Chereads / Prahara Kawin Kontrak / Chapter 1 - Kepulangan Sahabat

Prahara Kawin Kontrak

Syatizha
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 13.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Kepulangan Sahabat

Kami bertiga adalah sahabat. Sahabat dari kecil. Dari SD sampai SMA selalu bersama. Walaupun sempat berbeda kelas namun kebersamaan itu selalu terjalin.

Selepas pulang sekolah kami selalu menyempatkan untuk berkumpul. Kadang sekadar ngobrol ngalur ngidul, kadang membicarakan rencana setelah lulus sekolah.

Tentunya diantara bertiga, memiliki sifat yang berbeda-beda.

Erin. Gadis manis, pendiam, cerdas dan lebih agamis.

Resti. Berwajah cantik, centil, tubuh semampai memiliki kepercayaan diri yang luar biasa tinggi, tapi kurang cerdas. Hihihi.

Sedangkan aku? Lumayan cantik, lumayan cerdas, lumayan Agamis. Serba lumayanlah dari pada lumanyun. Hahaha.

Satu kesamaan kami, sama-sama dari keluarga perekonomian menengah ke bawah.

Saat ini, aku, Resti dan Erin sedang berkumpul di Mushola sekolah. Memegang surat kelulusan.

Dapat ditebak, peraih nilai tertinggi adalah Erin. Tapi sayang, diantara kami tidak ada yang kuliah. Lagi-lagi karena faktor ekonomi.

Minggu depan Resti akan ke Jakarta untuk mengikuti audisi model.

Lusa, Erin juga akan dijemput oleh teman Pamannya. Dia akan bekerja di daerah Bogor.

Hanya aku yang masih betah di Desa ini. Tidak ada keinginan sedikitpun untuk merantau. Aku penakut. Takut dunia luar.

"Cha, padahal kamu ikut aku aja, nanti yang jadi manager aku itu, kamu ...." Suara Resti memecahkan keheningan diantara kami.

Aku dan Erin tersenyum.

"Enggak, Res ... aku di sini aja. Nunggu kalian kembali," jawabku merangkul pundak Resti dan Erin.

***

Lima tahun pun telah berlalu sejak perpisahan sekolah.

Benar saja, Resti sekarang sudah menjadi foto model walaupun belum begitu terkenal.

Hal itu aku ketahui dari laman facebooknya. Kadang tiga bulan sekali dia pulang ke Desa. Menceritakan segala kegiatannya. Termasuk ajakan Om Bambang untuk menikahi Resti, tapi sahabatku menolak dengan tegas. Resti bilang, dia tidak mau disebut pelakor.

Erin juga katanya sekarang sudah bekerja. Bahkan sekarang penampilannya berubah. Dia mengenakan cadar dan berbusana lebar warna hitam. Katanya, dia sudah hijrah. Begitu menurut cerita Bu Laksmi ketika memberitahuķu tentang foto Erin.

Tapi sayang, Erin jarang pulang kampung. Kalau pun dia pulang, tak pernah memberitahuku hingga sudah lima tahun lamanya aku dan Erin putus komunikasi. Pun saat aku meminta nomor handphone pada kedua orang tuanya, serta merta tak pernah diberikan.

"Kak Icha, Kak Icha!!" Suara anak kecil memanggil, aku menoleh, mencari sumber suara.

"Ada apa, Run?" Rupanya adik Erin yang memanggil. Harun mengatur napas. Sepertinya dia mengejarku.

"Kak Erin, Kak. Kak Erin!" Serunya masih dengan napas memburu.

"Kakakmu kenapa?"

"Katanya besok Kak Erin mau pulang!!" Bibir Harun melengkung, ia tersenyum.

"Benarkah???" Aku memastikan kabar tersebut. Anak yang berusia sebelas tahun itu mengangguk mantap.

Aku pun tersenyum merekah, membayangkan pertemuan kami.

"Jam berapa besok Kakakmu pulang?" Rasanya tak sabar aku ingin berjumpa dengan Erin.

"Kalau kata Ibu, jam sepuluhan Kak."

"Besok Kakak akan ke rumah kamu. Makasih ya, Run, udah kasih tahu Kakak," ucapku memegang bahu adik Erin.

"Iya, Kak. Sama-sama. Harun pulang dulu ya, Kak. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam warohmatullah."

***

Esok harinya, sedari pukul delapan pagi, aku sudah menunggu kedatangan Erin.

Sambil menunggu, aku membantu Bu Laksmi membuat kue Putri Ayu kesukaan sahabatku itu.

"Padahal nanti saja datangnya, Cha, pas Erin udah sampe," ucap Bu Laksmi.

"Memangnya Icha gak boleh datang ke sini sekarang?"

"Bukan gak boleh. Nih lihat, kamu jadi Ibu repotin kan?"

"Gak apa-apa, Bu. Dari pada Icha bengong di rumah."

Tepat pukul sepuluh siang, terdengar suara derum mobil.

"Kayaknya itu Erin! Ayok kita ke depan!!" Bu Laksmi menarik tanganku. Kami berjalan beriringan.

Terlihat mobil Rush hitam berhenti di halaman rumah Erin. Tak lama kemudian, perempuan bercadar, berbusana serba hitam yang tampak kebesaran keluar dari mobil.

Namun, ia berjalan dipapah oleh Pamannya. Seperti sedang sakit. Aku menghampirinya langsung memeluk tubuh Erin.

Kurasakan tubuhnya begitu kurus. Kontras dengan pakaian yang dikenakannya.

"Erin ... Aku kangen banget." Air mataku sudah tidak dapat terbendung.

Entah kenapa melihat keadaan Erin seperti ini hatiku begitu sedih. Matanya menyipit. Hanya itu yang dapat aku lihat dari ekspresi wajahnya.

"Dra, kamu mau langsung pulang aja? Gak mampir dulu?" tanya Bu Laksmi pada Paman Indra.

"Iya. Besok soalnya aku harus kerja. Aku pamit ya, Teh."

"Iya hati-hati."

Mobil itu pun meninggalkan pekarangan rumah.

"Pelukannya di dalam rumah aja. Di sini mah panas. Rin, Ibu bikinin kue kesukaan kamu. Kue Putri Ayu."

Aneh, tak ada tanggapan dari Erin. Bahkan Erin tak mengucapkan terima kasih pada Ibunya. Ia justru berjalan mendahului aku dan Bu Laksmi.

Erin masuk ke dalam kamar. Aku pun mengikutinya. Dia duduk ditepi ranjang. Kututup pintu kamar. Banyak hal yang ingin kuketahui darinya selama lima tahun ini.

"Kamu apa kabar, Cha ....?" Suaranya terdengar parau.

"Alhamdulillah baik."

Perlahan Erin membuka cadarnya. Aku terkejut melihat wajah Erin. Tulang pipi menonjol. Wajahnya sangat tirus seperti tidak ada daging.

"Ya Allah, Erin ... kamu sakit?" Tanyaku cemas. Hanya senyuman yang ia berikan. Tidak ada jawaban.

"Erin, kamu sakit apa?" Sungguh sangat memprihatinkan.Telapak tangannya aku genggam. Sama, hanya tulang yang dapat aku rasakan.

"HIV," jawabnya tanpa beban.

"Apa???" tanyaku tak percaya. Erin merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia tampak kelelahan sekali.

"Jangan bercanda, Erin." Sambungku saat Erin tak kunjung menjawab.

"Mungkin, ini azab. Karena aku beberapa kali melakukan nikah mut'ah. Dalam setahun bisa sampai 4 kali." Erin menariķ napas panjang. Membetulkan sandarannya.

Aku benar-benar tak habis pikir, kenapa Erin mau melakukan pernikahan itu?

"Kenapa ngelakuin pernikahan itu, Rin?"

"Yang penting kan nikah, bukan zina." Mendengar jawabannya, aku seperti tidak sedang menghadapi Erin sahabat solehaku. Nada bicara Erin terkesan cuek akan hukum agama.

Aku yakin, Erin tahu hukum nikah mut'ah atau nikah kontrak.

"Kamu salah, Pernikahan kamu batal. Nikah mut'ah hukumnya haram. Seperti halnya sholat,

kalau tidak wudhu dulu, tidak akan sah sholatnya." Kataku tegas, sambil terus menatap Erin.

Erin terlihat tidak perduli dengan penjelasanku. Dia asik mengusap-usap layar handphone.

"Jadi selama lima tahun ini, sudah berapa kali kamu bersuami?" Aku lanjut bertanya, karena tak enak hanya diam-diaman.

"Tidak terhitung."

"Astaghfirullah ... cadar dan pakaian lebar ini, untuk apa? Untuk menutupi perbuatan kamu?" Dengan suara tertahan aku bertanya.

Lagi-lagi dengan sikap cuek, ia mengangguk.

"Supaya kamu tetap dianggap ... soleha?"

"Iyalah, Cha. Cuma niqob ini yang membuat orang lain beranggapan aku orang yang baik. Wanita soleha. Wanita yang tidak mungkin menikah berkali-kali. Wanita yang tidak mungkin mengidap penyakit ... HIV!!!" Aku terlonjak tak percaya mendengar penuturannya.

"Astaghfirullahalazhim ... astaghfirullah ... jangan kau jadikan cadar dan pakaian ini sebagai kedok, Erin ....?" Aku menangis, menangis sejadi-jadinya. Bahuku berguncang tapi tidak ada sentuhan yang berusaha menenangkanku.

Aku lihat perempuan kurus itu. Dia masih asik dengan gawainya. Sesekali tersungging senyuman. Entah apa yang membuatnya tersenyum. Sama sekali tidak peduli dengan keadaanku. Aku yang kecewa dan sedih oleh sikap, keadaan dàn pemikirannya.

"Erin, lihat aku." Erin mendongak, raut wajahnya masih biasa. Datar saja. Tidak terlihat penyesalan, bersedih akan penyakit yang sedang dialami atau terlihat menanggung beban. Dia tampak biasa-biasa saja.

Aku menghela napas, berusaha sabar menghadapi sikap sahabatku.

"Bertaubatlah dengan sungguh-sungguh. Taubatan nasuha. Allah Maha Pengampun. Allah Maha Penyayang. Allah menyukai orang-orang yang menyucikan diri."

" ... " Tak ada jawaban dari bibir tipis Erin. Ia seolah tak mendengar segala perkataanku.

"Assalamu'alaikum." Aku berdiri, meninggalkan Erin yang tampak tak peduli dengan kepergiaku.

"Wa'alaikumsalam." Samar aku dengar suara Erin.

Dengan deraian air mata, aku keluar dari rumah Erin tanpa berpamitan terlebih dahulu pada Bu Laksmi. Aku tak mau wanita yang melahirkan Erin berpikir yang bukan-bukan padaku.

'Meskipun sikapmu telah berubah, aku tidak akan meninggalkanmu, Rin. Insya Allah, aku akan membantumu agar lebih mendekatkan diri pada Allah swt. Insya Allah."