Chereads / Tuan CEO, Jangan Cintai Aku! / Chapter 16 - Liesel Sakit Demam

Chapter 16 - Liesel Sakit Demam

Belum sempat Adler berbasa-basi, Genevieve sudah mengucapkan terima kasih lalu terburu-buru turun dari mobil. Bahkan sedari tadi, Genevieve menggenggam erat ponselnya, dan sesekali menatap cemas ke layarnya.

"Dia tidak mengundangku untuk masuk. Tapi aku sangat penasaran tentang Bee dan kecemasan yang sejak tadi ditunjukkannya."

Adler masih terpaku di depan kemudi, belum berniat untuk pulang.

Adler yang merasa penasaran, memutuskan untuk turun. 'Persetan dengan kesopanan. Aku hanya penasaran siapa Bee yang dia maksud.'

Adler melangkah masuk ke arah lantai satu flat itu. Sepi. Tidak ada siapa pun yang bisa dimintai keterangan. Lelaki itu mendongak ke arah tangga, sama saja.

"Aku tak tau Genna tinggal di lantai berapa." Adler mengeluh atas kebodohannya.

Ketika Adler hendak pergi, tiba-tiba terdengar suara derap kaki seseorang menuruni tangga tergesa-gesa.

"Permisi, Nona, boleh saya bertanya?" tanyanya kepada wanita itu.

"Maaf, Tuan. Saya sedang terburu-buru." Beatrice tampak enggan menanggapi lelaki yang dianggap asing.

"Tolong, hanya ... sebentar."

Sayangnya, Beatrice tidak menggubris permintaan Adler. Gadis itu malah mempercepat langkah. Liesel sedang demam dan ia membutuhkan obat penurun panas.

"Gadis itu tampak buru-buru. Ke mana lagi aku harus bertanya?" Adler merasa kecewa.

Padahal tempat Genevieve tinggal, bukanlah flat mewah. Malah terkesan agak kumuh karena merupakan bangunan lama. Kesan pertama yang melintas adalah aroma kayu lama.

Adler tak mungkin memencet bel di lobi secara acak demi menemukan Genevieve. "Ah, nanti saja aku coba menelponnya lagi."

Sementara di lantai atas, Genevieve sedang sibuk mengompres Liesel. Gadis kecil itu demam.

"Sayang, Mommy di sini." Genevieve menggenggam erat telapak tangan Liesel.

Untuk anak seusianya, Liesel termasuk yang jarang sakit. Gadis kecil itu selalu ceria dan berusaha keras untuk mandiri. walau terkadang, Genevieve agak berlebihan dalam melindungi putri kecilnya.

Liesel mengerang dan suaranya membuat Genevieve panik.

"Bee, kau di mana? Kenapa lama sekali?" keluh Genevieve.

Stok obat penurun panas yang biasanya ada di kotak P3K tenyata habis di saat genting. Beatrice yang menawarkan bantuan untuk segera membelinya di apotik terdekat.

"Ve, maaf. Ini obatnya." Beatrice muncul dengan napas terengah-engah.

Genevieve langsung meminumkan obat itu kepada Liesel.

Setelah memastikan obat penurun panas itu bekerja, barulah keduanya merasa lega. Beatrice menarik tangan Genevieve untuk beranjak.

Mereka duduk tak jauh dari ranjang itu. Beatrice menggenggam tangan Genevieve.

"Boleh aku tau tentang sesuatu yang kau coba sembunyikan?"

Genevieve menghapus sisa air mata yang menggenang di pipi. "Menyembunyikan apa?"

"Ayolah, sudah dua kali kau pulang dengan memakai gaun mahal. Penampilan cantik seperti putri begini."

Genevieve mengigit bibir. 'Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya?'

"Ve, please. Apa kau sudah punya pacar?"

Genevieve tertegun. 'Pacar? Apakah aku pantas punya pacar? Bagaimana dengan Lily? Apa ada yang mau menerimanya?'

"Ve."

"Ak-aku belum punya pacar, Bee. Tidak akan pernah, sepertinya."

"Kenapa? Laki-laki itu menolakmu?"

Genevieve menarik napas panjang. "Dia hanya iseng saja. Tidak ada hal penting."

Beatrice menarik tangan Genevieve. "Ayo, cerita. Seperti apa laki-laki itu. Apa dia tampan?"

Wajah Adler langsung membayang di pelupuk mata Genevieve. Senyum juga gestur tubuhnya yang selalu menarik perhatian membuat Genevieve tanpa sadar menyeringai lebar.

"God, ada yang jatuh cinta sepertinya." Beatrice meremas jemari Genevieve.

Genevieve langsung tersadar. "Tidak. Itu bukan cinta. Mungkin ... hanya kagum saja."

"Belakangan ini, karena sibuk, kita jarang mengobrol. Hari ini aku tidak ada kelas. Ayo, cerita sepuasmu."

"Aku ... sebenarnya aku sedang menjalani masa skorsing. Aku dituduh mencuri ponsel di swalayan." Akhirnya Genevieve menceritakan apa yang terjadi.

"Astaga! Apa mereka sudah gila? Bagaimana mungkin kau melakukan hal seperti itu?" Beatrice memekik keras.

"Sstt. Jangan berisik! Nanti Lily terbangun." Genevieve melotot.

"Opst, maaf. Aku hanya terbawa emosi. Lalu bagaimana bisa mereka menghukummu karena hal yang bukan kesalahanmu??"

Kemudian mengalirlah semua cerita dari bibir Genevieve. Gadis itu mengawali semua kisah dari awal ketika Adler datang sebagai sosok penolong.

Beatrice malah menepuk lengan Genevieve setelah semua kisah itu berakhir. "Ya ampun, Ve!"

"Hei, kenapa kau malah memukulku?" tanya Genevieve heran.

"Kau seperti tak menganggapku sebagai sahabat! Tega sekali menyembunyikan semua ini." Beatrice memonyongkan bibir.

Genevieve cepat-cepat merangkul tubuh Beatrice. "Tidak, Bee. Bukan itu. Aku hanya tak ingin selalu menjadi beban bagi siapa saja yang mendekat."

Beatrice mengelus lembut punggung Genevieve. "Kita sudah mengalami banyak hal di asrama, kan? Aku akan selalu ada untukmu dan Lily. Entah apa pun yang terjadi kelak, izinkan aku mencintai kalian seperti ini."

***

"Tidak mungkin, Nek. Tolong, aku tak bisa." Adler memelas.

"Apa kau tidak patuh lagi pada wanita tua ini?"

"Aku sudah punya pacar, Nek."

"Iya. Elma, kan? Maka dari itu, berhenti berpacaran. Menikahlah."

Adler bersimpuh di depan kursi kebesaran sang Nenek. Diraihnya jemari wanita sepuh itu. "Bukan. Aku jatuh cinta pada gadis lain."

Nyonya Ross mengernyit. "Bukannya selama ini hanya El yang ada di dekatmu? Bagaimana bisa ada perempuan lain?"

Adler diam. Bingung hendak menjelaskan dari mana.

"Apa gadis itu yang mengejarmu? Apa dia silau dengan segala kekayaan milik Wirtz?"

Adler menggeleng cepat. "Dia bahkan belum menjawab ungkapan perasaan yang aku utarakan, Nek."

"Mungkin hanya jual mahal agar tak terkesan matre." Nenek berdecih.

Siapa yang tidak kenal dengan nama besar keluarga Wirtz? Tentu orang-orang di luar sana rela melakukan apa saja demi masuk ke lingkungan Wirtz.

"Nenek hanya tidak mau kau salah langkah seperti ayahmu."

Adler menghela napas berat. Mereka tahu bagaimana sepak terjang sosok wanita pengganti ibunya Adler itu.

"Kita tidak sedang membahas tentang Franka, Nek. Aku juga malas berurusan dengan dia."

Sampai detik ini, Adler enggan memanggil wanita itu dengan sebutan Ibu. Walau ayahnya pernah marah besar karena Alder terang-terangan menolak ketika wanita itu pertama kali dibawa pulang ke rumah.

"Jadi, siapa nama gadis itu?"

"Genna."

"Apa kau yakin gadis ini melebihi Elma? Bukannya selama ini kalian sudah sepakat untuk menikah?"

Adler merebahkan kepala di paha sang Nenek. "Entah mengapa, aku merasa hubungan kami semakin hambar. Sedari awal aku sudah mencoba mencintainya tetapi… aku tidak bisa."

"Mungkin karena kau selama ini selalu mengabaikan keberadaannya. Kau terlalu sibuk bekerja."

Adler tahu, Elma sudah berhasil mengambil hati Nenek. Agak sulit untuk membawa gadis lain ke hadapan sang Nenek. Keluarga mereka sudah terlalu terbiasa dan sayang pada gadis cantik itu.

Mungkin hal itu yang membuat Elma merasa di atas angin dan tidak melulu getol menempel pada Adler lagi. Namun, Adler merasa sudah menemukan sosok yang tepat sebagai pengisi hatinya, memang harus memutar otak agar sang Nenek mau menerima keberadaan Genevieve kelak.

"Aku yakin gadis ini sesuai dengan kriteria Nenek."

"Oke. Bawa gadis itu bertemu Nenek."

"Tidak di rumah ini, Nek. Aku tidak mau membongkar jati diri keluarga kita."

"Terserah. Nenek hanya ingin tahu seperti apa gadis yang sudah berhasil memalingkan wajahmu dari El kita."