Aku terkejut bukan main melihat Erin yang mau bunuh diri. Aku juga tidak menyangka kalau Paman Indra-lah yang membuat Erin seperti ini. Padahal Paman Indra orang yang terlihat baik. Tutur katanya pun sangat sopan tetapi kenapa dia sangat tega menjerumuskan Erin?
Astaghfirullah ... Ternyata menilai orang baik atau buruk tidak hanya melalui penampilannya saja tetapi dari hatinya pula.
"Erin, Paman tidak bermaksud seperti itu. Paman ---"
"Cukup! Tidak usah Paman membela diri! Aku muak melihat Paman. Pergi! Pergi dari sini!" Erin berteriak, mengusir Paman Indra. Ia tampaknya sangat marah. Aku harap, Erin tidak keceplosan mengatakan penyakitnya. Beberapa tetangga berdatangan, mungkin karena mendengar Erin menjerit.
"Astaghfirullah, Erin ... Erin jangan bunu diri! Dosaaa ...." Aku menoleh mencari sumber suara. Rupanya istri Pak RT yang berbicara. Bu Laksmi melongok keluar. Dia terkejut melihat banyak orang di luar rumah.
"Nak, tenang ya? Kita bisa bicara dengan baik." Suara Bu Laksmi terdengar sangat lembut. Sebisa mungkin Bu Laksmi mendekati Erin. Aku berharap Erin tindak bertindak nekat. Dia tidak boleh menyakiti diri sendiri apalagi beberapa warga menyaksikan sendiri perbuatan Erin.
Perlahan, Erin terlihat tenang. Dengan gerakan cepat, Bu Laksmi merangkul pundak Erin dan melepaskan benda tajam itu. Aku bernapas lega melihat Erin sudah bersikap tenang waksu kutahu dibalik cadar itu Erin tampak menangis. Ibu-ibu yang berada di luar, masuk ke dalam rumah Erin tanpa meminta ijin.
"Bu Laksmi, sebenarnya ada apa? Kenapa Erin sampai mau bunuh diri?" tanya Bu RT ingin tahu. Kulihat wajah Bu Laksmi salah tingkah.
"Tidak ada apa-apa, Bu. Hanya ada masalah sedikit. Mohon maaf ibu-ibu, lebih baik sekarang ibu-ibu pulang saja, Erin mau istirahat. Saya juga mau pulang nih!" Resti menjawab pertanyaan Ibu RT yang badannya gemuk. Ibu-ibu yang kain tampak tidak suka. Setelah ini, sudah dapat dipastikan kalau kabar Erin yang mau bunuh diri.
"Ya udah deh! Ayok ibu-ibu kita pulang!" Aku tersenyum mendengar ibu RT memutuskan untuk pulang ke rumah masing-nasing.
Kulihat Erin masuk ke dalam kamar diantar oleh Ibu Laksmi.
Aku masuk ke ruang tamu, duduk di samping Resti. Sedangkan Pak Hamdan duduk di sisi Paman Indra. Lelaki berusia sekitar tiga puluh tujuh tahun itu merunduk. Tetapi aku tidak bisa menerka apakah merunduk karena menyesal atau menahan amarah?
"Indra, maafin Erin ya? Dia ... Dia lagi sering marah-marah."
Paman Indra menarik napas panjang, pandangannya lurus ke depan. Paman Indra pasti mengetahui perihal penyakit yang diderita oleh Erin. Lelaki itu wajahnya berubah datar.
"Tidak apa-apa. Saya mengerti akan kondisi Erin, A."
Giliran Pak Hamdan yang menghela napas panjang, pandangannya lurus ke depan.
"Memangnya Erin sakit apa sih, Dra? Dia ... Tidak mau memberitahu Aa dan tetehmu." Paman Indra kembali merunduk. Sepertinya Paman Indra memang merahasiakan penyakit Erin. Mungkin itu atas permintaan Erin sendiri. Kadang aku bingung, apakah penyakit ini perlu dirahasiakan? Sudahlah, lebih baik aku tidak usah ikut campur lagi. Apalagi jika mengingat Ibu yang pernah melakukan kawin kontrak.
"Pak, mohon maaf. Aku sama Icha pulang dulu ya?"
Resti dan aku berdiri. Menyalami Pak Hamdan dan adik iparnya. Sebenarnya aku ingin tahu apa saja yang menyebabkan Erin seperti ini. Apa benar Paman Indra terlibat atau kawin kontrak yang dilakukan Erin berkali-kali atas persetujuan dirinya sendiri?
"Gila si Erin!" Umpat Resti saat kami sudah berada di dalam mobilnya. Aku yang masih bingung dengan kondisi Erin saat ini memilih diam, membiarkan Resti berbicara lebih dahulu.
"Apaan coba? Pake bunuh diri segala? Teriak juga lagi? Bikin para tetangga datang. Tadi tuh, Cha ... Aku takut banget kalau Erin sampe keceplosan soal penyakitnya." Aku menoleh cepat. apa yang ditakutkan Resti ternyata sama denganku.
"Tetapi, untungnya itu tidak terjadi," ucapku meneruskan kalimat Resti.
"Hampir saja!"
"Menurutku apa yang menimpa Erin sangat berat, Res. Kamu bisa bayangkan, di usia dia yang masih muda, tetapi sudah mengidap penyakit yang mematikan. Belum lagi rumah tangganya yang tidak ... Duh, aku sangat menyayangkan keputusan Erin untuk melakukan kawin kontrak berkali-kali."
Aku menumpu lengan di dekat kaca mobil, memijat pelipis.
Dahulu, sebelum kami lulus sekolah, aku pikir diantara kami bertiga Erin-,lah yang menjadi orang sukses. Dia berprestasi, tidak banyak tingkah pula..ternyata, setelah perpisahan kami selama enam tahun, telah merubah sikapnya sangat drastis.
"Cha, menurutmu ... Kedatangan Paman Indra mau ngapain ya? Aku curiga dia mau menyampaikan sesuatu tetapi keburu si Erin mengamuk." Aku tercenung mendengar pertanyaan Resti. Sebenarnya aku pun tidak tahu maksud kedatangan adik Bu Laksmi itu.
"Bisa jadi, Res. Tetapi, aku tidak tahu sih! Aku takut salah. ada sih kecurigaanku yang lainya."
"Apa?" Resti menoleh sekilas, lalu fokus kembali menatap ke depan.
"Masalah suami Erin."
"Suami? Memangnya ... Dia belum cerai?"
"Belum. Suaminya gak mau ceraikan dia. Itu sih yang dikatakan Erin. Dia gak cerita ke kamu ya?" Aku menatap wajah Resti dari samping. Gadis yang meniti karier di Ibu kota itu menghela napas berat.
"Tidak! Dia tidak cerita masalah itu. Erin lebih sering menceritakan masalah penyakitnya. Kayaknya dia benar-benar tersiksa dengan penyakit ini. Cha, apa kita bawa Erin ke pengobatan alternatif? Aku pernah dengar, ada pasien yang mengidap penyakit itu bisa sembuh dari pengobatan alternatif." Usulan Resti membuatku menatapnya lekat.
Bisa saja Erin sembuh dengan pengobatan alternatif. Tetapi aku tidak yakin, apakah Erin mau atau tidak. Pasti sangat menyakitkan jika kenaikan kita tidak diterima baik oleh orang tersebut.
"Nanti kita coba bicara sama Bu Laksmi dulu. Biar nanti Bu Laksmi yang bicara sama Erin," sambung Resti. Aku mengerti kenapa Resti memberi usulan seperti itu. Dia hanya tidak mau kalau aku dimarahi Erin lagi, dituduh macam-macam lagi.
Setibanya di rumah, terlihat motor Kahfi.
"Cha, itu ... Motornya si Kahfi? Kalian janjian ketemuan di sini?" Restu langsung saja menuduhku.
"Tidak! Dia sendiri yang datang. Turun yuk! Ngobrol bentar!"
Aku turun dari mobil, begitu pula Resti. Lebih enak ditemani Rasti kalau ada Kahfi.
"Assalamualaikum," ucapku saat aku berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar.
"Waalaikumsalam," jawab Ibu dan Kahfi berbarengan.
Aku dan Resti masuk ke dalam, mencium punggung tangan Ibu.
"Cieee ... Yang lagi pedekate sama calon mertua. Uhuy!"
Dasar, Resti! Datang-datang malah ngejekin Kahfi bikin malu saja. Aku duduk di samping Ibu, sedangkan Resti duduk di sofa yang tidak jauh dariku.
"Iya dong! Sama anaknya kan udah pedekatenya. Tinggal pedekate sama Ibunya. Hahahah ...."
Kami semua tertawa lepas. Kahfi ada-ada saja!