"Ah, iya. Sepertinya aku... sangat lapar." Hana tersipu malu.
"Setelah ini, makan dan minum obat, ya. Perbanyak istirahat. Kalau begitu, kami pergi dulu." Bersama dengan perawat, Dokter itu berlalu pergi.
Hana menampilkan senyumnya tanpa arti, lalu menilik jam dinding yang menunjukkan pukul 16.54. WIB.
"Sudah sore ternyata. Aku sudah sangat lapar. Sepertinya, jika menunggu makanan rumah sakit, pasti akan lama. Aku juga tidak begitu menyukai makanan rumah sakit." gumam Hana. "Di mana Bibi, ya?" Hana akhirnya tersadar bahwa Bibi nya sedari tadi tidak berada di sampingnya.
Dengan tenaganya, Hana menuruni kasur. Kemudian, ia mendorong tiang infusnya menuju ke luar ruangan. Hana baru sadar bahwa kali ini, pergelangan kakinya terasa nyeri. Sekilas Hana memperhatikan pergelangan kakinya, tetapi ia tidak terlalu memperdulikannya.
Hana terus berjalan keluar dari ruangan rumah sakit yang luas. Seperti biasa, ia selalu diberikan fasilitas VVIP.
Hana tersenyum pada saat ia melihat sosok bibi nya yang tengah berdiri di lorong rumah sakit, yang bertepat di depan ruangan tempat Hana dirawat. Namun, senyum Hana tiba-tiba pudar.
Didapatinya sosok bibi nya yang tengah menelephon seseorang dengan phonsell miliknya. Awalnya ia tampak tenang, tetapi tiba-tiba saja ia tampak kesal, sembari meninggikan nada bicaranya.
Ranti: "Apa kalian gila? Benar-benar sudah tidak waras. Apa kalian akan terus membiarkannya? Aku tidak percaya jika memiliki seorang Kakak yang tidak bertanggung jawab. Kak, Hana baru saja mengalami kecelakaan. Sekarang dia sudah siuman, tapi kalian sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran kalian. Kalian malah lebih mementingkan bisnis sialan itu."
Ayah Hana: "Jaga bicaramu itu! Jika tidak ada bisnis ini, kita sudah lama terlantar di pinggir jalan. Ayah dan Ibu telah mempercayakan perusahaan ini kepada Kakak, sebelum mereka meninggal. Kakak tidak ingin mengecewakan kepercayaan yang mereka berikan. Kau tidak akan pernah mengerti, karena bukan kau yang mengalaminya. Dan juga, kau bisa kuliah dan bergelar sarjana, karena uang yang susah payah Kakak hasilkan dari bisnis ini. Kau tidak berhak menghina apa yang Kakak lakukan."
Ranti: "Aku tahu, aku tahu kalau biaya kuliahku Kakak yang tanggung. Baiklah, anggap saja aku berhutang. Aku pasti akan mengembalikannya. Tenang saja, aku bukan orang yang tidak tahu malu. Jika karena uang sialan yang merenggangkan hubungan kita, aku tidak membutuhkannya."
Ayah Hana: "Ranti!"
Ranti: "Kenapa?!! Aku sudah muak dengan semuanya. Jika begini rasanya memiliki banyak harta, lebih baik aku hidup miskin. Setidaknya, aku masih memiliki kasih sayang manusia. Hana pasti akan sangat sedih, jika mendengar kalian yang lebih mementingkan pekerjaan kalian, dibandingkan putri kalian sendiri."
Ayah Hana terhening selama beberapa menit, sebelum ia mulai membalas telephon dari Ranti.
Ayah Hana: "Hana tidak akan sedih. Dia berbeda denganmu. Dia sudah terbiasa, karena dia anak yang kuat."
Ranti: "Wah! Benar-benar. Aku sampai kehabisan kata-kata. Hana masih sangat kecil, Kak. Dia memang belum banyak mengerti banyak hal, tapi anak seumurannya tentu saja sudah mengerti tentang kasih sayang dan juga penelantaran. Kalian mungkin melihatnya tidak pernah menangis, karena kalian tidak pernah memperhatikannya. Tapi aku sering melihatnya menangis diam-diam. Kak, aku mohon jangan begini. Hana adalah putri semata wayang kalian. Tidak, sudahlah! Manusia yang tidak punya hati tidak akan mengerti. Terserah.
Ranti akhirnya mengakhiri telephonnya. Ia terlihat sangat kesal. Emosinya telah meluap sampai ke ubun-ubun. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri, sembari mengipas-ngipaskan telapak tangannya ke hadapan wajahnya.
Jarak antara Ranti berbicara dengan Hana berpijak saat ini tidak begitu jauh, hanya sekitar 3 meter. Hana awalnya ingin menghampiri bibi nya yang ada luar ruangan, tetapi ia mengurungkan niatnya, ketika ia mengetahui bahwa bibi nya tengah menelephon seseorang. Hana sudah menebak dari dalam hatinya, bahwa yang ditelephon oleh bibi nya adalah ayah Hana.
Hana mengurungkan niatnya, sembari memundurkan langkahnya. Ia menyandarkan tubuhnya di daun pintu. Hana menguping pembicaraan bibi nya, meski ia tidak tahu apa yang dikatakan oleh ayahnya dari seberang telephon. Tidak perlu dijelaskan, Hana sudah tahu bahwa ayahnya pasti tidak akan datang.
Selama ini, yang selalu merawat Hana dan menemani Hana adalah bibi nya. Hanya saja, Ranti tidak bisa selalu di sisi Hana.
Ranti adalah bibi Hana yang masih berumur 24 tahun, beda 14 tahun dengan umur Hana yang kala itu baru menginjak umur 10 tahun. Ranti baru saja wisuda dan mendapat gelar S1. Dia adalah adik kandung dari ayah Hana. Akan tetapi, mereka terlihat tidak akrab, karena hubungan mereka mulai merenggang sejak orangtua mereka meninggal.
Nenek dan Kakek Hana meninggal ketika mereka masih di usia muda. Ayah Hana saat itu berusia 25 tahun, sedangkan Ranti masih berumur 13 tahun. Ayah Hana diwasiatkan seluruh harta kekayaan dan juga perusahaan yang dipercayakan kepadanya untuk dikelola sebaik-baiknya.
Sejak ayah Hana mulai menjalankan bisnis keluarga, hubungan dengan adiknya mulai merenggang. Hingga pada akhirnya, ayah Hana menikah dengan seorang wanita konglomerat yang tak lain adalah ibu Hana. Mereka menikah tidak berdasarkan cinta, dan hanya menikah demi keuntungan bisnis semata. Tidak ada cinta di antara keduanya, bahkan hingga mereka dikaruniai seorang anak.
Reyhana Allesta Dwindra, seorang anak manis yang pintar dan pendiam. Ia tak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya, bahkan sejak ia dilahirkan. Bahkan, ibu Hana sampai jarang sekali memberinya ASI, karena ia terlalu sibuk bekerja. Pekerjaan di atas segala-galanya bagi orangtua Hana.
Hana disusui oleh ibu sambung yang dibayar mahal oleh kedua orangtuanya. Ada sedikit peristiwa yang unik, ketika Hana dilahirkan.
Hana dilahirkan di hari yang sama dengan Rey. Mereka dilahirkan di hari yang sama, tanggal yang sama, bulan sama, tahun sama, jam sama, menit sama, hanya detik yang membedakannya saja. Maka dari itu, mereka diberi sebuah nama yang hampir sama.
Reyhana Allesta Dwindra dan Reyhan Allexa Dwiputra. Mereka bak bayi kembar pengantin, ketika mereka disatukan di tempat tidur yang sama selama sejenak.
Ayah Hana dan Rey adalah seorang teman kecil dan juga rekan kerjasama dalam bisnis. Rumah mereka pun bertetanggaan sejak lama. Mereka adalah sahabat baik sejak mereka sekolah, hingga bergelar sarjana.
Ibu Rey hanyalah wanita biasa yang menjadi seorang ibu rumah tangga. Oleh sebab itu, waktu untuk Rey di atas segala-galanya baginya. Berbeda dengan Hana yang dicarikan seorang Ibu pengganti untuk menyusuinya.
Ibu Rey yang bernama Rini pun merasa kasihan dengan Hana. Ia berencana ingin memberikan ASI nya kepada Hana, sewaktu-waktu ibu penggantinya belum datang. Akan tetapi, tindakannya itu dicegah oleh suaminya.