Ruang Makan
Saat Elvano menuruni tangga, Tuan dan Nyonya Dirgantara bersama teman-teman adiknya mengangkat kepalanya untuk melirik kearahnya. Elvano yang dilihat memasang ekspresi yang lebih gelap.
Gallendra melihat wajahnya yang semakin gelap, tubuhnya sedikit gemetar dan buru-buru bersembunyi dibelakang ibunya.
"Bu tolong aku!"
"Sayang, apa yang kamu lakukan pada kakak mu, sehingga kamu membuatnya marah?" Melihat ibunya hanya merespon dan tidak mencoba melindunginya dan ayahnya pun yang hanya meliriknya membuatnya ingin menangis tanpa air mata QAQ.
"Bu, aku bersumpah! Aku hanya bercanda dengan saudaraku saat Lendra mencoba membangunkan Kak Vano.!"
Elvano yang sudah sampai diruang makan meredakan ekspresinya, tapi saat adiknya mengatakan dia hanya bercanda ekspresinya menjadi gelap sesaat lalu menyesuaikan ekspresinya kembali menjadi tanpa ekspresi.
Tuan Damian melirik putra tertuanya lalu putra bungsunya, dalam hatinya dia hanya bisa mendoakan putra bungsunya agar baik-baik saja dan semoga saja putra tertuanya tidak bertindak terlalu jauh.
Hah...Vano masih saja menyimpan dan menelan dendamnya lalu melampiaskannya kembali. Tapi melihat putranya masih ada sedikit rasa canggung karena biasanya Vano terlihat dingin dan tidak pernah bertindak genit. Apakah amnesia membuat umur mental nya menjadi anak-anak?
Tuan Damian terbatuk untuk membuat semua orang fokus padanya kembali. Dan berkata dengan tegas.
"Makan dulu lalu lanjutkan."
Semuanya bersiap untuk makan. Setelah setengah jam mereka berkumpul di ruang keluarga.
Elvano yang sedang menonton film horor sambil makan kwaci merasa seseorang menyebutkan namanya lalu dia menoleh dan mengangkat kepalanya dari film untuk mencari siapa yang memanggilnya.
"Ada apa?"
"Vano tidak akan kembali ke Prancis kan?" Tuan Damian bertanya.
"Ya. Tapi jika sesuatu terjadi disana Vano pasti akan kembali tetapi Vano akan pulang kembali jika urusan disana sudah beres."
"Lalu bagaimana sekolahmu disana?"
Sudut bibir Elvano berkedut lalu menjawab perlahan.
"Haruskah aku memulai kembali karena 2 tahun aku tidak belajar?"
"Nah, kalau begitu sudah beres. Vano, ayah sudah mendaftarkanmu disekolah yang sama dengan adikmu. Yaitu sekolah SMA ANGKASA. Besok pagi kamu bisa langsung datang ke sekolah bersama Lendra. Baju dan bukunya sudah siap."
"Baik."
Setelah itu Tuan Damian pergi dari ruang keluarga.
Karena Nyonya Chelsea sedang ada di kamarnya.
Bastian melirik Elvano yang kembali menonton film horor.
"Bisa gue panggil Lo Vano?"
"Ya, ada apa?" Elvano melihat Bastian sambil mengangkat alisnya.
"Lo beneran ngak inget apa-apa?" Bastian bertanya sambil ngambil kentang pedas.
Setelah Bastian mengatakan itu semua orang yang sedang pada asik langsung mengangkat kepalanya dan kejutan dan keheranan melintas dimata mereka. Bahkan Gallendra yang sedang mengurangi kehadirannya karena masih ketakutan apakah saudaranya akan memukulnya pun mengangkat kepalanya keheranan.
Jejak keheranan melintas dimata Elvano. Sambil memiringkan kepalanya Elvano bertanya sambil terkejut.
"Kenapa kamu menanyakan pertanyaan yang membingungkan??"
Nyonya Chelsea yang akan lewat tiba-tiba mendengar suara pun bersembunyi dibalik pintu dan mendengarkannya dengan serius.
Bastian menatap mata Elvano untuk waktu yang lama.
"Ada apa? Apa ada sesuatu di wajahku?" Elvano mengangkat tangannya untuk menyentuh wajahnya dan bertanya dengan prihatin.
Bastian memalingkan wajahnya dan tidak lagi menatap mata Elvano yang penuh kebingungan.
"Tidak, gue hanya penasaran aja, kenapa Lo yang baru ketemu nyokap, bokap, dan saudara Lo untuk pertama kalinya merasa sudah akrab. Dan bahkan gue perhatiin Lo selalu ingin mata mereka selalu memperhatikan Lo, kenapa?"
Elvano membeku. Bahkan matanya pun mulai melebar.
Nyonya Chelsea yang bersembunyi wajahnya sudah mulai kehilangan darahnya.
Bahkan Gallendra dan teman-temannya merasa tidak percaya apa yang dikatakan Bastian. Mereka mulai saling memandang.
Arkanio yang belajar sedikit psikologi saat waktu senggang berkata dengan heran. Dan tangannya mulai menunjukkan kepalanya sendiri.
"Lo sakit?"
Elvano yang rahasianya terbongkar didepan saudaranya hanya memiringkan kepalanya dan menyipitkan matanya sedikit untuk menyembunyikan mata yang gelap, Wajahnya yang selalu kedinginan, muncul ekspresi polos dan kebingungan yang langka diwajahnya dan menjawab tanpa daya.
"Sakit? Apa yang kamu katakan? Dan aku bahkan tidak tahu jika orang tua dan saudaraku selalu memperhatikanku. Tapi bukankah mereka yang menyayangi keluarganya akan selalu memperhatikan setiap anggota dalam keluarga?"
Meskipun jantungnya berhenti berdetak beberapa detik dan keinginan untuk menghancurkan sesuatu meningkat. Elvano merasa beruntung karena tangan yang terus menerus gemetar ada di belakang sofa dan terhalang olehnya.
Bastian dan Arkanio melihat ekspresi yang kebingungan merasa bersalah karena mungkin mereka salah menilai.
"Sorry ya, gue salah menilai Lo, gue pikir Lo sakit mental. Karena Lo terlalu ini ingin mendapatkan perhatian mereka."
Elvano hanya mengerutkan kening dan mencerutkan bibirnya karena kesal saat Bastian mengatakan dia Elvano sakit mental. Tapi karena Bastian dan Arkanio sudah meminta maaf apalagi yang harus dia lakukan, tentu saja memaafkannya karena mereka adalah teman adiknya. Dia harus menahan diri.
"Tidak masalah." Setelah menjawab Elvano mendengus dan melanjutkan film yang dia tonton.
Disudut hanya Arfian yang melirik samar Arkanio yang sedang berfikir dalam-dalam dan tidak menyadarinya.
Hhmp, orang gila yang lebih gila dari Arkanio. Tapi aku tidak tahu segila apa itu. Tapi kenapa Arkanio tidak merasakannya. Kenapa mereka tidak sama dalam gelombang otak yang saling memperingatkan lawan jika lawan tersebut lebih berbahaya darinya?.
Setelah itu dia melirik kembali Elvano yang sedang menonton film horor. Lalu menarik kembali pandangannya.
Dan Nyonya Chelsea yang mendengarkan mereka berbicara dan bercanda ria sambil bersembunyi menghela nafas panjang karena ketakutan. Jika anaknya benar-benar sakit jiwa Nyonya Chelsea akan menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga anaknya hingga menjadikannya sakit jiwa.
Saat jam mulai menunjukkan pukul 23.00 Nyonya Chelsea datang sambil berkata dengan teman-teman putranya sambil tersenyum lembut.
"Udah menginap disini saja sudah malem, disini banyak ruangan kosong yang bersih, kalau kalian butuh sesuatu bilang ke Bibi Li saja."
"Kalau begitu Gibran tidak akan sopan, terimakasih Bibi." Algibran memimpin dan menjawab atas jawaban dari temen-temen lainnya.
Nyonya Chelsea mengembangkan senyumnya dan menjawab dengan cepat.
"Tidak apa-apa. Jangan sopan kepada Bibi, jika kalian membutuhkan sesuatu kalian bisa mengatakannya kepada Bibi juga."
Saat Elvano yang sedang nyemil sambil nonton merasakan tepukan dibahunya. Mengangkat kepalanya dan melihat adiknya menatapnya dengan cerah.
"Kak Vano bisakah kakak menampung satu orang lagi dikamarmu?"
Saat Elvano akan menolak permintaan yang tidak mungkin, Elvano melihat matanya yang cerah, dia menelan kembali kata-kata penolakan yang ada di bibirnya.
"Bisa."
"Terimakasih Kak Vano!" Gallendra memeluk saudara laki-lakinya lalu berlari kembali ke teman-temannya.
Setelah itu mereka menuju lantai dua.
Sambil bersandar dan bersedekap dada, Elvano menatap mereka yang masih terbawa suasana pembagian kamar dengan siapa kalian tidur.
"Jadi siapa yang akan tidur dikamar ku?" Suara magnetis dengan sedikit emosi kesal membuat suasananya mereda.
"Gue." Arfian ingin menangis tanpa air mata, saat dia menjawab. Kenapa gue yang harus tidur dikamar yang sama dengan *binatang buas yang sedang tidur ini?!
*Binatang buas yang sedang tidur adalah kata yang menggambarkan seseorang yang sangat berbahaya tidak menunjukkan sikap yang bisa membuat orang takut seolah-olah dia sedang pensiun atau ingin menikmati hari-hari yang biasa.
Elvano hanya meliriknya lalu masuk ke kamarnya. Lalu berkata kepada seseorang yang masih berdiri diam di pintu.
"Masuk."
"Ah, ya, ya." Arfian hanya bisa menjawab dengan gugup.
* POV Arfian
"Masuk."
"Ah, ya, ya."
Sial! Gue gugup banget jadi menjawab dengan gagap! Seharusnya gue ngak main kertas, gunting, batu, gue jadi kalah dan gue juga harus tidur dikamar dengan binatang itu.
Akhirnya gue tau darimana firasat buruk gue dari tadi!
Saat gue masuk kamar mata gue menjadi gelap sejenak. Saat setelah gue menyesuaikan mata gue, mata gue menatap ruangan yang didominasi oleh warna hitam, putih, dan emas. Bahkan gue dengan bodohnya bertanya pada Elvano yang ada disampingnya.
"Kenapa Lo ngak ngerasa depresi apa, warna paling banyak adalah hitam dan emas?"
Elvano berbalik dan menatap gue dengan mata keterbelakangan mental.
Gue merasa ingin berbalik dan memukulinya karena marah.
Mungkin dia ngerasa gue mau marah akhirnya dia menjawab dengan dingin.
"Aku suka, masalah?."
Sudut bibirnya berkedut dan menjawab dengan cepat.
"Tidak! tidak!." Setelah gue mengatakan itu, gue menyesal. Gue malu, seolah-olah gue adalah kelinci kecil yang berhadapan dengan harimau yang akan memakannya. Dan menutup mukanya dengan satu tangan dan hanya bisa menghela napas karena seluruh tubuh gue selalu tegang karena respon bahaya yang selalu ada berhadapan dengan dia.
* POV Arfian end
Elvano hanya melihatnya sebentar dan membuang muka.
"Kalau gitu kamu bisa pakai pakaianku dulu lalu kamu mandi. Jika kamu ingin tidur kamu tidur disofa saja tidak apa-apa kan? Karena aku tidak terbiasa tidur dengan orang lain." Dan aku tidak ingin ada napas orang lain dikasurnya, tentu saja ini tidak akan dia katakan.
"Ya, tidak apa-apa."
Mereka langsung tertidur setelah mereka mandi.
Disisi lain Prancis.
Tempat Psikiater Calendrick
Kantor
Dokter Fei mengangkat alisnya setelah melihat laporan istimewa dari muridnya yang jenius yang bahkan selalu bisa dia banggakan.
Tapi saat Dokter Fei melihat foto dan gejala yang ada dalam laporan membuat pupil matanya menyusut tajam dan tangan yang memegang laporan bergetar.
Elvano Xavier Dirgantara.
Apakah itu kamu?
"Tuan, apakah kamu baik-baik saja?" Suara cemas murid terpercaya membangunkannya dari trans singkat.
Setelah memenangkan emosinya dia menjawab muridnya yang sedang cemas.
"Aku baik-baik saja."
"Lalu Tuan, apakah kamu sudah membaca laporan nya?"
"Ya."
"Tapi Tuan, bagaimana bisa orang yang memiliki keluarga yang menyayanginya dan mengalami amnesia permanen yang tidak akan mengingat apa-apa bisa mengalami sakit mental yang parah bahkan mungkin sulit disembuhkan? Apalagi aku telah bertanya kepada keluarga pasien apakah pasien pernah mengalami penyakit mental. Mereka hanya mengatakan pernah tapi itu hanya depresi dan autis. Saat aku melihat laporan sebelumnya itu benar-benar hanya depresi dan autis!"
"Tapi Jessie, mungkin pasien pernah mengalami sesuatu yang ingin membuatnya melupakan segalanya dan bahkan menolak ingatan yang membuatnya sakit. Jadi ini mungkin adalah reaksi bawah sadarnya menjadi ekstrim setelah pengalaman tergelapnya."
"Terimakasih Tuan atas ajarannya! Lalu apakah kita akan memberitahukan kepada keluarganya?"
"Ya, kirimkan."
Dokter Fei menajamkan matanya dan membuat keputusan apakah keluarganya yang sekarang akan tetap menyayangi dan menerimanya, jika mereka benar-benar menyayanginya, dia akan melepaskannya, jika mereka tidak menerimanya maka.....
"Baiklah Tuan"
Lalu Jessie berjalan keluar dari kantor.
Dokter Fei yang melihat muridnya keluarga dari kantor menghela nafas panjang dan melihat kembali laporan tes psikologi.
Varo tunggu, aku harus membereskan yang ada disisiku. Setelah itu aku akan datang.
Pada saat yang sama setelah Jessie keluarga dari kantor dan menelpon Opa dan Oma Dirgantara.
-
-
Drttt..
Opa yang baru saja selesai meeting menerima telepon dari nomor tidak dikenal mengerut kening dan menjawab.
"Halo, apakah ini Tuan Raditya Dika Dirgantara?"
"Ya."
"Tuan, saya Jessie dokter yang melakukan test untuk cucumu sebelumnya."
Setelah mendengar itu tentang cucunya dia dengan cepat menjawab dengan khawatir.
"Apakah cucuku baik-baik saja?"
"..." Jessie yang disisi lain telepon terdiam sejenak.
"Halo..."
"Tuan kamu harus siap secara mental."
"Apakah dia sakit?" Suara Opa ditelpon sudah mulai gemetar.
" Ya, menurut laporan yang telah keluar, cucumu tidak baik-baik saja kerena dia memiliki faktor psikologis yang terdistorsi dan ini tidak bisa disembuhkan karena ini sudah mencapai kritis dan bahkan cucumu bisa berperilaku ekstrim." Jessie menjawab perlahan.
"
Bagai... Bagaimana ini bisa terjadi... Lalu dokter kapan laporannya bisa diambil?" Suaranya penuh kebingungan gemetar perlahan terdengar di telpon lalu bertanya dengan cepat.
"Besok, laporannya sudah bisa diambil tuan."
"Oke, oke."
"Kalau begitu saya tutup telponnya."
Tuan Raditya merosot disofa penuh kebingungan bahkan tidak menyadari telponnya sudah mati.
Matanya perlahan melihat menjadi buram karena air mata yang tertahankan dimatanya. Bibirnya bergetar sambil bergumam.
"Bagai... Bagaimana cucu kesayanganku, bisa sakit? Kami selalu menjaganya dengan kehati-hatian agar setelah kecelakaan saat dia masih kecil dia bisa melupakannya dan menjalani hari yang baru. Lalu apa yang terjadi saat dia menghilang selama sebulan dan mengalami kecelakaan itu?"
Lalu dia mengingat seseorang. Tuan Raditya dengan cepat-cepat berdiri dan menelpon orang itu.
"Yo! Apakah orang tua yang sa~ngat sibuk ini baru mengingatku sekarang?" Seseorang menjawab.
"Diam!" Pelipisnya mulai berkedut karena kesal.
"Ya, kamu masih sama seperti sebelumnya~ Ada apa ayah?~"
"Daniel, bisakah kamu mencari tahu apa yang terjadi selama sebulan sebelum kecelakaan cucuku terjadi?"
"Oke~ lalu ayah apakah aku bisa pulang? Sudah lama sekali aku tidak melihat keponakan kecilku yang lucu."
"Tidak!"
"Oh ayolah ayah, orang tua ini bahkan tega mengusirku saat itu dan tidak mengijinkan aku pulang dengan informasi keponakanku. Lalu aku akan mengirimkannya kesiapa? Ahh~" Daniel menjawab dengan sakit hati dan kembali ke ekspresi riangnya.
"Bocah bau! Lalu kembali lah... Ibumu merindukan mu." Tuan Raditya hanya bisa menghela nafas pasrah dan berkompromi.
"Ya gitu dong yah, kamu sangat kejam jika kamu tidak membiarkan aku kembali dan membuat ibuku merindukan anaknya yang entah antah berantah~"
Tut..Tut
Daniel melihat telpon yang mati lalu mengangkat bahunya tak berdaya.
"Siapa itu kapten?"
"Ayahku." Daniel hanya tersenyum.
"Oh, lalu kapten misi sebelumnya?"
"Simpan dimejaku, nanti aku akan melihatnya."
"Baik kapten!"
"Oh!"
"Ada apa kapten?"
"Biarkan Tony datang ke kantorku, aku punya tugas untuknya."
"Siap!"
Daniel menghela nafas panjang. Lalu memikirkan dua keponakan kecilnya yang lucu membuatnya kembali bersemangat.
Ahh~ Keponakan kecilku yang lucu, paman yang tampan ini akan datang~
*
*
*
*
[Bersambung...]