Ketika Adler mengeluarkan kartu akses dan memencet tombol lift, Genevieve membelalakkan mata saat menyadari pria itu tinggal di lantai 30, alias lantai tertinggi di gedung apartemen itu. Ia dapat membayangkan tentu pemandangannya jauh lebih indah dibandingkan lantai lain di bawahnya.
"Di sini tidak ada penthouse, jadi unitku terletak di lantai paling atas," kata Adler saat melihat Genevieve menatap kartu akses di tangannya dan tombol angka 30 bergantian. Ia segera menyadari bahwa gadis itu dapat mengira bahwa apartemennya terletak di gedung elit dan ada di lantai paling mahal.
Adler sudah menyiapkan cerita untuk ini. Kebetulan kediaman pribadinya ini terletak di Magnolia Residence, salah satu gedung milik keluarganya. Semua unit apartemen di sini sangat mewah dan berharga sangat mahal.
Ini pasti akan membuat Genevieve keheranan mengingat Adler mengaku sebagai lelaki biasa yang mengendarai mobil biasa dan hanya bekerja sebagai karyawan biasa. Ia akan mengaku dipinjamkan apartemen ini oleh seorang temannya. Cerita itu lebih masuk akal.
"Ini apartemen sahabatku yang sedang bertugas keluar negeri. Katanya lebih baik aku tinggal di sini selama setahun daripada apartemennya dibiarkan kosong dan tidak ada yang mengurus," kata pria itu.
"Oh…" Genevieve mengangguk-angguk mengerti.
"Kupikir ini kesempatan bagus, aku bisa mengurus apartemennya dan menghemat sewa. Uangnya jadi bisa kutabung," kata Adler melanjutkan. Ia menatap gadis itu lekat-lekat. "Apa kau kecewa karena aku tidak membawamu ke apartemenku sendiri? Aku belum punya rumah sendiri. Aku sedang menabung supaya bisa membeli tanpa berhutang banyak kepada bank."
Genevieve menggeleng cepat. Ia tertawa rikuh mendengar pertanyaan Adler. Kenapa ia harus kecewa? Adler tinggal di tempat seperti apa, bukanlah urusannya. Mereka kan tidak memiliki hubungan seperti itu.
"Aku mengerti rasanya tidak punya rumah sendiri," kata Genevieve sambil tersenyum. "Kau beruntung punya teman yang membiarkanmu tinggal di tempat sebagus ini."
"Ah, iya. Apartemennya memang bagus sekali. Aku sangat beruntung," kata Adler. "Temanku ini kaya sekali. Tapi dia orangnya tidak sombong. Kapan-kapan kalau ia pulang ke Berlin aku akan memperkenalkanmu kepadanya."
Genevieve hanya mengangguk.
DING!
Ketika pintu lift terbuka, Adler mengajak Genevieve berjalan ke ujung lorong dan membuka pintu apartemen yang terletak di sebelah kanan. Seperti dugaan Genevieve, unit ini memang memiliki pemandangan indah.
Begitu ia masuk, ia dapat melihat ruang depan yang cukup luas dengan jendela-jendela besar yang menampilkan pemandangan cantik kota di bawahnya. Perabotan di dalam unit ini didominasi dengan warna natural.
Ia dapat membayangkan betapa kayanya teman Adler ini dari penataan unit apartemennya yang terlihat begitu mewah. Ahh.. Adler memang cocok bergaul dengan orang kaya. Bahkan, keberadaannya di apartemen mewah ini sama sekali tidak terlihat aneh.
Ia tampak begitu pas berada di ruangan yang dihiasi dengan berbagai perabotan paling mewah dan mahal. Terdapat lukisan abstrak dan foto-foto gedung artistik menggantung di dinding ruang tamu.
Di bawahnya ada meja console yang memajang foto rumah-rumah mewah dan beberapa hiasan berbentuk miniatur mobil mahal pula.
Tentu saja Genevieve tidak menduga bahwa foto rumah itu adalah milik keluarga Wirtz. Sedangkan untuk miniatur mobil, Adler punya koleksi asli yang diparkirkan rapi di garasi rumah Wirtz.
Ada sofa berwarna cokelat tua yang menjadi titik perhatian lengkap dengan side table, juga meja tamu berukuran sedang. Tak hanya itu, ada karpet bulu yang sangat lembut di depan ruang televisi berukuran besar.
Ada dua bantal berukuran besar yang sangat empuk untuk dipakai berbaring sembari bermalas-malasan di depan televisi. Rak buku juga ada di dekat sofa itu. Rasanya Genevieve ingin menghabiskan waktu hanya dengan membaca buku di sofa itu.
"Apartemen ini punya tiga kamar. Satu kamar dibiarkan terkunci untuk menaruh barang2 temanku, pemilik apartemen ini. Yang satu lagi dibiarkan kosong untuk jadi kamar tamu," kata Adler menjelaskan.
Ia lalu menunjuk ke arah kamar ketiga yang berukuran besar, terletak di sebelah kanannya. "Yang itu adalah kamarku, ada kamar mandi juga di dalamnya. Di dalamnya juga ada walk in closet."
Genevieve manggut-manggut. Dia masih terus mengagumi keadaan di sekeliling. Sungguh berbanding terbalik dengan flatnya yang sempit dan berisi perabotan ala kadarnya.
"Ayo, kita ke dapur. Aku harus menyusun semua bahan makanan ini." Adler membawa barang belanjaannya melewati Genevieve.
Ada kitchen island yang berukuran besar. Lengkap dengan meja dan stool bar di depannya. Stool bar itu berukuran tinggi dengan dudukan empuk juga berwarna cokelat.
Di area kitchen set terdapat satu rak berisi botol-botol wine lengkap dengan gelasnya yang disusun rapi di bagian bawah.
Genevieve membuka kulkas dua pintu dengan isi makanan yang cukup lengkap. Adler sudah menyusun semua bahan makanan yang dibeli dari supermarket tadi.
Lagi-lagi dia membandingkan dengan kenyataan hidup yang mereka jalani. Semua kemewahan yang ditemui Genevieve di sini, membuatnya merasa kecil hati. Sungguh sangat berbanding terbalik.
"Aku mandi sebentar, ya. Kau tak perlu sungkan. Lakukan apa pun yang kau suka. Bebas."
Genevieve berbalik badan untuk mengiyakan ucapan Adler lalu kembali fokus kepada isi kulkas yang sedang dihadapinya.
"Oke, Genevieve. Berhenti meratapi diri. Mulailah memasak sesuatu," kata gadis itu kepada dirinya sendiri.
Genevieve mencari keberadaan apron di rak kitchen set. Setelah menemukan, dia mengenakannya dan mulai bekerja. Entah sudah berapa lama Genevieve berkreasi di dapur itu sampai Adler datang.
"Sepertinya enak." Adler memuji Genevieve yang tampak sibuk di depan kompor.
"Tunggulah sebentar lagi, Tuan." Genevieve menambahkan beberapa bumbu pada masakannya.
Sesuai keinginan Adler, Genevieve membuatkan menu kentang tumbuk dan asinan kubis. Juga ada daging yang dibungkus dengan kulit asin yang renyah.
"Oke. Makanan sudah siap." Genevieve membawa hasil masakannya untuk dihidangkan di meja.
Hati Genevieve berdebar. Ini pertama kalinya dia memasak untuk orang lain. Genevieve menatap dengan cemas.
"Ini enak, Genna," puji Adler setelah menghabiskan satu suapan penuh.
Genevieve mengembuskan napas lega. "Tuan suka?"
"Ck! Ayolah. Panggil Adler atau Ad. Jangan Tuan lagi. Panggilan itu memberi jarak. Aku tidak suka."
"Tapi--"
"Tidak ada tapi, Genna. Ayolah."
"I-iya, Tu eh Adler." Genevieve mengigit lidah. Ia gugup karena merasa asing dengan panggilan itu.
Adler tertawa kecil. "Ayo, makan."
Genevieve menyembunyikan senyuman dengan menunduk lalu mulai mencicipi makanan hasil olahan tangannya.
Seusai makan, Adler membantu Genevieve membereskan meja. "Tak perlu mencuci piringnya, nanti ada yang datang untuk membersihkan semua ini."
Genevieve hanya mengangguk. Walau dalam hati, dia masih merasa penasaran tentang kehidupan Adler.
"Aku tinggal sendiri di apartemen ini. Jaraknya dekat dengan kantor," ucap Adler tanpa diminta. "Mau duduk di balkon?"
"Boleh."
Adler beranjak menuju kitchen set untuk mengambil minuman. Satu kaleng bir untuknya, lalu minuman campuran antara cola dan soda jeruk yang tidak mengandung alkohol.
Keduanya duduk bersisian di kursi di area balkon. "Aku biasa duduk di sini. Sendiri. Menatap ke arah pemandangan kota untuk berpikir."
Genevieve ikut memandang jauh. Pemandangan kota adalah hal yang indah bagi gadis itu. Di flat yang dia sewa, tentu tidak ada pemandangan seperti ini.