"Hei, kau berani memukul wajahku?!!" sentak Johandra, karena ia merasa tidak terima dengan perlakuan yang dilakukan oleh Rey kepadanya.
Johandra menatap Rey dengan tatapan setajam elang. Ia memegangi bibirnya yang terasa nyeri, karena pukulan yang baru saja diluncurkan Rey kepadanya.
"Enyah kau, jangan sentuh Hana!" ancam Rey dengan sikap geramnya yang terlihat tidak main-main.
Rey menarik tubuh Hana dan menjatuhkannya ke dada bidangnya. Kepala Hana ditempatkan di bahu lebar milik Rey.
Johandra hanya tertawa, ketika ia melihat sikap Rey yang terlihat sangat kentara. "Rey, oh Rey. Kau sangat lucu. Rey, kau benar-benar membuatku ingin tertawa," ucap Johandra sebelum ia berlalu pergi. Johandra hanya tertawa-tawa kecil, seperti orang gila, ketika ia beranjak pergi meninggalkan.
"Hana? Hana? Kau kenapa?" tanya Rey kepada Hana sembari menepuk-nepuk pipi Hana.
Hana mulai kehilangan kesadarannya. Wajah Hana mulai merah padam dan terasa panas dirasa telapak tangan Rey. Hana tidak berhenti bergerak dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan siklus lamban.
"Apa ini? Dia dia di bawah pengaruh obat perangsang seksual? Tidak baik. Kita tidak bisa terus seperti ini."
Rey segera menyandarkan tubuh Hana di punggungnya. Kemudian, ia menggendong Hana dan membawanya pergi.
***
"Sudah kubilang, aku bukan pengecut! Hei, di mana kau? Apa kau mengawasiku dari tadi?!!" sentak Johandra.
Setelah pergi menjauh dari urusan Rey dan Hana, Johandra tiba-tiba menerima telepon kembali. Telephon dari orang yang sama, yang baru saja menelephonnya.
"Bagaimana rasanya mendapat pukulan dari seseorang? Apa itu membuatmu sadar seberapa pengecutnya dirimu?" ucap seseorang yang menelephon Johandra.
"Aku tahu kau mengawasiku dari tadi. Resti, di mana kau? Cepat keluar! Jangan bermain petak umpet denganku lagi. Kita sudah besar!" sentak Johandra dengan geram.
Tiba-tiba, seseorang menyentuh bahu Johandra. Johandra pun reflek seketika dan langsung berbalik.
"Aku sudah berhenti bermain. Resti di sini, di hadapanmu," ucap Resti sembari melambaikan tangannya dan memperlihatkan senyum setengah bibirnya.
Johandra hanya mengerutkan keningnya, lalu berusaha menangkis dengan menghela nafasnya. Resti kemudian menurunkan phonsell yang ia tempatkan di telinganya.
"Kenapa? Kau terkejut?" tanya Resti.
"Tentu saja! Kau muncul secara tiba-tiba, seperti hantu Falak di siang bolong," celetuk Johandra karena sangat kesal.
"Kau sendiri yang memintaku muncul," cetus Resti tanpa rasa bersalah.
"Resti, kau! Sudah kubilang, aku bukan pengecut. Aku hampir saja berhasil tadi, jika si berengsek Reyhan itu tidak muncul tiba-tiba," cetus Johandra dengan nada kesal.
"Hanya hampir, tapi belum berhasil kan? Karena itu, aku menyebutmu pengecut! Cerca Resti dengan geram.
Johandra mengacak-acak rambutnya dan menaruh lengan kanannya di pinggulnya. "Hei, apa maksudmu? Aku sudah melakukannya sesuai rencana. Aku sudah menaruh bubuk perangsang seksual di minuman Hana. Jika saja si berengsek Reyhan itu tidak muncul tiba-tiba, aku pasti bisa langsung mencicipinya. Setelah itu, rencana kita benar-benar sukses. Ini bukan sepenuhnya salahku, Rey yang menghancurkan segalanya," jelas Johandra dengan kepala yang hampir meledak dibuat Resti.
"Tidak, Rey hanyalah bagian kecil dari kegagalan rencana kita. Kunci kesalahannya ada pada dirimu. Apa kau pikir, aku bisa dibodohi? Aku melihat segalanya. Kau mulai gagal, karena kau mulai melunak kepada si jalang Hana itu," cetus Resti dengan geram dan tatapan mata nanarnya.
"Apa kau baru saja membela Rey berengsek itu? Hei, sadarlah! Resti, dia yang merusak rencana kita. Sampai di sini, kau masih membelanya. Apa upah yang kau dapatkan darinya? Jangan sok jadi pengacara! Dia tidak membayarmu untuk itu." Johandra memprotes, karena merasa tidak terima.
"Hei, Johandra! Sadarkan dirimu dulu, sebelum mengomentari tindakanku. Rencana kita gagal, karena ulahmu sendiri, bukan ulah orang lain. Rey tidak akan sempat datang, jika kau segera membawa jalang itu pergi. Apa kau tidak sadar, di mana letak kesalahanmu? Johandra, semua terjadi karena perasaan kemanusiaan muncul dari dalam hatimu. Bulsihtt! Di mana Johandra yang dikatakan tidak memiliki perasaan dan hanya nafsu sesaat?" Resti sengaja melontarkan perkataan yang meremehkan Johandra.
Johandra hanya termenung, ketika mendengarkan perkataan dari Resti. Ia hanya sedang memikirkan tentang perkataan Resti yang memang ada benaranya.
Di manakah Johandra yang biasanya?Johandra yang langsung menyikat habis mangsanya, tanpa sebuah pertimbangan.
Kenapa perasaan iba, tiba-tiba muncul untuk Hana?
"Pikirkan dulu baik-baik. Kendalikan dirimu, baru setelah itu . . . kita lanjutkan rencana kita. Mungkin setelah ini, tidak akan mudah. Jalang itu pasti akan menunjukkan sikap was-wasnya kepadamu, setelah yang kau lakukan kepadanya. Pulang saja sana! Makan dan isi energimu, karena perang dunia ke-II, lebih beringas daripada perang dunia ke-I," tutur Resti sembari melipatkan lengan di depan dadanya dengan sikap angkuhnya.
Johandra hanya termenung dan tidak fokus dengan dirinya sendiri. Sedangkan Resti yang melihat sikap Johandra yang seperti itu, hanya menyeringai dan memalingkan matanya ke arah lain.
"Cih! Visual yang bulshitt." Resti meremehkan Johandra.
Kemudian, Resti berjalan melewati tubuh Johandra dan dengan sengaja menyenggol bahu Johandra dengan kasar.
"Akan kulakukan sekarang juga!" cetus Johandra.
Perkataan Johandra membuat Resti menghentikan langkahnya seketika. Resti kemudian menolehkan kepalanya ke arah belakang, menatap punggung Johandra dan tersenyum dengan licik.
"Tidak sia-sia aku mendidik teman sepertimu. Sepertinya... didikkanku selama ini tidak sia-sia," ujar Resti dengan sikap bangga dan puasnya.
"Apa yang harus kulakukan selanjutnya?" tanya Johandra dengan geram, tanpa berbalik sedikit pun. Tatapan matanya, tetap ia tujukan ke arah depan dengan tajam dan penuh dengan ambisi.
Resti membalikkan tubuhnya, sembari menatap punggung Johandra, lalu melipatkan kedua lengannya di depan dadanya lagi. "Bisakah kau memikirkannya?" tanya Resti dengan maksud agar Johandra mencurahkan idenya.
"Otakku buntu. Cepat katakan! Apa pun itu, aku akan segera melakukannya tanpa pertimbangan," cetus Johandra dengan geram.
Melihat sikap Johandra yang sangat ambisius membuat Resti semakin puas dibuatnya. Resti lalu bertepuk tangan dengan keras dan lantang bak menggema.
"Bagus, bagus! Sikap seperti ini, baru yang kusuka. Johandra, kau harus tetap seperti ini. Tetaplah arogan dan tak berperasaan," ucap Resti.
"Omong kosong! Cepat katakan rencanamu, sebelum aku berubah pikiran," cetus Johandra dengan sikap angkuh dan arogannya.
"Susul dia!" ungkap Resti.
Ungkapan Resti membuat netra tajam Johandra mulai membesar. Dengan sikap refkeknya, ia berbalik dan menatap Resti dengan tatapan nanarnya sembari mengernyitkan kedua alisnya.
"Apa kau gila?" cerca Johandra. "Hana saat ini pasti sedang bersama Rey," ungkapnya.
"Kenapa dengan hal itu? Bagiku, itu bukan sesuatu yang patut dipertanyakan. Jangan-jangan... kau takut dengan Rey? Apa pukulan dari Rey membuat mentalmu terluka? Haruskah aku mencarikan seorang psikiater untuk mengobatinya?" Resti sengaja meremehkan Johandra untuk memancingnya.