Tiba di rumah, kulihat Ibu sedang duduk di depan tv. Menyaksikan sinetron drama di salah satu chanel swasta.
Tanpa mengucapkan salam langsung masuk kamar.
Bukan, karena marah pada Ibu. Aku hanya tidak mau Ibu melihat kondisiku saat ini.
Kuhempaskan tubuh di atas kasur. Sebisa mungkin kurendahkan suara tangisan.
Ya Allah … apakah, ini suatu ujian-Mu atau justru sebaliknya?
"Tok, tok, Cha … Icha, kamu udah pulang?" Suara Ibu dari luar. Aku usap sisa air mata. Menarik napas panjang.
"Icha, buka pintunya, Nak."
"Icha, gak apa-apa, Bu," sahutku serak.
"Oh ya udah. Ibu mau ke warung si Wati. Pintu kagak dikunci. Awas, ntar ada orang masuk." Pesan Ibu seperti biasa.
Ya Allah, bagaimana cara aku bertanya pada Ibu? Apakah pertanyaanku nanti tidak melukai hatinya? Aku tidak mau menyakiti hati ibu.
"Iya, Bu," sahutku singkat. Tidak dapat aku lakukan saat ini, hanya memohon belas kasih dari Allah swt.
Aku duduk di sisi ranjang. Menatap figura yang terpasang di dindang kamar.
Aku beranjak, meraih benda berbentuk persegi. Ekspresi datar Ayah jelas terlihat.
Memory sepuluh tahun lalu terbayang, memenuhi pikiranku. Tentang perlakuan kasar Ayah, bahasa yang acap kali Ayah lontarkan dan perlakuan buruk lainnya.
Pantas saja, ketika itu aku seolah mengenal sosok si Penculik.
Oh, Ya Allah … ternyata penculik itu Pak Bambang, lelaki yang selama ini aku anggap Ayah kandung. Astaghfirullah ….
***
Dua hari sejak peristiwa pengungkapan siapa sebenarnya Pak Bambang, handphone aku abaikan. Beberapa pesan Kahfi tak kubalas. Pun, telepon dari Resti tak kuangkat.
Aku butuh menyendiri. Merenungi banyak hal dan memikirkan cara bertanya kepada Ibu mengenai persoalan ini.
Aku mendekati Ibu yang sedang memotong kuku di depan teras.
"Bu?" sapaku, duduk di sampingnya.
"Apa, Cha?" jawabnya tanpa menoleh. Aku diam. Bingung memulainya. Sepersekian menit keheningan menyelimuti kami. Mata Ibu melirikku.
"Ada apa?" kali ini, Ibu menghadap ke arahku. Wajahnya nampak serius.
"Eu …." Sungguh, ada rasa takut dan cemas mencari kebenaran dari cerita yang disampaikan Erin dua hari lalu.
"Apaan? Mau cerita?" Melihatku hanya berdiam diri, Ibu terus bertanya. Aku menghela napas panjang. Mengumpulkan segenap keberanian untuk mengajukan pertanyaan.
"Bu ...." Kupanggil Ibu dengan suara lembut. Memegang kedua telapak tangan Ibu sembari berlutut di bawah kedua kakinya.
"Bu, Icha mau tanya, tapi tolong Ibu jawab dengan jujur. Sepahit apapun itu jawabannya," kataku sambil menatap lekat Ibu. Ibu menghentikkan aktivitasnya. Keningnya mengkerut dan tergambar raut heran dari wajahnya.
"Iya. Mau nanya apa?" Aku menghela napas. Memikirkan cara bertanya agar Ibu tidak tersinggung. Bismillah.
"Sebenarnya …." Kalimatku menggantung. "Sebenarnya, Icha anak siapa, Bu?" Mata Ibu membulat. Melepaskan genggaman tangan. Ia tampak terkejut dengan pertanyaanku.
Kemudian pandangan Ibu, menatap lurus ke depan. Mimik wajahnya berubah tegang. Kuraih lagi telapak tangan Ibu.
"Bu, Icha cuma ingin tahu kebenarannya langsung dari Ibu, bukan dari orang lain …." Lagi, kataku dengan lembut. Aku tahu, ibu pasti sangat terkejut mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir ini. Tetapi, aku tidak menahan rasa penasaran yang menghantui. Ibu menatapku nanar.
Matanya mulai berkaca-kaca. Tidak, Ibu tidak boleh menangis. Aku memeluk Ibu untuk menguatkannya. Aku yakin, Ibu punya alasan yang lebih kuat dari yang dikatakan oleh Erin.
Ibu melepaskan pelukanku. Mengusap tetesan bening di pelupuk mata.
"Kamu ... dengar cerita dari siapa?" Suara Ibu terdengar bergetar.
"Erin, Bu," jawabku apa adanya.
Kedua mata Ibu terpejam. Ia menarik napas berat. Seolah terdapat beban yang berat di punggungnya.
"Cha, Ibu minta maaf … mungkin kamu sudah mendengar cerita itu. Apapun yang kamu dengar, itulah kebenarannya, Nak."
Degh!
Hatiku seperti dihantam oleh sesuatu yang sangat keras. Harapanku tentang kebohongan cerita Erin, pupus. Aku menghela napas. Meredam emosi yang ingin buncah. Ingin rasanya memarahi Ibu.
Kenapa sebegitu teganya ia mengkhianati suaminya? Kenapa tidak berpikir panjang sebelum melakukan hal tersebut?
Tidak!! Agamaku melarang berkata kasar terhadap seorang Ibu. Jangankan memarahinya, berkata "Uhhh" saja tidak boleh.
Kuusap airmata yang menggenangi pipi. Lebih baik aku menghindar. Sebelum setan mengoyak pikiran untuk berlaku kasar pada perempuan yang selama ini kujadikan teladan. Oh, Ibu … aku takut membencimu.
"Cha … Icha, maafkan Ibu, Nak." Suara Ibu terdengar parau. Aku hanya mengangguk lalu beranjak ke kamar mandi, wudhu.
Di atas sajadah, aku adukan segala resah dan gundah. Memohon ampunan dan kekuatan hanya pada-Nya.
Di tengah isak tangis kubaca kalam Ilahi. Aku yakin, selalu ada hikmah di balik semua ini. Perlahan tapi pasti, gemuruh di hatiku mulai mereda.
Kudekap kitab suci. Berkali-kali mengucapkan istighfar. Meyakinkan diri, ini adalah yang terbaik.
Kuraih benda pipih yang beberapa hari tidak tersentuh. Ada beberapa notifikasi. Aku baca satu persatu. Hanya dari Resti dan Kahfi. Padahal aku berharap, terdapat nama Erin di deretan WhatsApp.
"Aku udah tahu, Cha. Kahfi udah menceritakannya semua, tolong angkat telponnya, Cha."
Kahfi, beberapa kali mengirim pesan.
"Laa tahzan, Inna Allaha ma'anaa. Aku berharap kamu baik-baik saja. Amin."
Aku membalas pesan Resti terlebih dahulu.
"Alhamdulillah aku baik – baik saja. Jangan khawatir."
Kemudian membalas pesan Kahfi.
"Iya, terima kasih."
Cukup. Tidak boleh dibahas lagi. Setiap manusia pasti pernah berbuat salah. Aku tahu Ibu salah tapi itu dulu. Tidak sekarang.
Seenggakanya aku tidak dibuang olehnya. Justru Ibu begitu menjaga dan menyayangiku.
Tak lama ponselku bergetar. Resti membalas pesan.
[Alhamdulillah. Cha, jangan sedih ya. Aku percaya kamu kuat kok. Semua ini pasti ada hikmahnya. Kamu kan sering bilang kayak gitu. Oh iya, sekarang aku jadi model muslimah lho."]
Senyumku mengembang. Iya, selalu ada hikmah di balik masalah.
[Alhamdulillah, aku ikut senang, Res. Semoga sukses terus ya?]
[Iya, Cha, makasih. Minggu ini aku mau pulang. Aku pengen cerita.]
[Oke.]
Kupandangi langit-langit kamar. Masih terbayang kesedihan Ibu. Aku harus bersikap seperti biasa. Tidak boleh membuatnya sedih lagi. Aku harus menemui ibu, beranjak lalu Keluar kamar.
Tampak Ibu sedang duduk di ruang tengah. Kesedihan tergambar jelas dari raut wajahnya. Aku memeluk lutut Ibu. Menyandarkan kepala di pangkuannya. Ibu membelai lembut. Aku mendongak. Meraih kedua telapak tangan, aku cium berkali-kali.
"Ibu … jangan nangis …." Kuusap buliran air di pipi Ibu. Ibu memelukku. Semakin terisak.
"Maafin Ibu … maafkan Ibu, Nak," ucap Ibu disela Isak tangis.
"Sudah Bu, Icha gak marah. Icha sayang Ibu." Isak tangisnya tak jua berhenti.
"Jangan nangis lagi, Bu …." Ibu menatapku penuh kasih sayang. "Terima kasih, Nak … Ibu bersyukur diamanahkan anak yang baik sepertimu."
"Iya, Bu … Icha juga bersyukur punya Ibu yang kuat, penyabar, penyayang seperti Ibu. Ibunya Icha." Ibu tersenyum, meghela napas panjang.
"Iya, Sayang … sini duduk." Aku menuruti.
"Ibu janji, akan berusaha menjadi Ibu yang baik buat Icha." Aku mengulas senyum mendengar kesungguhan kata-kata Ibu.
"Ibu sudah menjadi yang terbaik buat Icha. Maafkan Icha." Aku menyesal karena sempat membenci keputusan Ibu. Padahal hingga kini, aku belum mengetahui alasan ibu melakukan nikah mut'ah.
"Iya, Nak, gak apa-apa. Eh, kamu belum makan ya? Makan dulu gih!" Ibu berusaha tetap ceria.
"Icha pengen disuapin, Bu," ucapku manja.
"Kamu ini, udah punya pacar masih aja manja."
"Pacar? Pacar siapa? Ibu ngarang deh." Kataku mengerucutkan bibir.
"Hmmm … memangnya Ibu gak tau."
"Emang Ibu tau apa?"
"Tau, kalau anak Ibu ini, sedang jatuh cinta dengan …." Kalimat Ibu menggantung. Kelopak matanya mengerjap-ngerjap.
"Dengan siapa?" Tidak mungkin kalau Ibu mengetahui perasaanku terhadap Kahfi. Aku selama ini selalu berusaha merahasiakannya.
"Sirojul Kahfi." Aku terbelalak. Tak percaya. Selama ini aku tak pernah bercerita perihal perasaanku pada Ibu. Ibu tertawa, merangkul bahuku dan kami berpelukkan.
Ya Allah, semoga kebahagiaan selalu bersama Ibu. Amin