Gadis yang sedang dilanda kebingungan akan sikap Jade yang tidak biasanya seperti itu tidak bisa berkata apa – apa. Ia hanya bisa menurut dan mengikutinya meskipun ia sedikit merasa takut terhadap pria itu karena selama mengenalnya baru kali ini ia melihatnya bersikap seperti itu. Ia menjadi penasaran dan berpikir apakah ada hal yang mengganggu pikirannya hingga mengubah sikapnya menjadi seperti itu. Sepanjang perjalanan ia tidak berani menanyakan apa – apa kepada Jade yang juga diam saja dan terlihat lebih dingin dari biasanya. Ternyata Jade membawanya kembali ke rumah lalu pergi begitu saja meninggalkannya di depan pintu gerbang tanpa penjelasan apapun, membuat gadis itu semakin tidak habis pikir apa yang ada di pikirannya hingga tega meninggalkannya sendirian di depan gerbang, padahal biasanya ia akan selalu mengantarnya hingga sampai ke dalam halaman depan atau setidaknya menunggunya masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Jade berencana kembali ke rumah tempat ia dan adiknya tinggal ketika bersama ayahnya dulu untuk mengecek dan mencari petunjuk dengan harapan ia dapat menemukan bukti yang bisa menunjukkan jejak ayahnya ataupun James, namun ternyata kenyataan tidak sesuai yang ia harapkan. Rumah itu sudah benar – benar dikosongkan oleh ayahnya sejak lama. Ia hanya bingung karena sepertinya terakhir kali ia dan Catherine di sini, masih ada beberapa benda peninggalan ibunya yang tertinggal namun sekarang semuanya benar – benar sudah bersih. Selama bertahun – tahun ia sudah hampir tidak pernah kembali lagi ke sini untuk melihat keadaan. Sepertinya ayahnya telah membuang semua barang – barang yang ada di rumah itu bahkan telah menjual semua aset yang berharga pikirnya.
Ketika ia sedang berjalan menuju ke dalam ruang keluarga, tiba – tiba dari belakangnya muncul sosok seorang pria brewokan yang memiliki badan besar dengan kepala botak dan wajah yang terlihat begitu sangar. Diperkirakan pria itu seusia ayahnya juga. Karena memiliki suara yang begitu kasar dan kuat, ketika ia membuka suara membuat Jade yang mendengarnya begitu terperanjat. "Siapa kamu? Mau cari apa di rumahku?" Tanya pria tersebut kepada Jade. Selain karena terperanjat akan suara pria yang bertubuh besar tersebut, ia pun begitu kaget mendengar pertanyaan darinya. Apa ia tidak salah dengar pikirnya. Rumahnya? "Maksud Bapak apa ya? Rumah Bapak? Ini rumah ayah saya. Bapak pasti salah." Ujar Jade seraya mencoba untuk berbicara sopan kepada pria yang lebih tua darinya itu. "Rumah ini sudah dijual kepada saya dan saya akan segera menempati rumah ini! Kalo gak ada kepentingan lagi, pergi dari sini sekarang juga atau kamu akan kuseret keluar!" Pria itu sepertinya sudah mulai gusar dan emosi seolah ia tidak menyukai apabila ada orang asing yang mendatangi tempat kediamannya tersebut. Melihat ekspresinya yang begitu marah atau entah karena memang karena wajahnya terlihat begitu sangar membuat Jade tidak berani membantah apapun lagi lalu berjalan keluar menuruti permintaannya. Mungkin jika ia bertemu dengan ayahnya lagi, ia akan mencoba menanyakannya apakah benar bahwa rumah tersebut telah dijual kepada orang lain pikirnya, seraya meninggalkan rumah tersebut dan mengendarai motornya untuk kembali ke rumah setelah tidak menemukan bukti atau petunjuk apapun yang bisa membantunya.
Sementara itu, Ivory yang ditinggalkannya tadi di depan pintu gerbang ketika hendak berjalan masuk ke dalam rumah tiba – tiba disekap oleh seseorang dari belakangnya. Ivory pun dibuat hingga tidak sadarkan diri lalu dibawa ke dalam oleh seseorang. Moniq yang sedang menunggu putrinya kembali setelah terakhir keluar rumah tiba – tiba kaget ketika mendengar suara ketukan pintu dan membukanya, lalu keadaan berubah menjadi sangat histeris karena teriakannya yang menggelegar ketika mendapati putrinya sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri dan digendong oleh pria itu. Lagi – lagi sosok pria ini pikirnya. Ia telah berhasil membuatnya ketakutan dan terlihat begitu cemas akan keselamatan putrinya. Moniq benar – benar tidak menyangka bahwa ia akan kembali lagi. "Kamu apakan putriku?" Tanya Moniq. "Cuma kubuat pingsan saja reaksimu udah segila ini, bagaimana kalo sampai pisau ini menikam ke jantungnya ya?" Pria paruh baya yang bernama Nathan tersebut kini kembali membuat onar, terlihat ia sedang mengeluarkan sebuah pisau kecil dan memainkannya di sekitar wajah gadis itu lalu di sekitar posisi jantungnya. "Jangan macam – macam kamu! Jauhi tangan kotormu dari putriku sekarang juga atau aku akan..." "Membunuhku? Tidak semudah itu sayangku. Kamu tau persis aku ini orang seperti apa. Aku akan melepaskannya kalo kamu mau menuruti semua permintaanku mulai saat ini." Ujar Nathan. "Permintaan apa lagi?" Tanya Moniq. "Pertama, menikahlah denganku dan aku pun akan menganggap putrimu ini sebagai putriku sendiri. Kedua, wariskan semua hak miliki aset yang dimiliki oleh suamimu kepadaku, karena biar bagaimanapun kamu tau sendiri kan, aku punya bagian di dalamnya yang telah diambil oleh suamimu dulu jadi aku ingin mengambilnya sekarang juga. Ketiga, bersikaplah manis terhadapku sebagaimana kamu dulu bersikap manis terhadap suamimu yang pecundang itu, lalu aku ingin kamu lebih menyayangi Catherine daripada dia, karena kamu tau sendiri kan, sedari kecil putri kesayanganku itu belum pernah merasakan kasih sayang seorang ibu yang sesungguhnya, maka berikanlah kasih sayangmu nanti sebagaimana seharusnya seorang ibu menyayangi anak kandungnya sendiri kalau kamu ingin putrimu ini selamat dari cengkeramanku. Bagaimana? Tawaran yang terdengar menarik bukan?" Tanya Nathan seolah sedang mempermainkan perasaan wanita di hadapannya itu. "Kalo aku menolak, kamu mau apa?" Tak mau kalah, Moniq menyerang kembali pertanyaan Nathan namun sepertinya yang ditanya tidak bercanda dengan ancamannya. Segera ia mengangkat pisau kecil tersebut dan hampir menancapkannya pada jantung gadis itu hingga Moniq berteriak histeris dan memohonnya untuk segera berhenti. Moniq merasa sepertinya ia sudah tidak punya pilihan lain selain menerima semua tawaran dari psikopat yang sepertinya tidak main – main dengan ancamannya itu. "Bagaimana Moniqku sayang? Jangan terlalu lama memberiku jawaban. Detik demi detik waktu yang berlalu sangat bernilai harganya sebelum semuanya terlambat." Nathan menekan suaranya seolah sedang menahan amarah yang sebenarnya sudah memuncak namun ia membuat amarahnya tersebut terdengar seperti sebuah permintaan yang harus dipenuhi oleh sang pendengar sebelum ia lepas kendali. "Baiklah, akan aku pikirkan semua itu. Beri aku waktu sebulan," ujar Moniq. "Tidak bisa! Seminggu dari sekarang dan aku sudah harus menerima jawabanmu. Paham?! Kalo tidak kamu akan tau sendiri akibatnya! Aku akan terus mengawasimu dan putri kesayanganmu ini." Nathan sekarang semakin terdengar lebih mendesak dan lebih serius lagi dengan ancamannya lalu ia pun pergi meninggalkan Moniq dan Ivory yang masih dalam keadaan belum sadar.
Ketika Nathan berjalan keluar, Jade kebetulan baru saja sampai dan langsung menghadangnya yang hendak berjalan berlalu di hadapannya. "Mau apa lagi kamu ke sini, bajingan?!" Jade yang kemarahannya sudah mulai memuncak langsung menarik kerah baju Nathan seakan sudah bersiap – siap untuk menghantamnya. Nathan yang tidak terima melihat perlakuan putranya langsung menjatuhkannya dengan satu kali hantaman. "Gak usah sok belagak kamu anak ingusan! Udah berapa kali kukatakan jangan pernah ikut campur urusan orang tua! Dasar anak tau diuntung dan tak tau diri!" Setelah menjatuhkan putranya sendiri, ia masih belum puas lalu menendang tubuh kecil tersebut hingga berguling – guling untuk beberapa putaran ke depan. "Di mana Anda menyembunyikan James?" Jade masih berusaha menanyakan Nathan pertanyaan tersebut meskipun ia sudah dalam keadaan kesakitan dengan darah segar yang sudah mengalir keluar dari mulut dan hidungnya akibat hantaman keras sang ayah dan sekarang ia juga terlihat sedang memegang dadanya yang kesakitan karena tendangan kuat psikopat tersebut. Merasa tidak suka mendengar pertanyaan tersebut, Nathan kembali lalu menekan kedua pipi Jade dengan kuat seakan ingin meretakkan rahang tengkorak pipi putranya sendiri dengan rasa geram namun masih ditahannya. "Sekali lagi aku dengar kamu berani menyebutkan nama itu dan berani ikut campur urusanku lagi, akan kuhabisi juga kamu seperti ayah angkatmu itu, pengkhianat!" Nathan kemudian melepaskan cengkeramannya dan menghempaskan wajah putranya dengan membantingnya kuat lagi di halaman rumah. "Hentikan semua ini psikopat!" teriak Jade ketika melihat ayahnya sudah berjalan pergi meninggalkannya begitu saja dan langsung berusaha sekuat tenaga untuk berdiri dan berjalan masuk ke dalam rumah untuk mengecek keadaan di dalam meskipun ia harus meringis karena kesakitan. Ia tidak mengerti entah sejak kapan rasa benci dan kecewa terhadap ayahnya itu menjadi semakin mendalam, padahal dulu setelah ibunya meninggal hanya ayahnya satu – satunya orang yang ia harapkan dapat menjadi teladan dan dapat membimbingnya namun kenyataan yang ia harapkan tersebut justru sekarang sangat berbeda jauh dari ekspektasinya.
Sesampainya di dalam, ia melihat Ivory yang sedang tidak sadarkan diri dan Moniq pun sedang berusaha membangunkannya. Jade yang tidak tahu menahu langsung terburu – buru dan berlari terhuyung – huyung untuk melihat keadaan Ivory dan meneriakkan namanya seraya memeluknya. Ia mengira Moniq sedang bersedih seakan seperti telah kehilangan putrinya padahal Moniq sedang berusaha mencoba membuatnya sadar dari efek obat bius yang diberikan oleh Nathan. "Dia baik – baik saja. Tenangkan dirimu Jade." Sembari menggenggam tangan Ivory dan Jade seraya mempersatukan tangan mereka, Moniq pun segera menyampaikan sebuah pesan penting kepada Jade, "Oh ya, sebelum dia sadar aku mau kasih tau kamu kalo apapun yang terjadi nanti, akan kutitipkan ia kepadamu, jadi tolong jaga dia untukku. Tidak lama lagi semuanya akan berubah dan tidak akan sama lagi seperti dulu. Aku tau kamu begitu perhatian begini kepadanya bukan hanya sekedar karena kamu menganggapnya sebagai seorang adik, tapi jauh di dalam lubuk hatimu itu kamu diam – diam mencintainya bukan?" Mendengar pertanyaan dari Moniq tersebut, Jade begitu kaget. "Bagaimana mama bisa tau?" Tanya Jade. "Pengalaman. Dari sorot matamu bisa keliatan. Perhatianmu udah melebihi perhatian seorang kakak terhadap seorang adik. Sayangnya, aku gak bisa menjamin apakah kalian masih akan bisa seperti ini nantinya, akan tetapi aku hanya berharap kamu gak akan pernah meninggalkannya dalam keadaan apapun dan bisa tetap membimbingnya untuk tetap berada di jalan yang benar, jadi tolong jaga dia untukku ya," Moniq memohon kepada Jade yang kemudian disanggupi olehnya yang seraya menganggukkan kepalanya. "Memangnya mau ke mana ma?" Tanya Jade. "Aku gak ke mana – mana. Tidak lama lagi pun aku akan menjadi mama tiri kamu. Akan tetapi saat itu akan ada hati yang tersakiti dan perlu kamu ketahui pula kalo aku melakukan semua ini demi keselamatannya. Setelah kehilangan Papa Enrique, aku gak mau kehilangan putri kesayanganku lagi satu – satunya. Jadi kumohon percayalah padaku, apapun yang akan kalian lihat nanti semuanya adalah demi kebahagiaan kalian." Ujar Moniq yang terlihat sedang begitu tertekan dan sedih. "Maksudnya apa ma? Apa lagi yang dimintanya darimu? Tolong ma, jangan lagi mengorbankan perasaan sendiri demi psikopat itu! Ini sungguh gak adil buat kami. Aku gak apa – apa kalo cuma jadi anak asuh atau anak tiri, tapi Ivory? Dia pasti gak akan sanggup menerima semua ini, apalagi jadi anak tiri dari psikopat itu. Aku aja sendiri yang anak kandungnya udah gak sanggup menghadapi orang segila itu. Coba katakan padaku ma, dia memaksamu untuk apa lagi? Biar kuhajar dia untukmu. Dasar bajingan!" Jade merasa keputusan yang akan diambil oleh Moniq akan sangat tidak adil untuk mereka semua dan ia merasa begitu geram akan permintaan Nathan terhadap Moniq yang tidak masuk di akal. "Cukup Jade! Jangan sakiti dirimu sendiri lagi! Kamu udah cukup banyak berkorban buat keluarga ini! Kita gak punya pilihan lain! Apa yang bisa kamu perbuat lagi? Lihat dirimu sendiri sekarang! Sudah babak belur begini masih mau sok jagoan kamu? Biar bagaimanapun beliau adalah orang tua kandungmu sendiri. Kamu jangan pernah lupa akan hal itu." Ujar Moniq. "Tapi ma, nggak pernah sejarahnya ada orang tua yang segila dan se-psikopat itu. Dia yang udah bunuh papa juga. Apa mama lupa?" Tanya Jade geram. "Tentu saja nggak. Aku gak akan pernah lupa akan kejadian itu. Sedikitpun gak akan pernah lupa. Akan tetapi untuk saat ini aku hanya menginginkan yang terbaik untuk putriku. Jadi, jangan membantah lagi. Bila perlu, buang jauh – jauh perasaanmu itu kalo kamu gak mau nantinya ini semua akan semakin menyakitimu dan membuat kebencianmu terhadap ayahmu sendiri semakin bertambah." Ujar Moniq. "Ma, andaikan aku bisa menghapus perasaan ini dengan begitu mudahnya, pastilah sudah sejak awal kuhapuskan. Namun setiap kali aku berusaha menghapus semua perasaan ini, semakin dalam dan semakin pula akarnya tumbuh hingga menjadi semakin kokoh tanpa pernah kusadari. Biarpun harus berkorban nyawa, aku pun rela dan ikhlas. Aku gak peduli, biarlah ia tumbuh sendiri tanpa disirami. Karena aku pun gak tau lagi bagaimana caranya untuk membunuh perasaan ini ma. Ia udah tumbuh dengan sendirinya selama bertahun – tahun. Maafkan aku." Jade seraya berlutut untuk meminta maaf kepada Moniq namun wanita itu mengangkat kepalanya dan memeluknya. "Jade, aku tau kamu memang anak yang baik. Bahkan kamu sangat berbeda dengan ayah dan adikmu. Mengenai perasaanmu, biarkan waktu yang akan menjawab semuanya dan tetaplah berusaha. Andai kamu memang berjodoh dengannya, kalian pasti akan bersatu meski jalannya tidak mudah dan asalkan kamu bisa bersabar. Seperti hubungan papa dan mama dulu juga sangat rumit namun akhirnya takdir pun mempersatukan kami. Andai kalian bisa bersatu pun, kamu pun tetap akan menjadi anakku Jade." Ujar Moniq bangga. Jade merasa bahagia karena ternyata wanita itu mendukungnya dan berterima kasih kepadanya. Ia bahkan berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjaga kedua wanita ini dengan sebaik mungkin sebagaimana Enrique dulu menjaga dan melindungi mereka demi membalas budi kepada mendiang ayah angkatnya itu. "Mama mendukung Kak Jade untuk apa ma?" Moniq dan Jade begitu kaget mendengar suara gadis yang sudah sadar itu. "Ivy, kamu sudah sadar? Aku khawatir banget sama kamu. Kamu gak kenapa – napa kan? Apa yang terjadi tadi selama aku gak ada?" Padahal Ivory baru saja sadar akan tetapi ia sudah diserang dengan berbagai pertanyaan beruntun oleh Jade. Dengan perasaan kesal ia pun menceloteh, "kepalaku masih terasa berat tapi kamu udah nyerang aku dengan pertanyaan – pertanyaan aja. Aku juga gak tau apa yang terjadi, yang kuingat habis kamu turunin aku di depan dan mau berjalan masuk ada seseorang membekapku dari belakang. Setelah itu aku gak tau apa – apa lagi, tau – tau udah di sini aja. Kamu juga ke mana sih tadi Kak? Main ngilang gitu aja." Ujar Ivory dengan nada kesal. "Ah itu, maaf, aku tadi ada sedikit urusan. Aku janji lain kali gak akan ninggalin kamu sendirian gitu lagi. Tadi aku terlalu buru – buru makanya gak nungguin kamu masuk lagi. Aku gak tau kalo kamu akan jadi begini. Aku minta maaf juga karena aku uda lengah tadi ma." Ujar Jade seraya meminta maaf kepada kedua wanita itu. "Semuanya udah terjadi mau gimana lagi. Lain kali kalian lebih berhati – hati aja karena sepertinya kita udah dipantau terus." Ujar Moniq. "Sebenarnya dia siapa sih ma? Musuh mama dan papa ya?" tanya Ivory. Moniq hanya menggeleng – gelengkan kepala seolah memberitahukan kepada putrinya bahwa itu bukanlah siapa – siapa dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Malam itu seolah menjadi malam terakhir mereka bisa berbincang – bincang dengan begitu luwes tanpa ada gangguan apapun. Ivory merasa sangat senang melihat Jade yang sedang bercerita seakan sedang melihat sosok ayahnya yang sedang berkumpul bersama mereka kembali. Ia merasa seperti ada suatu perasaan yang berbeda setiap kali memandang Jade dari jarak yang lebih dekat. Entah itu perasaan kagum terhadap seorang kakak, perasaan bahagia dan nyaman terhadap pria yang terlihat begitu mirip dengan sosok sang ayah, atau perasaan lain yang mungkin tidak akan pernah ia mengerti.