Chereads / Prahara Kawin Kontrak / Chapter 5 - Tawaran Main Film

Chapter 5 - Tawaran Main Film

Selesai Sholat Isya, aku bersiap untuk menghadiri rapat Ikatan Remaja Masjid (IREMA).

Melajukan motor matic, menembus pekatnya gelap malam. Hanya lampu jalan raya yang menerangi.

Sesekali kupandangi langit. Malam ini bertaburan bintang-bintang. Bulan sabit menambah indahnya malam.

Aduhai ... Andai sedang naik motor bersama orang yang aku cintai, pastilah lebih indah.

Astaghfirullah ... Aduh, aku ini kenapa? Halunya sudah mulai parah. Kayaknya Efek kelamaan ngejomlo.

Entahlah, beberapa kali ada lelaki yang mengungkapkan perasaannya padaku dan bahkan ada yang menginginkan aku menjadi istrinya, aku tolak dengan halus.

Karena sungguh, di relung hati ini hanya ada satu nama yang sedari dulu tersemat. Sementara aku tak tahu bagaimana perasaan lelaki itu padaku.

Sirojul Kahfi, hanya namanya yang selalu bergaung dalam hati dan pikiranku. Aku merncintainya.

Tiba di halaman masjid. Aku melihat Kahfi sedang berbincang dengan beberapa ikhwan. Sesekali ia tersenyum.

Kahfi berperawakan tinggi tegap, mungkin sekitar 175cm, hidung mancung, wajah khas Timur Tengah.

'Mempesona sekali kau Kahfi, pakaian takwamu semakin menguatkan rasa cintaku.' Kupukul-pukul pelipis, menepis pikiran yang mulai kacau.

"Hai, Cha!" Gerakanku seketika terhenti. Lelaki yang baru saja hadir dalam pikiran, sekarang sedang berjalan ke arahku.

"Bukannya turun dari motor, malah pukul-pukul kepala? Kepalamu sakit?" tanyanya saat tiba di sampingku.

"Ah, enggak!"

Jujur, hati ini langsung berdebar tak karuan. Aroma parfum khas Kahfi langsung membius indra penciumanku.

"Ya udah, hayu turun!"

"Ini, mau turun." Kataku berusaha santai, menghalau rasa gugup.

"Kamu sendirian? Erin mana?" Ya Allah, kenapa Erin lagi sih yang ditanyain?

"Tadi siang kan aku udah bilang, Erin sakit," jawabku sembari melangkahkan kaki.

"Emangnya sakit apa, sih?"

Aku menghela napas. Tidak mungkin aku ceritakan soal penyakit Erin. Mungkin kalau penyakitnya selain HIV, aku mau menceritakan pada Kahfi. Tapi ini kan?

Aku harus menjaga rahasia ini, walau bagaimana pun Erin adalah sahabatku.

"Kamu tanya sendiri aja, nanti aku kirim nomer WA nya." Aku berjalan lebih dulu.

Ada rasa cemburu saat Kahfi berulang kali bertanya perihal Erin. Ah mungkin cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Sepertinya Kahfi masih mencintai Erin. Buktinya tadi tanyain Erin terus.

"Aku bukan mau minta nomor WA Erin, Cha. Cuma pengen tahu aja." Kahfi mensejajarkan langkahnya.

"Rapatnya bisa dimulai sekarang?" Aku bertanya tanpa menatap ke arahnya.

Bola mata Kahfi menyisir keberadaan para ikhwan dan akhwat.

"Oke, bisa. Belum semua datang sih, tapi gak apa-apalah, biar gak kemaleman juga."

Kami jalan berbarengan. Antara kikuk dan senang. Aku curi-curi pandang. Dari dekat dapat aku lihat kumis tipisnya. Aku mengulum senyum.

Untunglah, Kahfi tidak menyadari kalau aku diam-diam memandanginya.

***

Hampir dua jam kami mengadakan rapat. Kali ini banyak sekali hal-hal yang kami bahas.

Tentang acara maulid Nabi SAW, santunan anak yatim dan para jompo, pentas seni anak-anak madrasah, juga penggalangan dana untuk korban bencana alam.

Aku lihat Kahfi melirik arlojinya, kemudian ia menutup rapat dengan doa.

Seperti biasa, aku ditugaskan sebagai seksi acara dan Kahfi sebagai ketua panitia.

Setelah rapat selesai, aku bergegas menaiki motor. Meskipun kampung kami terkenal aman, tapi aku masih merasa takut kalau pulang lewat jam 9 malam.

"Icha!" Suara Kahfi memanggil.

"Iya, ada apa?"

"Bisa gak, kita ngobrol sebentar?" Tidak biasanya Kahfi mengajakku berbicara. Bahkan di sekolah saja, walau kami sering bertemu, dia jarang mengajak ngobrol. Paling hanya tegur sapa.

Aku bingung, kalo ngobrol pasti pulang malam. Gimana nanti pulangnya? Aku takut ... Tapi, kalau tolak, gak enak! Aduuuh....

"Hei?" Kahfi mengibaskan telapak tangan di hadapan wajahku.

"Kamu kenapa, Cha? Aku perhatiin sering bengong?" Kahfi menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Lagi ada masalah?" Sambungnya. Aku menggeleng cepat.

"Enggak. Gak ada masalah. Cuma aku ... maaf banget aku gak bisa ngobrol sama kamu sekarang. Udah malam." Aku melihat ada segaris kekecewaan di wajahnya.

"Ya sudah gak apa-apa. Aku ngerti."

"Kalau emang ada yang mau diobrolin, via WA aja. Gimana?"

"Oh iya oke."

"Sip! Aku pulang duluan. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati, Cha."

Dari kaca spion, aku melihat Kahfi masih terpaku, menatapku dari kejauhan, kemudian ia berjalan. Mungkin ke arah Masjid.

****

Aku hempaskan tubuh di atas kasur. Melihat gawai di sisi bantal, aku meraihnya.

Ada 5 panggilan tak terjawab dari Resti. Ada pesan WhatsApp juga.

[Cha, alhamdulillah aku ditawarin main film, angkat dong telponnya!]

Ada lagi.

[Aku mau cerita banyak nih. Angkat dong telponnyaaaaa!!!!!]

Tak lama, benda di tanganku bergetar. Langsung kuusap gambar simbol gagang telepon berwarna hijau.

"Eh, kemana aja sih? Aku telepon gak diangkat-angkat!" Suara Resti langsung memekakkan telinga.

"Sorry, baru pulang rapat IREMA."

"Rapat apaan?"

"Banyak. Acara maulid, santunan yatim piatu, orang-orang jompo dan lain-lain. Kayak biasanya aja, Res."

"Aku seneng deh Desa kita semakin maju. Semakin aktif remaja Masjidnya."

"Emangnya kamu? Mentang-mentang udah jadi foto model udah jarang kumpul-kumpul."

"Ya elah, maaf. Nanti deh kalau pulang, aku sempetin kumpul sama kalian."

"Kamu seriusan ditawarin main film?"

"Iyalah serius."

"Selamat ya Res, mudah-mudahan filmnya sukses."

"Aamiin. Tapi Cha, kata Produser aku, biar filmnya cepet laris harus ada sensasi dari artisnya."

"Sensasi apa maksudnya?" Mengambil bantal guling, menaruh di atas pangkuan.

"Produser sih nyaranin aku, buat bikin sensasi kawin kontrak sama salah satu aktor papan atas."

Seketika aku terlonjak.

"Kawin kontrak??? Maksudnya kamu kawin kontrak beneran atau pura-pura aja? Maksud aku, Cuma pembohongan publik."

Terdengar Resti menarik napas berat.

"Beneran Icha ... aku sih gak masalah kalau nikah kontraknya. Tapi yang jadi masalah, aku disuruh kawin kontrak sama aktor yang udah punya istri! Aku tuh bingung, Cha ...."

Tidak! Aku tidak boleh membiarkan Resti mengalami seperti Erin alami. Mereka adalah sahabat yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Sudah menjadi kewajibanku untuk mengingatkannya.

"Hallo, Cha, Icha hallo??!!"

"I-iya, Res?"

"Menurut kamu gimana? Kalau aku tolak, tawaran main film ini kesempatan emas buatku. Sayang kalau ditolak gitu aja. Bagus juga kan buat karierku kedepannya. Tapi kalau aku terima ... mau gak mau, aku harus siap disebut pe ... lakor."

Kalimat terakhir terdengar lemah. Aku tahu, Resti paling tidak mau menjadi wanita perebut suami orang.

"Resti, dengar aku baik-baik. Kalau kamu minta saran aku, saran aku, tolak tawaran itu! Kamu masih muda, kedepannya masih banyak peluang."

"Tapi, Cha ...."

"Nih, Res. Kalau kamu tetap terima tawaran main film itu dengan syarat harus buat bikin sensasi dengan kawin kontrak sama aktor yang beristri, kamu bakal dibully sama netizen. Tau sendiri kan? Netizen di Negara ini kayak apa bahasanya? Dan lagi, belum tentu film yang bakal kamu perankan laris manis di pasaran. Kalau sebaliknya? Populer enggak, dapat penilaian buruk, iya. Mau??"

Tak ada jawaban. Hanya terdengar suara hembusan napas.

Ya Allah, semoga Resti mau menerima saranku. Aku tak mau kalau Resti bernasib tak jauh berbeda dengan Erin.