Chereads / Prahara Kawin Kontrak / Chapter 18 - Gombal

Chapter 18 - Gombal

"Bagaimana keadaan Erin? Sudah lebih baik?" Kahfi bertanya saat aku dan Resti duduk di bangku yang bersebrangan dengannya. Ibu yang duduk di sampingku menoleh, memandang aku dan Resti bergantian.

"Lebih buruk!" sahut Resti ketus. Aku hanya menghela napas berat. Ya memang benar, sikap Erin tiap hari makin buruk apalagi tadi dia sempat ingin bunuh diri. Perbuatan yang sedikit pun tidak akan pernah melintas dalam pikiranku.

"Maksudnya lebih buruk bagaimana?" Kahfi terlihat penasaran. Ia mencondongkan tubuh agak ke depan.

"Keadaannya semakin memburuk, Res?" Ibu ikutan bertanya. Aku memilih diam, sebab jujur saja masih tidak menyangka kalau Erin bersikap demikian. Terkadang rindu sekali dengan sikap Erin yang dahulu. Erin yang kalau bicara sangat lemah lembut, Erin yang santun dan Erin yang cerdas. Kalau sekarang, semuanya berbanding terbalik. Apakah mungkin karena menjadi korban kawin kontrak? Entahlah.

"Bukan, Bu ... Tetapi sikap Erin! Akhlaknya lebih parah dari aku!"

"Hush! Kamu, Res ... Gak boleh menjelekkan diri sendiri!" Kusenggol bahu Resti, menegurnya agar tidak menjelekkan diri sendiri.

"Lebih parah gimana sih?" Kahfi masih belum mengerti maksud yang diucapkan sahabatku. Aku menghela napas panjang, mencoba menjelaskan apa yang tidak dimengerti oleh lelaki berkumis tipis itu.

"Jadi tuh, waktu di ruangan dokter, pas dia lagi diperiksa, Erin sempat ngamuk. Nah terus, menurut orang tuanya juga Erin jadi sering membentak, marah-marah. Tadi juga waktu kedatangan Paman Indra, orang yang pertama kali ajak Erin ke kota Bogor, Erin sempat mau bunuh diri."

"Apa?" Ibu dan Kahfi menanggapi berbarengan. Mereka memandang satu sama lain, kemudian menyandarkan punggung pada sandaran sofa.

"Cieee ... Calon mertua sama calon menantu udah klop!" Resti langsung mengejek Kahfi dan ibu. Ibu hanya menggelengkan kepala, sedangkan Kahfi bersikap biasa-biasa saja.

"Kamu ini, Res ... Dari tadi godain ibu sama Kahfi terus."

"Tetapi gak apa-apa, Bu. Mudah-mudahan saja Kahfi beneran jadi menantu Ibu."

"Aamiin ..." Resti semangat empat lima mengaminkan ucapan Kahfi, sementara aku hanya berdiam diri. Malu sekaligus bahagia. Eh!

"Jadi, tadi itu Erin mau bunuh diri? Memangnya penyakit Erin apa sih?"

Nah lho! Giliran aku, Kahfi dan Resti saling pandang. Resti bahkan sampai menggaruk kepala yang aku yakin tidak gatal.

"Hei, kenapa kalian diam? Sebenarnya penyakit Erin apa?"

Ibu menuntut jawaban pada kami. Sejujurnya aku bingung. Bingung, apakah harus menjawab pertanyaan ibu atau menyembunyikannya? Aku melirik pada Resti. Sahabatku itu terlihat gusar. Aku yakin dia pun bingung. Antara mengatakan dengan jujur atau menyembunyikan penyakit Erin?

"Resti, Icha, Kahfi? Apakah ibu tidak boleh mengetahui penyakit Erin? Ah, kalian ini, bikin ibu tambah penasaran saja!" Tukas Ibu cemberut. Duh, aku paling tidak enak kalau ibu sampai marah begini. Apa sebaiknya aku katakan saja ya?

"Anu, Bu ... Hmm ... Tapi, tapi nanti juga bakal sembuh kok. Eh, Cha! Duh, aku capek banget nih! Kayaknya karena nyetir tadi kali ya? Aku mau pulang dulu. Bu, Kahfi, aku pulang duluan ya?"

Aku dan Kahfi bernapa lega. Resti berhasil mengalihkan topik pembicaraan. Calon model itu berdiri, mencium punggung tangan ibu lalu berpamitan. Keluar dari rumah.

Setelah kepergian Resti, aku ijin masuk kamar dulu. Membiarkan Kahfi berduaan sama ibu. Biar saja, Ibu bertanya masalah penyakit Erin pada dia. Hahaha.

Setelah membersihkan diri, aku keluar kamar. Ibu dan Kahfi sudah tidak ada di ruang tamu. Melongokkan kepala ke dapur, tidak ada juga. Menutup pintu kamar, setengah berlari mencari keberadaan ibu dan Kahfi.

Ya ampun, ternyata mereka sedang memetik buah tomat yang memang sudah panen. Tanah ibu dari warisan Nenek dan Kakek memang cukup luas. Oleh Ibu dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Berbagai tumbuhan sayur-sayuran hingga buah-buahan ada di kebun belakang rumah Ibu. Bahkan merambah ke samping rumah. Ibu tidak akan menyisakan tanah dibiarkan kosong. Dengan telaten ibu dan aku merawat hingga sekarang sudah dapat menuai hasilnya.

"Tanaman ini dirawat sama Icha. Kadang tuh, Icha suka ngobrol sama tanaman lho!"

Langkah kakiku terhenti pada saat mendengar ibu meyebut namaku. Mengintip dari balik pintu dapur.

"Ngobrol? Ngobrol bagaimana, Bu?"

Aku bersembunyi di balik pintu dapur. Kuintip Ibu menoleh ke belakang, mungkin takut aku tiba-tiba datang.

"Kayak kemarin itu. Ibu gak sengaja dengar dia ngomong gini, 'Tom, sahabatku Erin sangat berubah sikapnya? Aku jadi sedih. Temanku sekarang tinggal satu, yaitu Resti. Padahal dulu, kami sangat dekat. Kamu doakan ya, Tom! Semoga Erin kembali sikapnya kayak dulu.' begitu!"

Ya ampun ... Ternyata Ibu dengar curhatanku sama Tomat. Astaghfirullah, ibu lagi! Segala cerita ke Kahfi. Duh, Ibu! Bikin malu saja!

Beberapa menit Kahfi tidak menanggapi, lalu terdengar suaranya kembali.

"Tom, itu siapa, Bu?"

"Lah ini, Tomat!"

"Oh, Tom itu Tomat. Hahahah ...." Derai tawa terdengar. Ish, bikin malu saja!

Aku keluar dari persembunyian, menghampiri Kahfi dan Ibu. Menyadari kedatanganku, gelak tawa Ibu dan Kahfi seketika terhenti. Mereka menahan tawanya. Ish menyebalkan!

"Ngetawain apa sih? Geli amat?" Aku sengaja menyindir Kahfi dan Ibu. Mereka saling pandang satu sama lain. Seolah ingin menyembunyikan apa yang mereka katakan.

"Ini ... Aku sama Ibu lagi ngetawain si Tom!" Kahfi mengangkat tomat tepat di depanku. Ia nyengir kuda. Rasanya ingin sekali aku cabik-cabik muka menyebalkannya itu!

"Sudah, jangan diledek terus, Fi! Nanti Icha ngambek lho! Tuh lihat, bibirnya sampe monyong begitu!" Tegur ibu pada lelaki yang beraroma parfum maskulin. Aku paling senang mencium aroma parfum Kahfi. Entah apa nama merk parfumnya.

"Siap, Bu! Eh, Cha, bantuin petik tomat dong! Biar cepat selesai!" seru Kahfi sambil memetik satu persatu tomat yang masih menggelantung.

"Iya, aku ke sini emang mau petikin tomat!"

"Cha, ibu ke dalam dulu ya? Mau siapin makan sore buat kalian. Kasihan Kahfi, dari tadi nungguin kamu tapi gak dikasih makan."

Ibu mengangkat satu baskom berisi tomat-tomat yang sudah matang.

"Iya, Bu."

"Nanti sekalian tolong petikin terong!"

"Siap! Mumpung ada relawan yang mau bantui petikin hasil panen kita, Bu!" Aku mendelik ke arah kahfi sambil mengulum senyum.

Ibu terkekeh, tidak menanggapi ucapanku, langsung masuk ke dalam rumah.

"Memangnya siapa relawannya?"

Halah, pura-pura tidak mengerti lagi! Pasti ujung-ujungnya menggoda! Ish, apa sih aku? Geer amat?

"Kamulah, Sirojul Kahfi!" Jawabku melengoskan pandangan ke arah lain.

"Oohh ... Sirojul Kahfi yang suka sama cewek cantik yang bernama Risya Syafira ya?"

Kedua mataku melotot, menoleh ke arahnya.

"Apaan sih? Gombal deh!"

"Bener gak?"

"Gak tahu! Tanya saja sama orangnya!"

Aku berjalan lebih cepat, menutupi rasa malu dari perubahan wajahku yang memerah.

"Risya! Tunggu! Hei, Cha!"