Chereads / Prahara Kawin Kontrak / Chapter 4 - Cinta Terpendam

Chapter 4 - Cinta Terpendam

Erin merunduk, memilin jilbab lebarnya.

"Tapi, Ummi ... pernikahan terakhirku bukan kawin kontrak. Laki-laki itu ingin nikah secara sah. Tidak ada surat perjanjian. Tidak ada tanda tangan seperti sebelumnya. Aku mau-mau aja. Karena ya itu, bagiku pernikahan apapun sama hukumnya. Yang penting nikah bukan zina." Lirih suara Erin berucap. Padahal hukum kawin kontrak berbeda. Pentingnya memahami ilmu agama seperti ini agar tidak salah kaprah.

"Lalu, sekarang suamimu mana? Kenapa dia gak ikut ke sini?"

Pertanyaan Umi Hana mewakili pertanyaanku. Aku juga ingin mengetahui dan mengenal sosok Tuan Ali yang menjadi suami Erin.

"Aku ... aku kabur dari dia."

"Apa? Kabur?" Aku tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut.

"Iya, Cha. Sudah satu bulan ini, Mang Indra menyembunyikanku di rumah temannya tapi teman Mang Indra takut kalau Tuan Ali datang ke sana. Makanya aku disuruh pulang saja. Ummi, Icha, Aku gak sanggup lagi untuk jadi istrinya." Keluhan yang diucapkan membuatku dan Umi Hana tidak mengerti.

"Gak sanggup kenapa, Nak?" Penuh kelembutan Ummi Hana bertanya. Erin menatap Ummi.

"Dia mengidap kelainan seksual, Um. Tidak bisa terpuaskan kalau tidak menyiksaku terlebih dahulu."

Astaghfirullah! Entah sudah keberapa kalinya aku dan Ummi mengucap kalimat istighfar bersamaan.

"Berarti sampai sekarang kalian belum bercerai?"

"Belum. Bahkan kata teman Mang Indra, Tuan Ali masih mencari keberadaanku."

Mendengar cerita Erin hatiku sangat ngeri membayangkan lelaki yang menyiksa Erin. Apa gunanya pernikahan jika satu sama lain saling menyakiti, terlebih menyakiti secara fisik?

Ummi merangkul pundak Erin.

Aku sungguh tak sanggup membayangkan sakitnya penyiksaan yang Erin alami selama ini.

"Maaf, Nak, apa ... Tuan Ali tidak tahu soal penyakitmu?"

"Tahu, Um. Justru aku tahu soal penyakit ini setelah menikah dengannya. Ia mengajakku periksa ke dokter tapi anehnya, walau Tuan Ali mengetahui aku mengidap penyakit ini, dia masih ...."

Kalimatnya dibiarkan menggantung. Aku mengerti. Kami telah dewasa. Akan tetapi yang tak kusangka, kehidupan Erin di sana ternyata tak sebahagia yang aku bayangkan. Hidupnya begitu pedih. Terjerat dalam pernikahan kontrak, Pernikahan yang dilandasi oleh rasa kecewa pada seseorang, pernikahan yang hanya didasari dendam serta pelampiasan hawa nafsu dan mengalami kekerasan seksual. Naudzubillahimin dzalik.

Ya Allah, lindungi Hamba dari hal-hal yang menyesatkan. Aamiin

"Assalamu'alaikum," suara Bu Laksmi. Erin mengusap air matanya. Aku pura-pura tersenyum.

"Waalaikumsalam," jawab kami berbarengan.

"Maaf ya, Rin, kelamaan Ibu ke warungnya. Itu nungguin Harun lama banget pulangnya. Ada les. Ya udah, Ibu mau nyiapain nasi sama lauk pauknya dulu ya. Ummi Hana sama Icha sekalian saja makan di sini. Kita makan bersama." Bu Laksmi menawarkan kami.

"Maaf Bu Laksmi, bukan saya menolak rejeki. Tapi tidak usah repot-repot. Sebentar lagi, kami akan pulang." Lebih baik kami pulang karena kutahu, Bu Laksmi hanya memberi lauk pauk seadanya. Mungkin hanya cukup untuk keluarga mereka.

"Oh begitu. Ya sudah, saya tinggal dulu, Ummi, Icha." Aku dan Ummi serempak mengangguk.

"Erin, kamu jangan takut. Jangan risau. Berdoalah selalu pada Allah. Allah Maha Menyembuhkan. Mohon kesembuhan pada-Nya, Nak. Mohon perlindungan dari orang-orang yang hendak berbuat jahat dan zholim." Ummi menggenggam telapak tangan Erin. Seolah memberi kekuatan dan semangat agar Erin tetap optimis untuk sembuh dan selalu mendekatkan diri pada Allah.

"Insya Allah. Aku minta doa dari Ummi dan Icha juga ya." Kali ini nada bicara Erin sudah seperti dahulu lagi. Lebih lembut.

"Ummi pasti doakan kamu, Nak."

"Iya, Rin. Aku juga pasti doain kamu. Selalu temanin kamu." Aku tidak akan membiarkan Erin seorang diri mengahdapi penyakit yang dideritanya. Semoga saja Allah memberi kesembuhan untuk Erin.

Tak lama, Bu Laksmi muncul kembali.

"Erin, ayok Nak makan dulu. Mumpung masakannya masih hangat. Umi Hana dan Icha ikut aja sekalian makan bersama kami." Untuk kedua kalinya Bu Laksmi menawarkan makan bersama kami.

"Bu Laksmi, kami mohon maaf. Bukan menolak rejeki. Hanya saja kami harus pulang sekarang. Kalau gitu kami pamit pulang dulu ya?" Aku dan Umi Hana berdiri, diikuti Erin.

"Ummi makan dulu ... ini saya udah beli lauk nasi banyak. Cha, makan dulu ya?"

"Enggak, Bu ... Icha pamit pulang juga. Erin, aku pulang dulu ya, nanti aku main lagi."

"Makasih ya, Cha, Ummi ...."

"Cepet sembuh ya, Nak ... mari Bu Laksmi, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Usai berpamitan, aku kembali mengantarkam Ummi Hana pulang.

"Kamu hati-hati bawa motornya." Pesan Ummi saat sampai di depan rumahnya. Aku mengangguk sambil berucap.

"Iya, Ummi. Icha pulang dulu." Kuraih telapak tangan Ummi, lalu melajukan kendaraan beroda dua milikku.

Tiba di rumah, aku langsung sholat Dzuhur. Di atas sajadah, aku panjatkan doa untuk ke dua orang tua, guru-guruku, dan para sahabatku.

Seelahnya, kusempatkan membaca Al-Qur'an. Hatiku yang sempat bersedih dan kecewa berangsur tenang.

Semua yang terjadi di muka bumi ini adalah kehendak Allah. Takdir Allah. Namun ada takdir yang dapat dirubah. Dapat dirubah dengan berdoa dan bersodakoh. Hanya saja manusia diberi pilihan. Memilih jalan yang baik atau yang buruk.

Selesai melipat mukena, aku meraih handphone didalam tas. Ada pesan WhatsApp masuk. Kahfi.

[Assalamualaikum. Cha, nanti malam ada rapat IREMA di Masjid At-taqwa. Dateng ya?] Dahiku mengerut. Lalu secepatnya aku membalas pesan Kahfi.

[Waalaikumsalam. Insya Allah.]

Beberapa menit kemudian, ponselku kembali berbunyi.

[Ajak Erin. Katanya, udah pulang?]

Aku menghela napas berat. Ada rasa cemburu di dalam hati. Kahfi tahu Erin pulang dari siapa?

Oh mungkin kabar kepulangan Erin sudah tersebar dari Bu Laksmi. Tadi kan ibunya Erin sempat ke warung. Bisa jadi beliau cerita.

[Kayaknya gak bisa. Erin sakit.]

[Sakit apa?]

Aku bingung harus menjawab apa.

[Kepo ah!] Balasku ngasal.

[Hahaha ... udah gaul kamu, Cha? gitu dong jangan kaku]

[Ngeledek!!]

[Jangan ngambek, jelek. See you.]

Tanpa disadari bibirku tersenyum. Kenapa aku ini? Ish!

Sirojul Kahfi, Ketua Ikatan Remaja Masjid di kampung kami. Dia sedang kuliah di salah satu Perguruan Tinggi di daerah Bekasi.

Sebulan sekali, Kahfi pulang kampung. Kadang membantuku mengajar anak-anak di Madrasah.

Sejujurnya, Kahfi adalah cowok pertama yang membuatku jatuh hati. Tapi, karena aku hanya lulusan SMA, membuatku berkaca kalau aku tak pantas menaruh harapan padanya. Apalagi, aku juga tahu kalau Kahfi pernah menyukai Erin.

Aku masih ingat ketika Kahfi mengungkapkan perasaannya pada Erin. Saat kerja kelompok di rumah Kahfi. Memang, aku gak sengaja mendengarnya.

"Erin, sebenarnya ... sudah lama aku menyukaimu. Apa, kamu punya rasa yang samà?"

"Maaf, Kahfi ... aku gak mau pacaran dulu. Pengen fokus belajar dulu," jawab Erin ketika itu.

Aku tidak tahu, bagaimana perasaan Kahfi sekarang jika mengetahui penyakit yang dialami Erin. Apakah masih menyukainya atau tidak?