Chereads / Tuan CEO, Jangan Cintai Aku! / Chapter 13 - Menyimpan Nomor

Chapter 13 - Menyimpan Nomor

"Minumlah. Cokelat panas bisa mengembalikan moodmu."

Genevieve tersenyum lalu menurut. Disesapnya minuman itu sedikit. "Terima kasih, Tuan."

Adler merasa jauh lebih tenang. Ia tidak perlu membongkar jati diri karena Genevieve mendadak keluar dari pintu khusus karyawan itu.

Tentu saja Adler tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengajak Genevieve pulang bersamanya. Maka Adler pun membawa gadis itu ke kafe yang sama seperti awal perkenalan mereka.

"Apa aku sudah bisa bertanya tentang apa yang terjadi di dalam sana tadi?"

Genevieve tersenyum getir. "Saya dituduh mencuri ponsel, Tuan."

"Apa ada bukti kuat yang membuat mereka berani menuduhmu?"

"Ponsel beserta kotaknya ditemukan di dalam loker milik saya, Tuan. Tapi saya berani bersumpah kalau itu hanya ulah orang iseng." Suara Genevieve agak bergetar ketika mengucapkannya.

Adler mengamati perubahan mimik wajah Genevieve. "Apa kau punya gambaran siapa yang mencoba memfitnah itu?"

Genevieve menggeleng. "Saya tidak tau, Tuan. Saya tidak berani mereka-reka."

Adler mengangguk lalu meraih cangkir kopi untuk menyesap isinya demi merilekskan pikiran. Sungguh, ia sendiri merasa sangat terusik atas masalah ini. Biar bagaimanapun, swalayan itu adalah tanggung jawab Adler.

"Saya ... takut dipecat, Tuan." Genevieve mengigit bibir kuat-kuat.

Bayangan buruk ketika terusir dari rumah Nyonya Marchen mendadak muncul. Di tengah hujan deras itu, Liesel harus ikut merasakan kedinginan.

"Hei, mereka tidak bisa memecat tanpa bukti yang kuat, kan? Jangan takut! Aku akan memberikan kesaksian."

Genevieve terkejut dengan reaksi Adler. Tentu saja tidak mengharapkan ada pihak luar kantor yang mencoba untuk masuk dan memberi kesaksian.

"Jangan, Tuan. Sepertinya untuk dua hari ke depan, jika Tuan ingin belanja, saya tidak bisa berada di area kasir seperti biasa."

Adler mengernyit heran. "Kenapa?"

"Skors dua hari."

'Tidak bisa! Belum terbukti bersalah tetapi malah dihukum. Peraturan seperti apa ini?' Adler merasa geram.

"Manajer bilang itu hanya cara untuk mengelabui pelaku sebenarnya. Agar tidak ada komentar miring tentang saya di sana."

Adler langsung manggut-manggut. 'Benar juga. Ah, sepertinya aku sudah terlanjur menaruh perhatian besar pada gadis ini. Sampai-sampai aku begitu mudah terpengaruh.'

"Jadi, selama dua hari ke depan, apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan tetap pergi kerja seperti biasa?"

Genevieve terkejut dengan pertanyaan itu. Dia sama sekali belum terpikir untuk menceritakan masalah ini pada Beatrice. Sudah terlalu banyak hal yang dibebankan Genevieve pada sahabatnya itu.

"Entahlah, Tuan. Saya belum bisa berpikir apa-apa."

Jika dia tinggal di rumah seharian, tentu Beatrice akan menaruh curiga. Maka kejadian di swalayan akan terungkap, sedangkan Genevieve tak ingin memperkeruh keadaan. Beralasan cuti pun, tentu tidak mungkin karena statusnya baru saja diangkat jadi pegawai tetap.

Sebuah ide muncul di kepala Adler. "Mau ikut denganku?"

Genevieve terpana melihat senyuman yang terukir di wajah tampan lelaki itu. Mendadak, desir aneh muncul di hati Genevieve. Beberapa detik kemudian, gadis itu langsung menundukkan pandangan.

Adler sempat menangkap tatapan mata yang berbeda dari gadis incarannya, tetapi tak ingin buru-buru menyimpulkan. "Apa kau merasa keberatan, Genevieve?"

"Eh, buk-bukan, Tuan. Apa tidak akan timbul masalah baru jika saya mengganggu jam kerja Tuan?"

Adler tertawa kecil. "Aku akan mengajukan cuti. Anggap saja aku menemani kamu menjalani skorsing itu. Adil, kan?"

"Eh? Mana bisa begitu, Tuan. Anda tidak perlu repot-repot."

Adler ingin memaksa, tetapi dering ponsel membuat perhatiannya teralih. "Sebentar."

Adler membawa ponselnya lalu berjalan menjauhi Genevieve. Gadis itu hanya mengedikkan bahu. Tidak ingin ikut campur tentang urusan Adler.

Genevieve kembali menyesap cokelat panas dari cangkirnya. Sensasi manis langsung membuat Genevieve merasa lebih nyaman.

Setelah meletakkan cangkir, Genevieve memindai sekeliling. Ada beberapa pasangan yang sedang bercengkrama. Ada pula yang sedang asyik berciuman.

Genevieve tersenyum. Bagi perempuan yang beranjak dewasa, cinta adalah hal mustahil bagi Genevieve. Karena gadis itu sudah bertekad untuk menghabiskan waktu bersama Liesel dan Beatrice saja.

Jika kelak Beatrice punya pacar, tentu Genevieve tidak bisa egois. Selama ini pun hutang budi pada sahabatnya itu sudah cukup banyak.

"Jangan melamun!" Adler tertawa lalu kembali duduk di hadapan Genevieve.

Gadis itu hanya tersenyum tipis. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan ke Adler, tetapi lagi-lagi rasa sungkan mendominasi segalanya. Sehingga Genevieve memilih untuk mengikuti alur saja.

"Ayo, pulang. Kau pasti lelah."

Keadaan kafe yang hangat juga instrumen musik membuat Genevieve merasa nyaman dan enggan beranjak. Namun, ada Liesel dan Beatrice yang pasti sedang menunggu di flat mereka.

Seperti malam sebelumnya, Adler masih berharap Genevieve akan berbasa-basi mengajaknya masuk.

"Terima kasih banyak, Tuan. Maaf, saya selalu merepotkan Tuan." Genevieve tersenyum hangat kepada Adler, setelah melepas seat belt.

"Apa aku boleh turun untuk mengantarmu sampai ke depan pintu?" Adler tak sanggup menahan diri karena penasaran.

Genevieve terkejut lalu segera menguasai diri. "Maaf, sudah malam. Pemilik flat tidak suka ada tamu di jam seperti ini."

Sesungguhnya, itu hanya alasan yang dikarang mendadak oleh Genevieve. Tidak ada satu pun orang asing yang boleh mengetahui tentang siapa dirinya. Terlebih dengan keberadaan Liesel.

Adler merasa kecewa. Namun, memaksakan kehendak juga bukan hal yang bijaksana. Tak ingin kalah oleh keadaan, Adler berpikir cepat.

"Kalau begitu, apa aku boleh menyimpan nomor ponselmu? Agar kita mudah untuk berkomunikasi." Adler memamerkan senyum terbaik demi meluluhkan hati Genevieve.

Genevieve kembali merasakan desir aneh di dada karena senyuman itu. Dia berupaya untuk mengusir perasaan tak biasa itu dengan mengalihkan pandangan ke arah luar mobil.

"Genevieve, pinjamkan aku ponselmu." Adler mengulurkan tangan.

Merasa sungkan untuk menolak, Genevieve langsung menyodorkan ponsel butut miliknya. Adler merasa terenyuh melihat kondisi ponsel gadis itu.

"Jangan tertawa, Tuan. Ponsel itu adalah hadiah dari kakak saya. Benda yang sangat berharga untuk saya."

"Kau menuduh, Genevieve. Aku bahkan tidak berniat untuk tertawa sama sekali." Adler langsung menekan tombol di ponsel itu.

"Maaf," bisik Genevieve.

Walau keadaan seringkali tidak berpihak, tetapi Genevieve paling benci jika ada yang menertawainya.

Bukan hanya itu, Genevieve juga tidak suka dikasihani. Hal-hal seperti itu hanya akan membuatnya merasa semakin kerdil dan kalah atas keadaan. Akan berdampak melemahkan mental dan semangat Genevieve sebagai ibu tunggal bagi Liesel.

Ponsel Adler berdering. Senyum puas pun tercetak di wajah tampan itu. "Oke. Sudah. Terima kasih, Genevieve."

Gadis itu melongo. "Jadi, Tuan meminjam ponsel saya hanya untuk menyimpan nomor?"

'Seandainya bisa, aku pun ingin menyimpan hati ini kepadamu sekaligus, Genna.' Adler mengulum senyum lalu mengulurkan kembali ponsel itu.

Mendadak, Genevieve merasa jengah karena Adler menatapnya dengan cara tak biasa. Ia hanya dapat bergumam, "Terima kasih, Tuan."

Genevieve bergegas keluar dari mobil Adler dan tidak membalikkan badan sama sekali. Ada hal yang membuatnya takut bahkan untuk sekadar menoleh sejenak.

"Aku tidak mungkin semudah ini jatuh cinta pada perempuan asing. Belum tentu juga Nenek memberi restu." Adler memijat tengkuk yang mendadak terasa berat.