudar, lututnya melemas, dan Hana pun akhirnya menjatuhkan dirinya sendiri di atas tanah. Tubuhnya merosot, penuh dengan keputusasaan.

Hana menggeleng-gelengkan kepalanya dan terus mengelak, "Tidak, bukan aku orang yang membunuhnya. Semua hanyalah kecelakaan!!!" Hana kemudian berteriak sekencang-kencangnya, dan mengacak-acak rambutnya. "Aaaaa!!!" teriaknya.

Hana berusaha menyangkal kenyataan yang diungkapkan oleh satu pihak, yaitu Rey. Hana sendiri tidak tahu kejadian yang sebenarnya, karena pada saat itu, Hana sendiri tidak sadarkan diri selama beberapa hari.

Hana berteriak sekencang-kencangnya sambil menangis tanpa henti. "Tante Rini, apakah aku yang membunuhmu? Tante Rini, benarkah akulah penyebab kematian Tante. Konyol sekali, aku bahkan berharap Tente bisa memperjelas segalanya. Tante... maafkan aku. Apakah ini hukumanku?" Batin Hana bertanya-tanya kepada orang yang telah tiada, yang tak lain adalah ibu Rey.

Hana menekuk lututnya, lalu menundukkan kepalanya, setelah itu, menyandandarkan keningnya di lututnya sambil menangis. Akan tetapi, tiba-tiba Hana terganggu karena mencium bau yang tidak ia suka.

"Bau rokok?" batin Hana.

Hana pun berhenti menangis, lalu mengangkat kepalanya. Ketika ia mendongakkan kepalanya, ia mendapati seorang pria dengan tubuh jangkung yang sedang menyesap rokoknya di jarak antara 2 meter dari tempat Hana berpijak.

Ketika Hana menatap wajah pria itu, pria itu pun hanya melirik wajah Hana sekilas. Akan tetapi, ia kembali pada kesenangannya, yaitu menyesap rokoknya untuk menghilangkan stress di kepalanya.

Melihat tingkah pria itu, Hana pun langsung mengernyitkan kedua alisnya. Hana merasa bahwa tingkahnya sedikit tidak sopan dan semena-mena, menurut sudut pandang Hana.

"Kenapa kau merokok di sini?" tanya Hana dengan nada dan ekspresi datar.

"Kenapa kau menangis di sini? Hingga kemarin, aku tahunya tempat ini adalah tempat kami merokok. Aku saja baru tahu kalau tempat ini berubah status menjadi tempat menangis para gadis," cetusnya dengan sembrono.