Adler sangat penasaran. Ia ingin turun untuk menemui Genevieve dan menanyakan kabarnya. Namun, dering ponsel mengagalkan niat itu.
"Ya, Nek," jawab Adler setelah menekan tombol terima panggilan. Rupanya neneknya yang menelepon.
"Kau di mana? Bisakah pulang sebentar? Ada yang ingin Nenek bahas." Suara Nyonya Ross terdengar sedih.
"Nenek kenapa? Baik, Adler segera pulang."
Nyonya Ross masih terbawa perasaan karena kebersamaannya dengan Liesel.
Ia sudah berusaha mengerti kesibukan Adler yang tidak ingin segera menikah dan memiliki anak. Namun, siang ini, saat ia melihat gadis kecil bernama Liesel itu, keingingan Nyonya Ross untuk memiliki cicit tiba-tiba saja kembali membara.
Beliau merasakan sesuatu yang berbeda. Mungkin karena sudah lama sekali Nyonya Ross mengidamkan kehadiran anak kecil di lingkungan keluarga Wirtz, membuat perasaan sayangnya kepada Liesel menjadi demikian besar.
Karena Nyonya Ross tidak memiliki anak dan cucu lain, hanya Adler, maka pria itu saja yang menjadi tumpuannya harapannya. Hanya Adler yang mampu untuk memenuhi keinginan Nyonya Ross untuk menghadirkan generasi penerus keluarga Wirtz.
***
Keesokan harinya, saat jam makan siang tiba, Norbetta tiba-tiba mendekat dan tersenyum ramah kepada Genevieve. Ia berkata, "Mau ikut makan siang bersama?"
Genevieve langsung menoleh ke kanan dan kiri. "Nona Norbetta bicara kepada saya?"
Norbetta tertawa kecil. "Tentu saja, Genevieve, eh Ginny. Boleh aku memanggilmu dengan nama itu?"
Senyum Genevieve mengembang. "Boleh, Nona."
"Panggil namaku saja, Ginny. Jadi, mau makan siang dengan kami?"
Genevieve langsung mengangguk. Gadis lugu itu tentu tidak menolak karena ia menganggap ini adalah jalan perdamaian. Tanpa perlu mencari-cari cara atau alasan, tenyata mereka sendiri yang mendekat. Mungkin setelah beberapa lama bekerja bersama seperti ini, mereka akhirnya menyadari bahwa Genevieve bukanlah musuh dan ia juga tidak akan berbuat jahat kepada mereka untuk membalas perbuatan mereka yang dulu.
Genevieve sama sekali tidak ingin mencari musuh. Ia hanya ingin bekerja dengan baik dan mencari uang dengan halal untuk membesarkan Liesel.
"Kau bawa bekal, Ginny?" Diana menimpali.
"Bawa. Sebentar, saya ambil dulu di loker. Kalian duluan saja. Nanti saya menyusul." Genevieve berucap riang.
Hari ini, Irmina libur kerja. Otomatis Genevieve tidak punya teman makan siang. Maka ajakan makan siang bersama dari Norbetta dianggapnya sebagai pertanda baik. Sembari bersenandung kecil, Genevieve membawa bekal itu menuju area pantry kantor.
Di pantry, Norbetta melambaikan tangan lalu menepuk bangku kosong di sebelahnya. Genevieve mengangguk seraya bergegas menuju kursi itu.
"Jangan lupa mencuci tangan, Ginny. Kita seharian memegang uang yang banyak kumannya, lho." Norbetta mengingatkan dengan nada lembut. "Ayo cuci tanganmu dulu…"
"Ah, iya. Hampir saja saya lupa." Genevieve meletakkan kembali penutup kotak bekalnya secara asal lalu berjalan menuju wastafel.
Norbetta memberi kode pada Diana. Gadis berambut kemerahan itu pun melihat isi bekal Genevieve.
"Astaga, bekalnya menyedihkan sekali, Norbetta." Diana bergidik jijik sembari menuangkan sesuatu di kuah sup milik Genevieve. "Semiskin apa sih dia sampai bekal makanannya begini sederhana?"
"Yah, mungkin dia orangnya pelit dan tidak mau membawa makanan yang layak," komentar Norbetta. "Ayo, cepat aduk obatnya, sebelum dia datang."
Diana mengaduk sup di tempat bekal Genevieve seraya berakting hendak muntah. Norbetta mengatupkan bibir agar tawanya tak meledak tiba-tiba.
Norbetta sengaja mengambil posisi duduk yang tak terdeteksi oleh CCTV agar aman dalam menjalankan rencana.
Diana memastikan sup itu sudah tercampur rata dengan serbuk yang dimasukkan tadi. Usai melakukannya, Diana kembali duduk seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Genevieve kembali ke meja itu. Kedua rekan kerjanya tampak sibuk menyantap isi kotak bekalnya masing-masing.
"Maaf, Ginny. Kami tidak menunggumu. Aku lapar sekali." Norbetta beralasan.
Genevieve yang sudah kembali duduk langsung menggeleng. "Tidak apa-apa, Norbetta. Hari ini pengunjung cukup ramai karena tanggal muda. Kita semua pasti lapar berat."
Norbetta dan Diana saling melirik ketika Genevieve mulai menyantap bekalnya. Diana sampai-sampai harus menggigit bibir agar tawanya tak meledak.
Usai makan, Norbetta masih sempat melemparkan candaan ringan untuk Diana dan Genevieve. Jika dilihat, mereka tampak seperti teman akrab. Sungguh berbanding terbalik dengan peristiwa pengancaman yang dilakukan oleh Norbetta pada Genevieve kemarin.
"Aduh." Tiba-tiba Genevieve memegang perutnya.
Diana mengedip-ngedipkan sebelah mata pada Norbetta.
"Ginny, kau kenapa?" tanya Norbetta.
"Perutku tiba-tiba sakit. Maaf, aku harus ke toilet." Genevieve langsung berlari.
"Tenang saja. Kami akan mencuci kotak bekalmu, Ginny," kata Diana agak mengeraskan suaranya.
Norbetta dan Diana langsung melakukan tos di udara. Tawa dan wajah licik Norbetta yang sebenarnya telah muncul. Ia memang merencanakan ini semua agar ia dapat membuat Genevieve menderita.
"Jangan pernah berani main-main dengan ancamanku, Genevieve. Kau belum tau sejauh apa aku bisa menghukummu." Norbetta mendesis. "Rasakan efek obat pencahar itu. Kau akan sakit perut selama berjam-jam."
"Tapi, apa kita akan benar-benar mencuci kotak bekal jelek ini? Iyuhh." Diana lagi-lagi bergidik jijik.
Padahal kotak itu bersih. Hanya catnya saja yang sudah memudar. Diana terlalu berlebihan.
"Kita? Hanya kau yang akan melakukannya, Diana. Aku harus mengejarnya ke kamar mandi. Akting ini harus sempurna." Norbetta bahkan mendorong kotak bekalnya. "Sekalian cuci ini juga. Ingat, jangan menyisakan jejak!"
"Baik, Norbetta."
Norbetta pun segera melangkah ke toilet staf. Ia mengetuk pintu dan menanyakan keadaan Genevieve, pura-pura bersimpati. "Ginny, kau masih di dalam?"
"Ya. Perutku sakit sekali, Norbetta." Genevieve terdengar seperti ingin menangis.
"Kau butuh obat? Biar aku ambilkan."
Genevieve tidak bisa menjawab. Perutnya seperti melilit dan diperas-peras. Sakit luar biasa.
"Tahan sebentar, ya. Akan aku bawa obatnya." Norbetta keluar dari toilet, tetapi bukan untuk mengambil obat.
Norbetta malah melenggang santai kembali ke pantry. Ia berkata kepada Diana. "Ayo, kita kembali bekerja."
Diana meletakkan kotak bekal Genevieve yang sudah dicuci secara sembarangan di atas rak piring.
Genevieve keluar dari toilet. Dia berusaha berjalan tegak. Akan tetapi baru beberapa langkah, gadis itu harus kembali ke toilet.
"Kenapa Norbetta lama sekali membawa obat itu?" Genevieve menggumam di dalam bilik toilet.
Norbetta tak kunjung datang. Genevieve merasa perutnya sudah agak membaik setelah beberapa kali bolak-balik buang air. Dia pun melangkah ke arah lokasi kassa. Di sana, Norbetta sudah membuka kasir lagi. Beberapa pengunjung sudah mengantri.
"Maafkan aku, Ginny, tadi kami dipanggil untuk segera bekerja. Kau tidak apa-apa?" tanya Norbetta yang berpura-pura simpati. Genevieve hanya tersenyum canggung dan mengangguk. Ia lalu memfokuskan perhatiannya kepada pelanggan yang mulai berbaris di jalur kassanya.
"Silakan, Nyonya." Genevieve langsung melayani pengunjung yang hendak membayar barang belanjaan.
Sayangnya, baru melayani dua pembeli saja, perut Genevieve kembali berulah. Gadis itu terpaksa menarik rantai besi penanda kassa tutup lalu kembali berlari menuju toilet.
"Ginny, kau kenapa?" tanya Erich yang kebetulan berpapasan dengannya.
"Sakit perut," jawab Genevieve sembari tetap berlari.