Dari luar kelas Ariel melihat barang tak asing yang ada di tangan Fay saat ini. Dia pernah melihatnya jika itu adalah barang yang tadi di depan gerbang dipegang oleh Ibeng.
Seketika mata Ariel langsung mengernyit. Telinganya berusaha mengarah ke arah Fay dan Anna namun dia tetap tak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.
Wajahnya terlihat sangat kesal karena terlalu sangat penasaran.
***
Dijam pulang sekolah Fay kembali berusaha untuk menemui Ibeng dan berniat untuk mengembalikan barang pemberian dari Ibeng itu. Namun ternyata Ibeng tak ada di kelasnya. Dia sedang berada di lapangan basket bermain bersama dengan teman-temannya yang lain.
"An, aku mau menemui dulu Kak ibeng ya?" Fay sengaja meminta izin pada Anna agar dia juga tidak lagi salah paham padanya. Dia ingin hari ini selesai semuanya urusan dirinya dengan Ibeng.
"Kamu mau gimana sama Kak Ibeng?" tanya Anna yang sudah sangat penasara dengan apa yang akan dikatakan oleh Fay pada Ibeng. Padahal seharusnya Anna sudah tahu isi kepala Fay sendiri.
Fay tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Anna pun ikut tersenyum. Dia bisa menangkap apa yang ada di dalam pikiran Fay saat ini.
"Ya, udah! Aku nunggu kamu di depan gerbang aja ya!" Anna menepuk pundak Fay.
Fay pun gegas pergi setelah berbicara dengan Anna. Dia gegas menemui Ibeng yang sedang asyik bermain basket di tengah lapangan.
Fay terdiam di sisi luar lapangan dengan kepala yang tertunduk. Dia agak malu untuk memanggil Ibeng yang sedang bersama dengan teman-teman yang tak lain adalah kakak kelasnya juga.
"Lagi ngapain kamu di sini?" Seketika pertanyaan itu membuat Fay sedikit tersentak dan memecahkan lamunannya sejak tadi.
"Ariel?" Fay membalikan tubuhnya ke arah Ariel yang sedari tadi berdiri di belakangnya.
"Kamu lagi kecentilan di depan Kakak kelas yang lagi main basket ya?" tanya Ariel yang membuat Fay sedikit kesal karena kembali bersikap angkuh padanya.
"Aku gak ada urusannya sama kamu!" balas Fay dengan nada yang ketus.
Fay membalikan tubuhnya dari Ariel dan tanpa dia kira ternyata Ibeng sedang berjalan ke arahnya sambil melambaikan tangannya.
Fay pun tanpa ragu dia membalas senyumannya.
"Ada apa?" tanya Ibeng dengan tetesan keringat yang dilapnya dengan sebuah handuk kecil yang tergantung di lehernya.
"Bisa kita ngobrol berdua?" tanya Fay dengan tatapan yang mendongak ke arah wajah Ibeng yang lebih tinggi dari dirinya.
Ibeng tak segera menjawabnya. Dia melihat ke arah Ariel yang sedari tadi diacuhkan oleh Fay.
"Kalau ada yang mau kamu obrolin di sini aja!" katanya dengan mata yang masih memandang ke arah Ariel. Seolah dirinya sedang beradu tantanga dengan Ariel karena sedari tadi sudah saling tatap.
Fay menggelengkan kepalanya. "Kita ngobrolnya di tempat lain aja Kak! Kita ke taman aja!" ajak Fay.
"Iya!" Ibeng pun menganggukan kepalanya dan membiarkan Fay untuk berjalan lebih dulu agar dia dapat melihat reaksi dari Ariel yang melihat Fay berjalan bersama dengan dirinya.
Fay menarik napasnya ketika dia sudah lebih sampai di taman tempat di mana dirinya dan Ibeng tadi siang mengobrol.
"Ada apa?" tanya Ibeng yang mengulangi pertanyaannya.
Fay menarik napasnya dalam-dalam dan menghelanya perlahan.
"Kak," dia segera mengeluarkan barang-barang yang tadi diberikan oleh Ibeng.
"Ini mau aku kembaliin!" Fay langsung menyodorkan semua itu di hadapan Ibeng yang seketika langsung terpaku ditambah dengan perasaan yang menjadi sangat kecewa.
"Maaf, aku gak bisa nerima perasaan Kakak. Aku rasa aku gak pantes untuk Kakak!" kata Fay dengan kepala yang tertunduk. Dia sangat takut jika Ibeng agak murka padanya.
"Kenapa harus dikembaliin, bukannya ini bisa kamu terima aja walaupun kamu nolak perasaan aku!" katanya dengan tubuh yang sedikit terasa bergetar menahan rasa sakit yang saat ini berusaha untuk dia sembunyikan dari hadapa Fay.
Fay kembali menghela napasnya kemudian menggelengkan kepalanya.
"Aku gak pantes Kak. Aku rasa mungkin suatu saat nanti akan ada seorang cewek yang pantas untuk menerima ini semua!" kata Fay yang terus menyodorkan tangannya ke arah Ibeng.
"Apa semua ini masih karena Ariel?" pertanyaan dari Ibeng membuat Fay seketika mengernyitkan keningnya.
Barang itu sudah berpindah tangan ke tangan Ibeng.
"Apa hubungannya Ariel sama hal ini!" Fay merasa tak rela medengar nama Ariel yang diikut campurkan dalalm urusan dirinya dengan Ibeng.
"Kamu nolak aku karena kamu suka sama dia 'kan?" tanyanya yang seolah dia sedang menebak dalam sebuah pertanyaan.
Fay mematung. Jika memangnya kenapa? Namun bukan hal itu yang ingin dia tanyakan pada Ibeng.
"Dia gak ada urusannya hal ini Kak. Walaupun memang iya, aku suka sama dia. Tapi, dia gak ada sangkut pautnya sama masalah ini!" terang Fay yang merasa jika dirinya dengan Ibeng dan perasaan dirinya teradap Ariel dan dua hal sangat jelas berbeda.
"Tapi, kalau dia yang nembak kamu. Kamu pasti bakalan langsung nerima dia!" Nada bicara Ibeng menjadi lebih tinggi lebih dari sebelumnya. Terlihat dengan jelas jika dia sangat kecewa karena ditolak cintanya oleh Fay saat ini.
Fay menggelengkan kepalanya.
"Aku rasa Kak Ibeng udah salah paham!" Fay mencoba untukk tetap tegar. Dia tak mungkin begitu saja kalah oleh serangan kalimat dari Ibeng. Walaupun sejujurnya di dalam benaknya yang paling dalam dia sendiri sangat terkejut akan pernyataan cinta dari Ibeng juga perubahan sikap yang dilakukan Ibeng pada dirinya.
"Kamu ini emang bodoh, atau pura-pura jadi perempuan bodoh sih? Bukanya udah jelas ya, kalau Ariel itu sukanya sama Serena. Mau sampai kapan pun kamu gak akan bisa bersatu sama dia!" Ibeng meluapkan perasaannya sampai jari telunjuknya mengarah ke wajah Fay yang sedang menahan air matanya untuk tidak keluar.
"Kamu sadar dong Fay. Ariel itu lengket banget sama Serena. Mereka itu satu kesatuan. Mereka itu pasangan yang udah pas. Dan kamu, kamu apa? Cuma lagi buang-buang waktu masa muda kamu aja buat menyukai orang yang gak pernah suka sama kamu!" Ungkap Ibeng dengan panjang lebar.
Ibeng benar-benar tengah meluapkan isi hatinya yang selama tertahan.
"Kamu itu udah bodoh suka sama cowok macam Ariel!" bentak Ibeng.
"Cukup!" balas Fay dengan kembali membentaknya.
"Aku sangat menghargai perasaan Kakak ini. Tapi aku sama sekali gak pernah meminta Kakak untuk menilai tentang aku dan perasaan aku!" sambung Fay dengan jari yang menunjuk ke arah wajah Ibeng.
Merasa emosinya yang sudah tak bisa dikuasai, Fay memutuskan untuk gegas pergi meninggalkan Ibeng di taman itu sendirian.
Dalam langkahnya menuju Anna yang menunggunya di depan gerbang, Fay terus menghapus air matanya yang terus menetes tanpa henti.
Semua baru dikatakan oleh Ibeng memang semuanya benar. Bahkan dengan jelas seratus persen benar adanya. Namun dia tak menyangka akan mendengar semua itu dari seorang teman yang selama ini sudah dia anggap sebagai Kakak.