"Mommy, lapel." Liesel mengelus perutnya.
Genevieve tersenyum. Gadis kecilnya sudah sembuh. "Mau makan apa?"
"Spaghetti."
Dahulu, mendiang ibunya selalu membuatkan spaghetti. Mellysa dan Genevieve sangat menyukai makanan itu. Maka Genevieve pun mewariskan makanan kesukaan itu pada Liesel.
"Oke. Tunggulah sebentar, akan Mommy buatkan untukmu."
Hari ini Beatrice tidak datang ke flat mereka. Ada kuliah pagi yang harus dikejar. Bagi Genevieve, skors dari tempat kerjanya itu ternyata ada gunanya. Di saat Beatrice tidak bisa mengasuh Liesel, dia justru bisa menghabiskan waktu bersama gadis kecilnya tersayang.
Setelah spaghetti itu tersaji di meja kecil di tengah ruangan, Genevieve menggendong Liesel. "Ayo, Mommy suapi. Lily makan yang banyak. Biar sehat lagi."
"Bibi Bee mana?"
"Bibi pergi kuliah. Hari ini Mommy yang menemani Lily seharian."
"Oke, Mommy."
Sayangnya, masih separuh porsi, Liesel sudah mengatakan kenyang. Maka Genevieve yang menghabiskan sisanya.
"Mommy, apa boleh membacakan dongeng untuk Lily?"
"Boleh, Schatz."
Biasanya, Genevieve memang rutin membacakan dongeng untuk gadis kecil itu. Biasanya, Genevieve menunggu Liesel tidur terlebih dahulu baru dia ikut berbaring. Karena ranjang mereka yang terlalu sempit ditiduri untuk dua orang.
Sisi baiknya, Liesel dan Genevieve tidur saling berpelukan sepanjang malam. Ikatan kasih sayang di antara keduanya sungguh sangat erat.
"Mommy, boleh kita duduk di taman depan?" Liesel bertanya di tengah-tengah Genevieve asyik mendongeng tentang putri raja.
"Oh, boleh. Tapi hanya sebentar. Kenapa? Lily bosan?"
"Ya, Mommy. Biasanya Bibi Bee sesekali mengajak Lily duduk di luar."
Genevieve mendesah. Tak cukup hanya ucapan terima kasih saja atas semua cinta dan kebaikan hati Beatrice.
"Tuhan itu baik, ya, Mommy."
"Ya, Schatz."
"Ayo, kita kelual." Liesel mengulurkan tangan, minta kembali digendong.
"Apa Lily yakin mau keluar?"
"He em."
Genevieve membawa Liesel turun dari flat. Gadis kecil itu bersenandung kecil. Genevieve tersenyum, kondisi Liesel sudah jauh lebih baik.
Mereka duduk di taman yang kebetulan sedang sepi. Karena belum pulih betul, Liesel cuma duduk di sisi Genevieve saja.
Genevieve memandang lurus, menikmati udara sejuk yang berembus membelai wajah. "Lily, apa kau mau kalau bulan depan kita berlibur bersama Bibi?"
"Mau, Mommy. Yeay." Liesel memekik kegirangan, kedua kakinya berayun di kolong bangku taman.
Genevieve mengelus rambut Liesel. Sudah diniatkan oleh Genevieve untuk menghadiahkan sesuatu di hari libur seusai gajian.
Terlebih ketika status Genevieve sudah menjadi karyawan tetap, akan ada pertukaran jam kerja. Sehingga waktu untuk menjaga Liesel bisa bergantian dengan Beatrice.
"Lily sayang Mommy." Liesel memeluk tubuh Genevieve.
"Ah, Schatz. Mommy mencintaimu melebihi apa pun di dunia ini."
Ingatan Genevieve melayang pada masa-masa awal merawat bayi. Sebagai gadis muda yang minim pengetahuan, semua butuh penyesuaian. Terlebih ketika tidak ada keluarga yang tersisa.
Genevieve sering ikut menangis seiring dengan lengkingan suara yang keluar dari bibir mungil Liesel saat masih bayi. Ketika malam tiba, dia meringkuk di pojok kamar sembari memeluk lutut.
Pikiran Genevieve campur aduk. Kehilangan Mellysa sudah cukup membuatnya terpuruk, ditambah lagi dengan kehadiran bayi mungil yang tak diharapkan.
Cemoohan dari tetangga pun harus ditelan mentah-mentah. Hanya ada satu wanita tua yang sudi melindungi Genevieve dan Liesel kecil. Ya, Nyonya Debby Marchen.
Saat itu, Genevieve merasa memiliki tempat untuk bersandar dan berbagi cerita. Sayang, sosok malaikat pelindung itu tak selamanya bisa menemani Genevieve.
'Tuhan memberkatimu, Nyonya Marchen. Damailah di surga-Nya.' Genevieve mengirim doa.
Celotehan Liesel menyentak kesadaran Genevieve. Putri kecil itu bercerita tentang kebiasaan bersama Beatrice dengan gaya cadelnya.
Genevieve menatap haru. Dahulu, Liesel lebih sering dititip bersama Nyonya Marchen. Karena Genevieve harus bekerja apa saja demi membeli susu dan vitamin Liesel.
Momen kebersamaan sederhana seperti yang sedang mereka lakukan saat ini adalah hal sulit. Karena waktu yang Genevieve punya sangat terbatas.
"Kita masuk, yuk. Mommy tidak mau demamnya datang lagi."
Liesel mengangguk. Genevieve langsung menggendong gadis kecil bermata jernih itu.
"Ah, kau sudah besar. Mommy hampir tidak sanggup menggendongmu lagi." Genevieve memasang wajah jenaka.
Tawa Liesel berderai. Lengan mungil itu pun langsung memeluk leher Genevieve.
Tepat ketika Genevieve dan Liesel baru sampai di kamar, terdengar suara ketukan di pintu.
"Ada tamu, Mommy."
"Mungkin Bibi Beatrice, Schatz." Genevieve mendudukkan Liesel di atas ranjang. "Tunggu sebentar, ya."
Benar. Ketika pintu itu dibuka, Beatrice muncul dengan senyuman lebar. "Hai, aku pulang."
"Masuklah, Bee. Sepertinya Lily merindukan bibinya."
Beatrice langsung menghampiri Liesel. "Hai, Gadis Kecilku yang cantik. Sudah sembuh, kan?"
"Sudah, Bibi. Tadi kami ke taman depan." Liesel langsung melapor.
"Hm. Lily kecil sangat suka ke taman. Itu tandanya kau sudah benar-benar sembuh."
"He em." Liesel mengangguk berulang kali. Kunciran rambutnya ikut bergerak-gerak.
"Oke. Karena kau sudah sembuh, Bibi punya sesuatu untukmu."
"Wow, kau dapat hadiah, Schatz." Genevieve berjongkok di depan ranjang.
"Tadaa." Beatrice mengeluarkan sebuah boneka kecil, hanya seukuran telapak tangan saja.
"Ah, boneka kelinci kecil." Liesel tertawa bahagia. Didekapnya erat hadiah dari Beatrice itu.
Genevieve dan Beatrice berpandangan seraya tersenyum. Liesel mengambil satu-satunya boneka yang dimiliki lalu tersenyum lebar.
"Mommy, sekarang Bunny tidak kesepian lagi. Dia punya anak."
Ucapan sederhana itu membuat Genevieve merasa sedih. Gadis itu merasa kalau selama ini, Liesel sudah paham apa arti kesepian. Mungkin karena dahulu demi mencari uang, Liesel sering ditinggal.
Genevieve menggigit bibir lalu memalingkan muka. Beatrice menyentuh bahu sahabatnya itu. Mereka beradu pandang lalu senyum yang tampak dipaksakan muncul di wajah Genevieve.
"Aku baik-baik saja, Bee."
***
Masa skorsing sudah berakhir, maka Genevieve pun bersiap kembali untuk berangkat kerja. Tentang jam kerja sudah dibicarakan oleh gadis itu kepada Beatrice.
Mereka sudah menyamakan jadwal. Beatrice tidak perlu mengorbankan waktu kuliah demi menggantikan posisi Genevieve menjaga Liesel.
"Semoga setelah ini, semuanya jauh lebih mudah, ya," ucap Genevieve pada Beatrice.
"Ya. Walau begitu, aku tetap memintamu untuk berhati-hati. Tidak semua orang berpikiran lurus sepertimu. Musuh ada bahkan di dalam selimutmu sendiri."
"Benar. Hanya saja aku tidak mengerti, kenapa hal seperti itu harus terjadi." Genevieve menghela napas, tidak habis pikir dengan niat jelek yang tertuju padanya.
"Mereka hanya iri kepadamu, Sayang. Kau dan ketulusan hatimu itu."
Genevieve hanya mengedikkan bahu. Dalam pikiran Genevieve, apa salah berbaik sangka kepada siapa pun yang berada di dekatnya. Jika niat baik itu dianggap berbeda, siapa yang harus disalahkan?
"Sudah. Yang penting tetap berhati-hati. Pergilah. Nanti kau terlambat."
"Oke."
Ketika Genevieve baru saja tiba dan hendak menuju loker, tiba-tiba tiga orang rekan kerjanya berdiri menghalangi.
"Hebat. Baru kali ini ada pencuri yang ketangkap, tapi muncul lagi seolah gak punya dosa." Norbetta bersedekap sembari memasang wajah sinis.
"Aku tidak bersalah, Nona Norbetta. Hanya orang jahat saja yang tega memfitnah sekotor itu." Genevieve tersenyum tipis.
"Genevieve, kau sudah masuk kerja?" Tiba-tiba terdengar suara Irmina melerai pembicaraan gadis-gadis itu. Ia mengangkat sebelah alisnya ke arah Norbette seolah memperingatkannya untuk tidak mengganggu Genevieve. "Apa ada masalah, Norbetta?"
Norbetta mendengus dan mengangkat bahu. "Tidak ada. Aku hanya sedang menegur anak baru ini."
Ia lalu berbalik diikuti ketiga temannya meninggalkan Genevieve.