Chereads / CINTA TIGA DIMENSI / Chapter 31 - 31. Pergumulan

Chapter 31 - 31. Pergumulan

Merasa masih belum puas karena belum mendapatkan jawaban dari gadis itu, Jade kembali mencoba menanyakan pertanyaan yang sama kepadanya, "Baiklah, aku akan cerita semuanya tapi kamu jawab dulu pertanyaanku. Anggap aja ini cuma pertanyaan iseng aja dariku. Aku hanya ingin tau pendapatmu aja. Iv, andaikan kita bukan saudara tiri atau apapun itu, apa kamu mau jadi pacarku?" Ivory kembali merasa bingung karena tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan Jade yang seperti itu, ia terlihat berpikir keras. Melihat gadis itu sedikit kesusahan karena harus memikirkan jawaban atas pertanyaannya, Jade merasa mungkin ia sudah bisa mengetahui jawabannya lalu segera mengakhiri sesi tanya jawab tersebut karena ia tidak ingin membebani Ivory dengan pertanyaannya yang tidak begitu penting. "Udah kalo gak bisa jawab gak apa – apa. It's not a big deal sis. Jadi aku mulai aja ceritanya sekarang ya," ujar Jade lalu ketika ia hendak memulai ceritanya tiba – tiba Ivory sudah menyelanya, "Akan aku jawab, menurutku kalo kita memang sama – sama mencintai memang nggak ada yang salah jika kita memiliki hubungan spesial seperti yang kamu maksudkan itu Kak," Jade merasa kaget mendengar pernyataan Ivory tersebut dan seketika matanya berbinar – binar namun ia tidak ingin gadis tersebut mengetahui perasaannya yang sesungguhnya karena biar bagaimanapun sebuah perandaian itu pasti tidak akan pernah terjadi pikirnya. Sembari menggenggam kedua gadis itu, ia pun berkata, "Ya udah, jangan terlalu dipikirkan lagi ya, pertanyaanku tadi. Aku hanya bercanda dan berandai – andai aja. Aku hanya ingin mencairkan suasana yang terlalu tegang belakangan ini," Jade pun tersenyum kepada gadis itu namun tiba – tiba ia mendapati ekspresi ketidaksukaan dari sorot mata Ivory yang sudah terlihat seperti berkaca – kaca. "Kamu mau mempermainkanku ya Kak, mungkin itu udah jadi kebiasaanmu atau selama ini kamu memang hobinya menanyakan hal – hal semacam itu terhadap semua wanita di luar sana, jadi sekarang kamu pun mau mempermainkan adikmu sendiri? Iya?! Semua orang di sekitarku sepertinya sekarang sama aja ya, senangnya mempermainkan perasaan orang lain!" Ekspresi Ivory yang tiba – tiba terlihat emosi dan marah serta kesal membuatnya tiba – tiba menjadi garang dan meledakkan emosinya bagaikan bom waktu yang sudah saatnya meledak. Ia sendiri pun tidak menyadari akan sikapnya yang tiba – tiba berubah menjadi seperti itu. Perasaan Ivory seakan begitu kalut dan begitu diaduk – aduk terlebih lagi pasca kejadian – kejadian akhir yang menimpanya. Jade hanya bisa terdiam dan menatapnya dalam, ia merasa sepertinya ia salah lagi dalam penyampaian kata – katanya. Baru kali ini Jade melihat Ivory meledakkan emosinya seperti itu meskipun pernah sebelumnya namun belum pernah yang seperti ini. Seperti ada sesuatu yang berbeda dari nada emosinya, karena ia tidak biasanya meledakkan emosinya jika tanpa sebab. Ia bingung harus bagaimana menjelaskan mengenai perasaannya, terlebih lagi ia tidak mau menyakiti perasaan gadis itu apabila nantinya ia malah kembali menyinggung perasaannya yang belakangan lebih sensitif.

Melihat semua penghuni restoran sepertinya sudah mulai menyenter dengan sorotan sinar mata tajam mereka yang menandakan bahwa mereka merasa tidak nyaman karena keributan yang telah dibuat oleh gadis itu, Jade pun segera menarik lengan sang gadis untuk keluar dari restoran dan segera membayar bill, lalu ia pun membawa Ivory mengunjungi sebuah taman yang berada di pinggiran kota untuk menenangkan dirinya. Sesampainya di sana ia segera membawa dan mengajak Ivory untuk duduk di kursi taman yang dipenuhi dengan bunga – bunga dan lampu minimalis dengan cahaya yang berwarna sedikit kuning putih temaram. Suasana taman begitu sepi tanpa ada gangguan siapapun dan kini mereka hanya ditemani angin malam yang sepoi – sepoi serta bintang – bintang yang bersinar. Jade mencondongkan wajahnya ke samping untuk kembali melihat wajah gadis yang sudah sedari tadi mengerut dan terlihat begitu emosi, namun yang dilihat langsung memalingkan wajahnya tanda dirinya tidak suka dipandang dengan cara seperti itu. Jade pun mencoba untuk membuka pembicaraan, "Iv, aku mohon, kamu jangan marah – marah gitu dulu dong. Dengarkan dulu penjelasanku. Aku benar – benar gak bermaksud untuk mempermainkan perasaanmu. Aku tadi itu hanya mengajakmu untuk membicarakan hal lain diluar daripada permasalahan yang belakangan ini kita hadapi, agar kita sama – sama nggak terlalu stres memikirkan masalah tersebut. Sekarang coba kamu keluarkan semua kekesalan yang kamu pendam dalam hatimu. Aku benar – benar minta maaf karena belakangan ini aku lebih sibuk di luar sehingga hampir jarang berada di rumah dan kita jadi jarang berkomunikasi. Maafkan kakakmu ini ya," ujar Jade mencoba untuk mencairkan es yang sedang membeku itu. Ia ingin memberikan ruang kepada gadis itu untuk bercerita sepuasnya karena memang belakangan ia lebih jarang terlihat di rumah setelah menyibukkan diri untuk pekerjaan paruh waktunya dan juga jadwal kuliahnya yang sudah dimulai. Ia juga terlihat jarang berbicara sejak Nathan tinggal bersama mereka apalagi kepala keluarga baru itu telah mengancam akan memperhatikan segala gerak gerik mereka sehingga ia menjadi tidak leluasa untuk bercerita apapun lagi di rumah.

Alih – alih berbicara, gadis itu malah kembali menangis sejadi – jadinya. Tangisan yang terdengar perih dan begitu menyesakkan hingga dirinya beberapa kali mengalami sendakan dan merasakan sesak di dada. "Menangislah jika memang itu bisa membuatmu lebih tenang, aku akan tetap di sini menemanimu. Aku memang sengaja membawamu ke sini agar kamu bisa lebih leluasa untuk mengeluarkan semua rasa sesak itu. Setelah itu ceritakanlah kepadaku semua isi hatimu," ujar Jade. Selang beberapa saat seolah banjir sudah mulai surut dan keadaan Ivory sudah lebih tenang, akhirnya ia pun kemudian mulai menceritakan semua yang dialaminya ketika menghadapi Nathan dan mengenai sikap ibunya yang akhir – akhir ini seperti terlihat seperti menelantarkannya bahkan tidak pernah memperhatikannya lagi sedikitpun. Tidak jarang pula Nathan sering hampir bermain tangan kalau saja tidak dihadang oleh Moniq. Apalagi ketika melihat Catherine sekarang menjadi lebih diperhatikan dan disayangi oleh ibunya membuat dirinya mengira bahwa mungkin Moniq sudah tidak menyayangi atau menginginkannya lagi. "Aku rasanya ingin menghilang saja dari rumah itu Kak, aku udah gak sanggup melihat drama mereka setiap hari seperti itu. Andaikan aja papa masih hidup mungkin semuanya gak akan seperti ini, tolong bawa aku pergi jauh dari situ Kak, kumohon," ujar Ivory sesenggukan sambil memeluk pria yang berada di sampingnya itu. Jade hanya bisa menahan kepalan tangannya mendengar bahwa psikopat itu ternyata sekarang sudah berani – beraninya bermain kasar terhadap Moniq dan Ivory. Ia pun berusaha menahan rasa sesaknya di dada serta segala tekanan emosi dan gejolak di dalam hatinya karena tidak ingin membuat perasaan gadis itu semakin kacau. Ia ingin sekali membawa gadis itu keluar dari rumah namun rasanya itu adalah hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. Akan tinggal di mana mereka andaikan mereka keluar dari sana sementara pekerjaan paruh waktunya pun masih belum bisa memberikannya penghasilan yang memadai. "Maafkan kakakmu yang gak berguna ini ya, andaikan aja pekerjaan paruh waktuku udah bisa memberikanku penghasilan yang lebih, aku janji akan segera bawa kamu keluar dari sana. Tapi untuk saat ini kumohon kamu sedikit lebih bersabar dulu ya. Soal mama aku yakin dalam hatinya pasti gak pernah bermaksud seperti itu. Mungkin hanya karena mama gak enak sama papa dan Catherine jadi masih berusaha menyesuaikan diri. Sekarang coba kamu tatap aku," ujar Jade seraya memalingkan wajah gadis itu untuk menatapnya dan menyeka air mata gadis itu perlahan – lahan. "Aku ingin kamu mulai sekarang jangan mempercayai apa yang kamu lihat. Yang kamu lihat belum tentu benar dan yang benar belum tentu seperti apa yang kamu lihat. Maksudku, jangan mudah percaya pada apa yang kamu lihat, karena belum tentu kenyataannya seperti itu. Kuharap kamu gak akan pernah membenci mama. Apapun yang beliau lakukan itu semua demi kebaikanmu juga. Percayalah padaku. Aku janji gak akan pernah tinggalin kamu, jadi mulai sekarang kamu cukup abaikan semua yang kamu lihat di dalam rumah itu dan ikuti kata hatimu. Kuatkan dirimu. Ketika kamu mulai merasa gak nyaman atau gak senang dengan suasana di sana, hubungi aku dan aku akan segera menjemputmu. Aku akan bawa kamu ke sini lagi dan kita akan menghabiskan waktu bersama tanpa ada yang mengganggu jadi kamu bisa bercerita apa saja di sini. Kita udah gak bisa cerita banyak di rumah karena semua gerak gerik kita akan tetap dipantau, itu sebabnya aku gak suka dan gak betah lagi di rumah seharian. Bukannya aku mau menghindari kamu tapi aku akan lebih jarang di rumah karena aku memang udah gak tahan melihat kelakuan orang itu makanya aku sekarang memilih untuk mencari pekerjaan paruh waktu ini supaya aku bisa mandiri dan membiayai kehidupanku sendiri. Dan sekarang aku juga akan membiayai kebutuhanmu tanpa kamu harus mengemis lagi kepada orang itu. Aku janji itu," ujar Jade masih menggenggam kedua tangan Ivory. "Jadi kamu bekerja paruh waktu demi untukku juga Kak?" tanya Ivory dengan mata yang masih berlinang air mata. "Aih, kamu ini, jangan nangis lagi. Aku bisa ikutan juga nanti liat kamu nangis terus seperti ini. Iyalah demi kamu, seperti janjiku padamu sebelumnya. Apapun akan kulakukan demi adik kesayanganku ini," ujar Jade seraya mencubit pelan kedua pipi gadis itu. Rasanya semakin lama, ia semakin gemas dan semakin menyayangi sosok gadis yang begitu rapuh itu dan selalu ingin terus ada untuknya. "Terima kasih banyak ya Kak, aku juga sayang banget sama kamu. Aku benar – benar beruntung masih punya kamu meskipun papa udah gak ada tapi kamu selalu membuatku merasa seakan – akan papa masih hidup di dunia ini. Sosok papa akan terus hidup di dalam hatiku," Ivory lalu memeluk Jade manja seakan – akan ia sedang memeluk sosok ayahnya. Ternyata ingatan gadis ini terhadap sang ayah begitu melekat hingga kini menganggap Jade seperti ayahnya sendiri membuat Jade merasa sedikit tenang, namun ia kembali harus berusaha keras untuk mengesampingkan perasaannya.

Setelah melewati drama yang cukup panjang, akhirnya kedua saudara tiri itu pun sepakat untuk pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 dini hari. Tanpa mereka ketahui bahwa ternyata kehadiran mereka telah ditunggu oleh Nathan di ruang tamu. Ketika mereka hendak berjalan melewati ruang tersebut tanpa menyapa pria itu, tiba – tiba Nathan sudah membanting koran yang sedari tadi dipegangnya. "Sejak kapan aku mengajari kalian untuk pulang hingga larut malam seperti ini dan bahkan dengan seenaknya kalian mau melewatiku begitu saja? Kalian anggap aku ini apa hah? Dan kamu, anak gadis, tapi tidak tau diri! Siapa yang mengajarimu untuk pulang larut seperti ini? Dia? Atau mama kamu? Atau papa kamu?" bentak Nathan. Mendengar lelaki itu menyebutkan mendiang ayahnya Ivory langsung emosi lagi. "Stop! Jangan pernah sebut – sebut atau menjelek – jelekkan papa! Dan jangan juga menyalahkan mama dalam masalah ini!" bentak Ivory kembali. "Bagus, bahkan sekarang siapa yang mengajari kamu untuk membentakku seperti ini? Dia juga? Kamu belum pernah ngerasain ini ya?" Nathan terlihat sedang melepaskan tali pinggangnya dan hendak memukulkan kepala besi tali pinggang tersebut ke tubuh Ivory namun Jade menghadangnya hingga pukulan tersebut mengenai punggungnya. "Cukup! Jangan pernah kamu sekali – sekali menyakiti Ivory! Aku udah cukup bersabar melihat semua ulahmu dan aku pun udah muak dengan semua ini. Kamu pikir aku akan tinggal diam kalo sampai kamu berani – beraninya menyentuh Ivory sedikit saja?" tanya Jade. Melihat Jade yang begitu membela Ivory membuat darah Nathan mendidih seketika lalu ia pun mulai memukul Jade kembali dengan tali pinggang tersebut. Ivory yang melihatnya tidak tahan lalu menangkis pukulan tersebut agar tidak sepenuhnya mengenai tubuh Jade, akan tetapi berulang kali Jade terus mendorong tubuh Ivory untuk menjauh agar tidak terkena pukulan, hingga pergumulan antara kedua pria tersebut menyebabkan gadis itu terlempar dan terjatuh terpelanting serta benturan yang cukup keras mengenai kepalanya di lantai. Jade yang melihat hal tersebut langsung mengamuk dan menghajar Nathan. Pergumulan pun terjadi seolah mereka sedang mengikuti pertandingan gulat demi memperebutkan kemenangan. Keributan yang terjadi membangunkan seisi rumah hingga Moniq dan Catherine menyusul dan melihat ke bawah. Moniq begitu kaget mendapati Ivory yang sedang tidak sadarkan diri di lantai sementara kedua pria di hadapannya sedang asyik bergulat dan bukannya menolong Ivory. "Hentikan perkelahian ini! Apa gunanya kalian terus – terusan seperti itu? Kalian ini kenapa sih? Putriku sudah dalam keadaan seperti ini bukannya kalian tolong malah asik berkelahi?" teriak Moniq untuk memisahkan perkelahian kedua orang tersebut. "Orang ini yang memulai duluan ma, aku hanya memberikannya sedikit pelajaran karena udah buat Ivory jadi seperti ini," ujar Jade. "Dasar anak durhaka kamu!" bentak Nathan yang hendak menghajar Jade kembali namun dilerai oleh Moniq. "Sudah kubilang cukup! Aku minta kalian berhenti sekarang juga dan tolong bantu aku membawanya ke kamar. Setelah itu aku minta kalian untuk kembali ke kamar masing – masing!" teriakan Moniq seakan mendadak menjadi peringatan keras yang akhirnya membuat kedua lelaki tersebut terdiam dan menuruti permintaannya.