Chereads / Tuan CEO, Jangan Cintai Aku! / Chapter 17 - Bisakah Kita Akhiri Saja, Elma?

Chapter 17 - Bisakah Kita Akhiri Saja, Elma?

Adler mencoba untuk menghubungi ponsel Genevieve. Tersambung, tetapi tidak diangkat.

"Ck! Apa kau marah padaku, Genna? Atau terjadi sesuatu?" Adler bergumam kepada dirinya sendiri.

Jemarinya menekan ulang nomor ponsel milik Genevieve. Sama. Tetap tidak ada jawaban.

"Oh, ayolah! Bagaimana aku bisa membawamu kepada Nenek, kalau telepon saja tidak diangkat." keluh Adler. Ia menjadi resah.

Adler meletakkan ponsel itu di dashboard mobil. "Lebih baik aku langsung ke flatmu saja. Tidak mungkin kau seharian mengurung diri, kan?"

Adler pun bergegas hendak melajukan mobil keluar dari kediaman Wirtz. Sayangnya, mobil Elma justru sampai dan diparkir di depan jalan yang akan dilalui oleh Adler. Gadis itu keluar dari mobil dan menghampirinya.

"Oh, Tuhan. Kenapa dia sudah datang sepagi ini?" Adler menggumam kesal.

TOK

TOK

Elma mengetuk pintu kaca mobil Adler. Terpaksa lelaki itu menurunkan kacanya.

"Selamat pagi, Tampan. Apa kau sama sekali tidak rindu padaku, hm?" Elma mencondongkan tubuh melalui jendela kaca itu. Ia tersenyum manis sekali.

Aroma parfum mahal menguar lembut dari rambut dan tubuh Elma. Perpaduan antara aroma vanila dan mawar yang memberi kesan seksi pada pemakainya.

"Jangan di sini, El. Aku tak mau para pelayan memergoki kita." Adler mengelak.

Elma mencebik lalu menarik tubuhnya menjauh dari jendela kaca mobil itu. Padahal dress yang dikenakannya sudah cukup menggoda mata laki-laki. Namun, tetap saja Adler tak tertarik sama sekali.

Elma pura-pura membenarkan tali spaghetti dress yang dikenakannya. Adler melirik sepintas.

"Kau mau ke mana dengan pakaian seperti itu?" tanya Adler.

Elma melebarkan senyuman. "Menemui kamu. Aku rindu. Sudah lama kita tidak--"

"Kau tahu aku sangat sibuk bekerja, El." Adler segera memotong ucapan gadis itu. "Aku harus pergi meeting sebentar lagi. Kau ngobrol saja dengan Franka atau Nenek."

"Please, Ad. Apa aku akan selalu diabaikan seperti ini? Kau sudah tidak mencintai aku lagi?" Elma menatap Adler dengan mata berkaca-kaca hendak menangis.

'Astaga. Kenapa aku harus mengalami drama pagi seperti ini?' keluh Adler dalam hati.

"Apa maumu, El? Tas? Berlian? Sepatu terbaru dari brand kesayanganmu itu?" Adler bertanya dengan nada dingin. Kesabarannya semakin lama semakin cepat hilang.

Elma menggeleng. "Kau, Ad. Aku membutuhkanmu."

Adler mengembuskan napas, lelah. Elma selalu bertingkah seperti ini. Padahal beberapa hari belakangan, Adler sudah merasa nyaman tanpa gangguan dan rengekan dari wanita Ini.

"Aku harus kerja, El. Kau sendiri tau bagaimana sibuknya aku."

"Tapi tidak bisakah kau menemani aku? Tolong, kali ini saja. Aku rindu." Elma memohon.

Perempuan itu tidak peduli sekali pun harus mengemis cinta dari Adler. Elma tahu pasti kalau Adler memang akan pergi bekerja. Namun, akhir-akhir ini sikap Adler yang semakin dingin membuatnya cemas. Ia tak mau dibuang begitu saja kalau Adler sudah bosan kepadanya.

Melihat tatapan memelas Elma, Adler merasa tak enak hati. Bagaimanapun belum ada kesepakatan untuk mengakhiri hubungan yang terlanjur mengambang itu.

"Baiklah. Aku akan menemanimu sebentar." Adler turun dari mobil.

Tanpa menunggu insiatif dari Adler, Elma langsung menggandengnya mesra. "Terima kasih, Sayangku."

Beberapa pelayan mengangguk hormat ke arah keduanya. Elma membalas dengan mengangkat tinggi dagunya. Seakan-akan menunjukkan siapa dirinya di hadapan para pelayan keluarga Wirtz itu.

Namun, ketika mereka menemui Nyonya Ross, Elma langsung mengganti sikap. Menjadi sangat manja pada wanita tua itu.

"Nenek, El rindu." Elma langsung melepaskan diri dari Adler lalu menghambur ke pelukan Nyonya Ross.

"Ah, El Cantik. Dari mana saja kau? Kenapa tidak mengunjungi nenekmu ini?" Nyonya Ross mengelus rambut calon istri cucunya itu.

"Maaf, Nek. Aku sedang sangat sibuk. Temanku, seorang desainer, sedang memintaku untuk menjadi konsultan rancangannya untuk musim dingin nanti," kata Elma.

"Kau tampak kurus, Sayang. Lihat, tulang pipimu menonjol. Apa kau diet ketat lagi?" Nyonya Ross menepuk lembut pipi Elma.

Elma hanya tersenyum manja dan berkata, "Aku baik-baik saja."

"Nek, aku titip El, ya. Aku harus kembali ke kantor." Adler mengambil kesempatan untuk melarikan diri.

"Tidak!" Keduanya serempak menolak.

Alder hanya bisa menatap pasrah. Jika Nenek sudah memutuskan sesuatu, Adler tidak pernah berani membantah.

Adler langsung menarik kursi untuk duduk di hadapan dua wanita lintas generasi itu. "Baiklah. Aku akan di sini."

Elma langsung memeluk Nyonya Ross. "Terima kasih, Nek. El susah payah membujuk, tetapi cuma Nenek yang bisa membuat Ad menurut," bisiknya.

"Aku mendukung penuh hubungan kalian, Sayang." Nyonya Ross balas berbisik.

Kedua wanita itu tertawa bersama. Sedangkan Adler hanya bisa menyugar rambut karena merasa terjebak akan situasi yang sebentar lagi akan berubah memojokkan dirinya.

"Ad, jangan terlalu sibuk. Sesekali pergilah berkencan dengan El."

"Nenek," rengek Elma. "Bilang padanya jangan mengabaikan El. El rindu."

Adler ingin melotot pada Elma. Namun, tidak mungkin karena Nenek sedang menatap tajam ke arah Adler.

"Addie, kau mendengar dengan jelas permintaan Elma, bukan?"

"Iya, Nek."

"Bilang kepadanya kalau El tak melulu suka disogok dengan barang-barang mewah. El suka disayang dan dimanja, Nenek." Elma menatap Nenek Ross dengan wajah tampak seperti hendak menangis.

Kepala Adler mulai pusing. Dulu, sisi rapuh dan manja Elma membuatnya merasa ingin melindungi, belakangan tidak lagi. Adler merasa bosan.

"Addie!"

"Iya, Nenek. Semuanya sudah aku dengar dengan baik." Adler menekan rasa dongkol yang mulai muncul.

"Lupakan sejenak urusan pekerjaan. Pergilah berkencan. Kalian bisa nonton atau duduk di taman." Nyonya Ross mengedikkan bahu, merasa tidak begitu up date dengan gaya berkencan anak zaman sekarang.

Lagi, Alder tak bisa membantah keinginan sang Nenek. Untung saja, Franka Wirtz tidak ikut nimbrung. Seandainya wanita itu ada, maka Elma akan semakin besar kepala karena bertambah banyak yang membela.

"Addie, cinta itu tak cukup hanya dengan membeli hadiah. Terkadang ciuman atau perhatian juga bisa melebihi hadiah mahal."

"Ayo, Sayang. Nenek meminta kita untuk berkencan." Elma mengulurkan tangan pada Adler.

Di bawah lirikan tajam sang Nenek, Adler terpaksa menyambut uluran tangan Elma.

Elma masih sempat menoleh lalu melambai manja pada Nyonya Ross sembari mengedipkan sebelah mata. Wanita sepuh itu hanya mengacungkan jempol pada calon cucu menantunya.

Sesampainya di parkiran mobil, Adler langsung melepaskan tangan Elma. "Bisakah kita akhiri saja semuanya? Aku lelah, El."

Mata indah milik Elma membelalak. Gadis itu merasa seluruh kepercayaan dirinya hancur.

Jadi begitu ya….

Apakah ini saatnya Adler benar-benar akan membuangku? Pikir gadis itu dengan sepasang mata yang mulai digenangi air bening.

"Ke… kenapa kau berkata begitu?" tanyanya dengan suara serak terisak.