Malam itu, ia benar - benar tidak bisa tidur nyenyak seperti biasanya. Semua kejadian terjadi begitu cepat dan terasa seperti mimpi baginya. Banyak hal yang terus berputar di dalam pikirannya. Berawal dari kematian ayah angkatnya, dalang dibalik kecelakaan Enrique dan kekacauan di rumah ini, orang misterius yang menuliskan surat rahasia kepada Ivory, lalu orang misterius yang berbicara kepada adiknya tadi. Intinya semua ini pasti ada kaitannya dengan kematian Papa Enrique pikirnya. Memikirkan semuanya itu membuat kepalanya terasa hampir pecah. Ia benar – benar bingung harus memulainya dari mana. Ia berpikir mungkin dengan membantu Ivory mencari tahu terlebih dahulu mengenai pengirim surat rahasia tersebut merupakan hal yang paling utama untuk saat ini. Bisa jadi itu akan menjadi kunci utama untuk membuka kotak rahasia dari semua permasalahan yang seakan terkunci rapat ini. Sementara itu, Moniq sendiri yang masih terus larut dalam kesedihannya saat ini pun masih meringkuk di hadapan potongan – potongan foto yang berserakan di hadapannya, membayangkan potongan – potongan foto Enrique tersebut bagaikan menatap potongan – potongan tubuh Enrique yang hancur berkeping – keping setelah dihantam oleh sebuah truk besar seperti yang disaksikannya sendiri. Rasanya seperti tidak ada lagi semangat yang tersisa dalam hidupnya. Seluruh jiwanya bagaikan telah hilang bersamaan dengan kepergian orang yang paling dicintainya. Begitu juga Ivory pun merasakan kekalutan yang sama. Ia ingin sekali memutar waktu di mana semua ini belum terjadi menimpa dirinya dan keluarganya. Baru kali ini ia merasa begitu kesepian tanpa ditemani oleh siapapun. Ia pun menatap layar ponselnya yang berisi semua foto – foto kenangan mereka bertiga ketika di Paris kemarin. Semuanya terasa seperti mimpi baginya. Mimpi yang baru saja membuatnya terbangun lalu semuanya hilang begitu saja, bagaikan hujan sehari yang menyapu bersih semua debu yang bertebaran di jalanan lalu hilang dalam sekejap.
Tidak tahan karena terlalu lama bersungut – sungut di dalam kamar, ia pun berjalan keluar pintu belakang kamarnya yang terdapat sebuah balkon mini dengan sebuah pagar putih yang tingginya sepinggang. Di balkon tersebut diletakkan sebuah kursi kecil dengan sebuah meja mini tempat biasa Ivory duduk dan sekedar bersantai untuk menikmati cemilan atau minum teh dikala ia sedang dilanda kebosanan. Dari balkon tersebut ia bisa melihat indahnya pemandangan sinar cahaya yang terang di seluruh kota, bintang dan rembulan di langit yang gelap, ketika di pagi hari ia bisa melihat pemandangan langit yang cerah serta bangunan – bangunan kota yang menjulang tinggi dan bahkan kesibukan – kesibukan seluruh warga kota yang beraktivitas di pagi hari. Dari kejauhan di ufuk timur bisa terlihat Gedung Opera Sydney yang bangunan atapnya menyerupai cangkang kerang dan menjadi ikon terkenal di Negara tersebut dengan sebuah jembatan yang menjulang tinggi melengkung di bagian belakangnya menambah kesan gedung tersebut menjadi begitu unik dan mewah bila dilihat dari kejauhan. Jika ingin ke sana pun mungkin setidaknya orang – orang harus menempuh perjalanan selama lebih kurang 2 jam untuk mencapainya. Pemandangan langit malam dengan bintang – bintang yang bersinar terang di antara langit gelap tersebut seakan tersenyum melihatnya. Ia merasa bisa melihat ayahnya yang juga sedang memandangnya dibalik salah satu bintang yang bersinar paling terang tersebut. Tidak berapa lama ketika ia sedang memandang bintang – bintang tersebut, tiba – tiba pintu balkon kamar sebelah kirinya terbuka. Ternyata sosok Jade yang muncul untuk membukanya. Ternyata ia tidak sendirian melewati malam yang sepi itu pikirnya. Jade yang baru saja keluar dari balkon langsung kaget melihat seorang gadis yang memakai gaun tidur putih di sebelah kanan balkonnya. Letak kamar mereka memang tidak begitu jauh dan hanya berjarak lebih kurang setengah meter. Jade melayangkan senyum ketika memandang Ivory begitu juga sebaliknya. Setelah berjalan dan berdiri dari jarak yang lebih dekat, mereka kemudian saling memulai pembicaraan ringan hingga diskusi mengenai langkah selanjutnya yang harus mereka lakukan untuk mencari tahu jawaban atas semua pertanyaan yang terus mengganggu pikiran mereka. Jade meraih tangan kanan Ivory lalu menggenggamnya. "Aku janji kita akan melewati ini bersama – sama Iv, kamu gak sendirian hadapi ini semua. Kuharap andaikan sesuatu terjadi diantara kita suatu hari nanti, aku ingin kamu tetap percaya padaku bahwa aku bukanlah mereka dan aku berbeda. Aku akan berusaha untuk terus melindungimu dan mama Moniq dari apapun yang akan terjadi." Sembari tersenyum, Ivory hanya mengangguk mengiyakan pernyataan kakaknya. "Kamu jangan buat aku mikir yang aneh – aneh lagi deh dengan ngomong begitu. Oh ya, kamu sadar gak sih, akhir – akhir ini kamu udah banyak berubah. Kamu gak sependiam dulu lagi. Aku senang liat kamu yang sekarang. Kalo begitu aku kan jadi gak takut lagi sama kamu, beda dengan kamu yang pendiam dan dingin dulu, buat aku selalu ketakutan kalo ada di dekat kamu. Terlihat misterius." Jade hanya bisa tersenyum dan tersipu malu mendengar pernyataan gadis itu dan ketika ia ingin membuka suara, tiba – tiba Ivory sudah melanjutkan lagi perkataannya, "Dan aku juga percaya kok kalo kamu gak akan khianati kepercayaan kami. Selama ini kamu udah berbuat begitu banyak untuk membantu kami. Aku senang bisa punya sosok seorang kakak sepertimu. Tuhan memang baik banget ya samaku, mengirimkanku seorang kakak yang begitu baik dan sayang samaku, juga begitu perhatian sama keluarga. Aku bangga sama dirimu Kak. Tetaplah menjadi baik seperti ini ya. Aku yakin, suatu saat wanita yang akan bersamamu pasti akan menjadi seorang wanita yang paling beruntung di dunia ini." "Kenapa begitu?" Tanya Jade. "Karena wanita itu layak mendapatkanmu. Cinta itu tidak bersyarat. Jadi andaikan dia mencintaimu hanya karena memandangmu sebagai anak seorang konglomerat atau apapun itu berarti dia gak benar – benar cinta sama kamu. Jangan pernah nikahi seorang wanita seperti itu untuk jadi kakak iparku ya. Aku gak akan pernah terima dia. Blacklist." Jade hanya tersenyum melihat gadis yang sedari tadi berceloteh lucu di hadapannya itu. Andai saja ia tahu bahwa hanya dirinya-lah satu – satunya wanita yang akan selalu hidup dalam hatinya. "Hanya kamu." Tanpa disadari oleh Jade, tiba – tiba ia mengucapkan kata – kata tersebut ketika memandang wajah gadis itu lekat – lekat. "Apa? Kamu bilang apa Kak? Halo…" Ivory seraya melambaikan tangan di hadapan Jade, namun yang dipanggil sepertinya terlalu larut dalam lamunannya. "Oh ya, Iv, maaf. Ada apa?" "Kamu lagi ngelamun ya, tadi kamu bilang apa? Hanya kamu, maksudnya?" Jade segera menyadari bahwa ia pasti tadi sudah sempat melamun dan tidak sadar menyebutkan kata – kata yang membuat gadis itu bingung. "Oh, maksudnya aku hanya akan nyari gadis baik yang seperti kamu." Ivory hanya tertawa lucu mendengar pernyataan Jade.
Entah mengapa ia merasa nyaman dan bahagia setiap kali melihat Jade ketika bertingkah aneh dan gelagapan seperti itu, mungkin karena ia terlalu kaku dalam gaya bicaranya. Ivory sendiri pun merasa sosok Jade begitu mirip dengan sosok ayahnya dulu. Ia berharap suatu hari ia pun bisa menemukan sosok pendamping hidup seperti Jade yang begitu mirip dengan ayahnya. Ia teringat ketika mereka berkumpul bertiga, Moniq dan Enrique pernah menceritakan kisah mereka berdua ketika pertama kali bertemu dulu. Menurut pengakuan ibunya, sosok ayahnya dulu juga merupakan pria yang begitu lugu dan polos serta sering gelagapan setiap kali bertemu dengannya. Sosok ayah yang selalu jujur dan bersikap apa adanya serta ketulusannya yang membuat ibunya jatuh cinta terhadap dirinya tanpa syarat apapun. Beliau merupakan sosok ayah yang luar biasa bagi dirinya dan sosok pendamping hidup yang sempurna bagi ibunya. Ivory yang memandang Jade seakan membayangkan sosok ayahnya yang seolah hidup dalam diri kakaknya itu hingga membuatnya tidak bisa memalingkan wajahnya dan membuat matanya kembali berkaca – kaca. Jade yang merasa gadis itu sedang melamun kini bergantian melambaikan tangan di hadapan wajah gadis itu. "Iv, kamu kenapa?" Ivory yang baru sadar bahwa ia hampir menangis lagi membayangkan sosok ayahnya langsung segera mengusap matanya dan mengatakan bahwa ia baik – baik saja lalu meminta izin masuk ke dalam kamar terlebih dahulu dengan alasan sudah mengantuk. Jade yang ditinggalkan sendirian hanya merasa bingung dengan sikap Ivory, namun ia merasa pasti gadis itu kembali sedih memikirkan sosok ayahnya. Ia hanya berpikir bagaimana caranya untuk menghilangkan kesedihannya agar ia pelan – pelan bisa mengikhlaskan kepergian sang ayah.
Keesokan harinya, sesuai rencana yang telah ditentukan oleh Ivory dan Jade, mereka pun mengunjungi Hubert di kediamannya. Sudah lama ia tidak pernah berkunjung ke restoran khas Italia milik kakeknya itu. Ia begitu merindukan suasana ketika dulu Enrique dan Moniq membawanya ke sini hanya bertiga saja ketika mereka ingin berkumpul bersama Hubert dan mengunjunginya di rumah minimalis kakeknya ini lalu mereka akan menyempatkan sedikit waktu untuk mengunjungi restoran tersebut. Biasanya restoran tersebut selalu terlihat ramai pengunjung namun mengapa hari itu pintu restoran diletakkan papan tulisan 'TUTUP' dibalik pintu kacanya. Sesampainya di rumah kakeknya yang hanya bertepatan di sebelah restoran, Ivory langsung memasuki rumah tersebut karena pintu pun tidak dikunci seperti biasanya, namun ia tidak mengetahui bahwa kakeknya sedang sakit dan sedang terbaring lemah di kamarnya. Terlihat seorang perawat sedang menjaganya. Ivory meminta maaf kepada kakeknya lantaran mereka belum sempat menjenguk kakeknya dalam sepekan terakhir dikarenakan banyak hal yang terjadi hingga mereka tidak tahu menahu mengenai kondisi kakeknya yang sedang sakit. Namun setelah mengabarkan bahwa Enrique telah tiada, Hubert begitu terperanjat hingga kondisinya mendadak menurun namun untunglah perawat tersebut sigap dan segera memberikan obat penenang kepada Hubert. Setelah tertidur pulas, perawat mereka meminta Ivory dan Jade untuk menunggu beberapa saat hingga Hubert kembali stabil dan terbangun kembali.
Setelah Hubert kembali terbangun, Ivory pun meminta maaf kepada kakeknya karena tidak sempat mengabari kakeknya mengenai kematian ayahnya yang begitu tiba – tiba. Ia kemudian menceritakan semua yang terjadi selama sepekan terakhir hingga kejadian yang menewaskan ayahnya termasuk kondisi rumah mereka yang dikacaukan tersebut. Ivory segera mengeluarkan surat yang sudah semalaman membuatnya penasaran untuk menanyakannya kepada Hubert apakah benar itu surat yang dikirim oleh beliau, namun ternyata dugaannya salah. Hubert mengaku tidak pernah menuliskan surat seperti itu apalagi saat ini kondisi tangannya pun sudah melemah dan jika ia ingin memberitahukan sesuatu kepada cucunya pun ia akan meminta bantuan sang perawat untuk meneleponnya langsung. Kini Ivory dan Jade semakin bingung dengan sosok misterius yang mengirimkan surat misterius tersebut. Ivory berpikir apakah ia merupakan salah satu karyawan dari perusahaan ayahnya atau bukan. Sepulangnya dari rumah kakeknya, ia pun berinisiatif untuk menelepon sekretaris kepercayaan ayahnya yang ia kenal karena ia sering mengunjungi kantor Enrique sehingga ia kurang lebih telah mengenal beberapa karyawan ayahnya. Ia meminta kepada sekretaris tersebut untuk mengumpulkan semua karyawan ayahnya di kantor guna meminta keterangan kepada mereka apakah ada salah satu di antara mereka yang menuliskan surat tersebut. Setelah ia dan Jade tiba di kantor dan semua orang sudah berkumpul, ia langsung memberitakan mengenai kematian ayahnya yang belum diketahui oleh seluruh jajaran karyawan, karena mereka kemarin belum sempat mengabarkan semua pihak. Mereka begitu kaget mendengar berita tersebut dan memberikan ucapan belasungkawa kepada Ivory dan Jade. Namun setelah mengkonfirmasi surat tersebut, mereka kembali mendapatkan jawaban yang sama. Tidak ada satupun dari mereka yang mengetahui mengenai surat misterius tersebut. Ivory dan Jade benar – benar sudah kehabisan akal untuk menerka siapa dalang dibalik surat tersebut. Tidak mungkin Catherine, meskipun ia di rumah namun Jade mengingat dengan jelas bagaimana tulisan adiknya itu. Lagipula Catherine tidak mungkin menuliskan surat seperti itu pikirnya, kecuali orang yang berbicara kepadanya semalam. Ia mulai penasaran siapa orang misterius tersebut. Ia ingin memberitahukannya kepada Ivory namun ia merasa mungkin belum saatnya karena ia sendiri pun belum mengetahui dengan pasti mengenai apa yang didengarnya. Ia merasa perlu mencari tahu hal tersebut sendiri dan akan mengawasi Catherine dari sekarang.